Liputan6.com, Jakarta Dampak pandemi Covid-19 yang begitu besar terhadap dunia pendidikan dan proses belajar mengajar anak sekolah mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kurikulum darurat.
Penggunaan kurikulum darurat merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan oleh sekolah untuk melaksanakan relaksasi dan adaptasi pembelajaran dalam kondisi khusus, seperti saat terjadi bencana. Dasar hukum kebijakan ini adalah Keputusan Mendikbud Nomor 719/P/2020 dan mulai berlaku pada tanggal 4 Agustus 2020.
Baca Juga
Mendikbud Nadiem Makarim mengatakan pelaksanaan kurikulum pada kondisi khusus bertujuan untuk memberikan fleksibilitas bagi satuan pendidikan untuk menentukan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik.
Advertisement
“Kurikulum pada satuan pendidikan dalam kondisi khusus memberikan fleksibilitas bagi sekolah untuk memilih kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa,” kata Nadiem dalam keterangan tertulis beberapa waktu lalu.
Satuan pendidikan pada kondisi khusus dalam pelaksanaan pembelajaran dapat tetap mengacu pada kurikulum nasional, atau menggunakan kurikulum darurat, atau melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri.
“Semua jenjang pendidikan pada kondisi khusus dapat memilih dari tiga opsi kurikulum tersebut,” terang Nadiem.
Ketiga opsi pelaksanaan kurikulum tersebut berlaku untuk semua jenjang pendidikan, baik yang masih melaksanakan PJJ secara penuh di zona oranye dan merah, maupun yang sudah dapat melaksanakan pembelajaran tatap muka di zona hijau dan kuning.
Tidak Menggantikan Kurikulum Nasional
Diberlakukannya kurikulum darurat tidak menggantikan kurikulum nasional. Kurikulum nasional tetap menjadi satu opsi/pilihan yang bisa diterapkan di dalam kondisi khusus seperti saat terjadi bencana. Kurikulum darurat merupakan penyederhanaan kompetensi dasar yang mengacu pada kurikulum 2013.
Kurikulum darurat (dalam kondisi khusus) bukan kurikulum baru, hal ini merujuk pada Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) yang dijabarkan dalam kurikulum yang berlaku. Analisis dan pemetaan KD dilakukan untuk mengidentifikasi KD yang esensial dan prasyarat, sehingga meskipun jumlah KD disederhanakan, kompetensi yang ingin dicapai tetap terpenuhi.
Perbedaan dengan Kurikulum Nasional
Perbedaan yang paling menonjol adalah pada jumlah Kompetensi Dasar (KD) yang dijabarkan. Analisis KD dalam upaya penyederhanaan kurikulum menghasilkan pengurangan jumlah KD. Persentase pengurangannya berkisar antara 3% - 75%. Meski jumlah KD berkurang, jabaran KD pada kurikulum darurat (dalam kondisi khusus) memastikan kompetensi yang harus tercapai tetap bisa terpenuhi, karena KD yang dipilih adalah KD yang bersifat prasyarat dan penting.
Jabaran KD-KD ini dihasilkan dengan mempertahankan KD yang ada sebelumnya dan atau dari hasil pengintegrasian beberapa KD dan atau hasil reformulasi KD dengan mempertimbangkan cakupan dan ruang lingkup untuk memudahkan pelaksanaan pembelajarannya di dalam kondisi khusus.
Advertisement
Modul Pembelajaran
Kemendikbud juga menyediakan modul-modul pembelajaran untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar (SD) yang diharapkan dapat membantu proses belajar dari rumah dengan mencakup uraian pembelajaran berbasis aktivitas untuk guru, orang tua, dan peserta didik.
Pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) misalnya, kurikulum darurat merujuk kepada 6 aspek perkembangan anak secara holistik dan terpadu sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak.
Modul belajar PAUD dijalankan dengan prinsip “Bermain adalah Belajar”. Proses pembelajaran terjadi saat anak bermain serta melakukan kegiatan sehari-hari.
Sementara untuk jenjang pendidikan SD, modul belajar mencakup rencana pembelajaran yang mudah dilakukan secara mandiri oleh pendamping baik orang tua maupun wali.
“Modul tersebut diharapkan akan mempermudah guru untuk memfasilitasi dan memantau pembelajaran siswa di rumah dan membantu orang tua dalam mendapatkan tips dan strategi dalam mendampingi anak belajar dari rumah,” ucap Mendikbud Nadiem Makarim.
Asesmen atau Penilaian Terhadap Siswa
Untuk membantu siswa yang terdampak pandemi dan berpotensi tertinggal, Mendikbud menghimbau guru perlu melakukan asesmen atau penilaian diagnostik. Asesmen dilakukan pada semua kelas secara berkala untuk mendiagnosis kondisi kognitif dan non-kognitif siswa sebagai dampak pembelajaran jarak
Asesmen non-kognitif ditujukan untuk mengukur aspek psikologis dan kondisi emosional siswa. Seperti, kesejahteraan psikologi dan sosial emosi siswa, kesenangan siswa selama belajar dari rumah, serta kondisi keluarga siswa. Sementara asesmen kognitif, ditujukan untuk menguji kemampuan dan capaian pembelajaran siswa. Hasil asesmen digunakan sebagai dasar pemilihan strategi pembelajaran dan pemberian remedial atau pelajaran tambahan untuk peserta didik yang paling tertinggal.
Pemerintah juga melakukan relaksasi peraturan bagi para guru dalam mendukung kesuksesan pembelajaran di masa pandemi Covid-19 ini.
“Guru tidak lagi diharuskan untuk memenuhi beban kerja 24 jam tatap muka dalam satu minggu, sehingga guru dapat fokus memberikan pelajaran interaktif kepada siswa tanpa perlu mengejar pemenuhan jam,” jelas Nadiem Makarim.
Mendikbud berharap kerja sama semua pihak dapat terus dilakukan. Orang tua diharapkan dapat aktif berpartisipasi dalam kegiatan proses belajar mengajar di rumah, guru dapat terus meningkatkan kapasitas untuk melakukan pembelajaran interaktif, dan sekolah dapat memfasilitasi kegiatan belajar mengajar dengan metode yang paling tepat.
“Kerja sama secara menyeluruh dari semua pihak sangat diperlukan untuk menyukseskan pembelajaran di masa pandemi Covid-19,” pesan Mendikbud.
(*)
Advertisement