Gunung Merapi Menggembung, Ahli Minta Masyarakat Tak Panik

Hingga saat ini, BPPTKG Yogyakarta masih menetapkan status Gunung Merapi pada level II atau Waspada.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 19 Jul 2020, 20:19 WIB
Diterbitkan 19 Jul 2020, 20:18 WIB
Gunung Merapi Erupsi
Abu tipis terdistribusi di beberapa wilayah sekitar lereng Gunung Merapi. (Foto: Humas BNPB)

Liputan6.com, Jakarta - Gunung Merapi menggembung sejak beberapa pekan lalu. Ahli Vulkanologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Agung Harijoko meminta masyarakat tidak panik menghadapi aktivitas deformasi tersebut.

Namun, masyarakat diminta tetap meningkatkan kewaspadaan karena adanya penggembungan Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah itu.

"Tetap tenang dan jangan panik. Ikuti arahan dan patuhi rekomendasi yang disampaikan oleh BPPTKG atau BPBD setempat," ujar Agung melalui keterangan tertulis, seperti dilansir Antara, Minggu (19/7/2020).

Menurut dia, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta masih menetapkan status Gunung Merapi pada level II atau Waspada.

Agung menjabarkan, status tersebut menunjukkan belum ada peningkatan potensi bahaya dari aktivitas Gunung Merapi. Ancaman bahaya, kata dia, masih berada pada radius tiga kilometer dari puncak Merapi.

"BBPTKG menyatakan ada penggembungan di tubuh Merapi yang mengindikasikan ada magma yang bergerak di dalamnya, tapi masih lebih kecil dibanding deformasi sebelum erupsi 2010," papar Agung yang juga dosen Teknik Geologi UGM.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Bisa Terjadi Erupsi atau Tidak

Gunung Marapi
Pemandangan Gunung Singgalang dari Cadas Merapi (foto : akbarmuhibar)

Agung menjelaskan, pergerakan magma tersebut bisa berlanjut dengan erupsi. Namun, bisa juga tidak berlanjut erupsi.

Apabila terjadi erupsi, kata dia, maka kemungkinan erupsi yang akan terjadi bisa berupa erupsi efusif yang membentuk kubah lava atau erupsi eksplosif dengan letusan yang kuat.

"Erupsi Merapi bukan baru saja terjadi, tapi sudah berlangsung lama yakni sejak keluarnya kubah lava pada 2018 lalu," kata Kepala Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM ini.

Agung menegaskan, BBPTKG terus melakukan pemantauan terhadap aktivitas Gunung Merapi dengan baik.

Namun, dia menilai masyarakat perlu untuk mengetahui bahaya yang ditimbulkan dari erupsi gunung api sebagai upaya mitigasi bencana.

Menurut dia, bahaya utama saat terjadi longsoran kubah dengan volume besar adalah terbentuknya awan panas atau yang dikenal masyarakat Jawa dengan sebutan wedhus gembel. Selain itu juga ancaman abu vulkanik yang bisa menyebabkan gangguan pernafasan.

"Saat terjadi hujan abu, masyarakat diharapkan memakai masker untuk mencegah partikel-partikel abu halus terhirup ke tubuh," jelas Agung.

Setelah erupsi berakhir, Agung berharap masyarakat mewaspadai ancaman lahar dingin saat musim penghujan karena hujan dengan intensitas tinggi akan membawa material vulkanik dari letusan gunung yang berada di lereng gunung atau hulu.

Sebelumnya, Kepala BPPTKG Yogyakarta Hanik Humaida menjelaskan deformasi atau perubahan bentuk gunung berupa penggembungan (inflasi) Gunung Merapi ditunjukkan dengan adanya pemendekan jarak tunjam dua centimeter dalam kurun satu pekan berdasarkan periode pengamatan 26 Juni-2 Juli 2020.

Menurut Hanik, deformasi yang terjadi di tubuh gunung merupakan salah satu tanda adanya magma yang naik ke permukaan.

Namun demikian, ia meminta masyarakat tidak perlu panik karena naik atau keluarnya magma ke permukaan merupakan hal yang biasa terjadi di gunung api aktif.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya