Jakarta - Misteri penyebab kebakaran Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) RI pada 22 Agustus 2020 terjawab. Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mengumumkan puntung rokok sebagai penyebab awal kebakaran hebat itu. Hal ini merupakan kesimpulan dari penyidikan mereka.
Delapan orang pun sudah ditetapkan sebagai tersangka. Meski demikian, sebagian pihak masih mempertanyakan hasil penyidikan tersebut.
Dari delapan tersangka itu, lima di antaranya pekerja bangunan. Satu orang tersangka lainnya adalah mandor. Tersangka berikutnya yakni bos penyedia bahan pembersih di Kejagung. Tersangka kedelapan merupakan seorang pejabat pembuat komitmen (PPK) Kejagung.
Advertisement
Menurut keterangan Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Ferdy Sambo, lima orang pekerja bangunan itu disinyalir merokok dan membuang puntung rokok yang masih ada bara apinya ke dalam tas plastik besar berisi tumpukan sampah yang mudah terbakar di lantai 6 ruang biro kepegawaian.
Puntung rokok yang dibuang ke tas plastik besar, berada di dekat sejumlah material mudah terbakar tiner dan lem aibon, serta cairan pembersih lantai TOP Cleaner. Material-material dan cairan pembersih lantai itu dipercaya penyidik Bareskrim Polri menjadi akseleran sehingga api bisa merambat dengan cepat.
Mandor dijadikan tersangka, karena dinilai tidak menjalankan kewajibannya mengawasi pekerjaan anak buahnya. Sementara itu, bos penyedia cairan pembersih lantai merk TOP Cleaner jadi tersangka karena cairan itu bermasalah dan tak punya izin edar.
Dari penyidikan, polisi menyebut bahan pembuat cairan pembersih TOP Cleaner berasal dari minyak lobi, di mana mengandung tiner dan solar sehingga mudah terbakar ketika tersulut api. Api memang menjalar dengan cepat dan mampu menghanguskan seluruh bangunan gedung utama Kejagung.
Bahkan, saking dahsyatnya kebakaran Gedung Kejagung, menurut Ahli Forensik Kebakaran Universitas Indonesia, Yulianto Sulistyo Nugroho, suhu api yang menyala diperkirakan mencapai 900 derajat celcius. Api juga tidak dapat dipadamkan dan kian cepat menjalar ke lantai lain.
Panasnya suhu api ketika kebakaran membuat kaca-kaca di sekitar gedung pecah. Yulianto menjelaskan, lidah api mampu menyapu bersih setiap objek yang ada di sekitarnya.
Di sisi lain, menurut Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Ferdy Sambo, cairan pembersih TOP Cleaner digunakan di seluruh lantai oleh petugas cleaning service di Kejagung. Hal ini diketahui dari ditemukannya bekas solar dan tiner di setiap lantai gedung Kejaksaan Agung yang terbakar.
"Kemudian kenapa api bisa menjalar ke seluruh gedung? Dari hasil pemeriksaan dan penyidikan dan olah TKP puslabfor dan ahli kebakaran, ternyata di gedung Kejaksaan Agung itu menggunakan alat pembersih yang tidak sesuai ketentuan," ungkap Ferdy Sambo.
Pihak Kejagung sendiri diketahui sudah menggunakan cairan pembersih lantai itu selama dua tahun. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kejagung pun akhirnya dijadikan tersangka, karena menyetujui pembelian cairan tersebut. Para tersangka dikenakan Pasal 188 juncto Pasal 55 dan 56 KUHP dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
Dari delapan tersangka, tujuh di antaranya tidak ditahan karena dinilai polisi berlaku kooperatif. Sementara PPK Kejagung belum memenuhi panggilan penyidik dengan alasan sakit, namun tidak menyertakan surat dokter kepada polisi.
Penyidikan kasus ini telah berjalan selama dua bulan dan sudah memeriksa 131 orang, dan 64 di antaranya berstatus saksi. Penyidik juga melakukan olah TKP sebanyak enam kali di lokasi kebakaran Gedung Kejagung.
Kata Ahli Forensik
Walaupun telah menyimpulkan bahwa puntung rokok sebagai penyebab awal kebakaran gedung Kejagung, Bareskrim Polri tidak bisa mengindentifikasi jenis rokok apa, karena semua sudah menjadi abu. Tapi, ahli forensik kebakaran UI, Profesor Yulianto Sulistyo, yang membantu polisi dalam kasus ini, punya jawabannya.
"Jadi peristiwa kebakaran selalu diawali api yang kecil. Di dalam proses, jika dia berasal dari rokok, maka dia akan melalui proses yang disebut membara. Proses membara ini cirinya menghasilkan asap yang banyak sekali, berwarna putih," papar Yulianto.
Ia menjelaskan, dalam proses membara ini bisa terjadi proses transisi menuju tahap flaming. Yulianto menggambarkan bagaimana proses transisi dengan contoh sebuah rokok yang menyala.
"Mengalami transisi menuju ke arah flaming. Kalau membara, kita ada yang merokok misalnya, kalau kita masukan alat ukur temperatur, itu kurang-lebih 600 derajat Celsius. Begitu dia bertransisi menjadi flaming combation, bisa di atas 1.000 derajat Celsius," terangnya.
"Di dalam peristiwa ini, terjadi proses transisi tersebut, sehingga di dalam gedung di lantai 6, bagian aula terjadi proses penyalaan, membesar dan mengalami proses yang disebutnya fire growth, tumbuh, api itu tumbuh mengikuti hukum T Kuadrat," tambah Yulianto.
Bara api dari puntung rokok tentu saja tidak besar. Namun, dalam keterangan pers bersama Bareskrim Polri, Profesor Yulianto Sulistyo, menekankan, sejumlah senyawa yang ditemukan di lokasi turut memperkuat percepatan pertumbuhan api.
Yulianto menerangkan, objek yang terbakar menciptakan tetesan api yang jatuh ke lantai bawah gedung tersebut. Tetesan benda terbakar itu kemudian mengakibatkan lantai bawah gedung juga turut dilalap api.
"Kami melakukan pembuktian langsung bahwa temperatur kaca pecah itu sekitar 120 derajat celcius. Ketika kaca pecah, api akan menjilat keluar karena api membutuhkan oksigen untuk terus tumbuh. Ketika kaca pecah, dia akan mengenai objek yang ada di sekitarnya mengikuti hukum perpindahan kalor, terjadi konduksi, konveksi atau radiasi," papar Yulianto Sulistyo.
"Ketika dia mengenai objek yang ada di depannya, objek yang mampu terbakar, terbakarlah objek tersebut. Di dalam kasus kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung ada material di bagian instalasinya, terdapat bahan yang mudah terbakar," imbuhnya.
Saksikan Video Berikut Ini
Spekulasi Terkait Kasus Jaksa Pinangki
Ketika terjadi kebakaran hebat yang di gedung utama Korps Adhyaksa, muncul spekulasi dan dugaan adanya sabotase dalam peristiwa itu. Sebab, insiden kebakaran terjadi tepat saat Kejagung tengah menangani kasus-kasus korupsi besar di Indonesia.
Kasus besar antara lain tindak pidana korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero), korupsi proyek bebas buronan Djoko Tjandra yang menyeret Jaksa Pinangki Sirna Malasari, korupsi Danareksa Sekuritas, lalu korupsi import tekstil.
Di tengah sederet spekulasi yang timbul, pihak Kejagung berulangkali menegaskan bahwa semua berkas atau alat bukti kejaksaan soal kasus-kasus yang sedang ditangani, termasuk kasus Jaksa Pinangki, tidak hilang karena kebakaran yang terjadi.
Dalam insiden itu, ruangan Jaksa Pinangki memang ikut terbakar. Ruang Jaksa Agung ST Burhanuddin juga turut hangus terbakar. Sementara lantai enam Gedung Kejagung yang menjadi awal mula insiden ini merupakan bagian kepegawaian dan juga kantor Jaksa Agung Muda Pembinaan.
Kantor dari Jaksa Agung Muda Intelijen yang berada di lantai tiga dan empat juga hangus dilalap api. Insiden kebakaran itu tidak memakan korban jiwa ataupun korban luka. Tapi, seluruh CCTV yang ada di gedung Kejagung hangus terbakar.
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Ferdy Sambo, menepis adanya unsur kesengajaan dalam kebakaran gedung Kejagung. Kendati demikian, Polri telah membuka semua kemungkinan penyebab kebakaran yang kerugiannya diperkirakan mencapai Rp1,12 triliun itu. Pada akhirnya, dari penyidikan akhirnya muncul kesimpulan adanya unsur kelalaian.
"Kebakaran Kejaksaan Agung karena kelalaian. Kita sudah melakukan penyidikan terhadap semua kemungkinan. Apakah ini dibakar atau tidak. Semua kemungkinan-kemungkinan ini dari pemeriksaan saksi, petunjuk, ahli, maka disimpulkan enggak ada kesengajaan dari mereka untuk melakukan pembakaran," tuturnya.
Pada awalnya, polisi memakai dua pasal sebagai landasan untuk menaikkan status kasus ke penyidikan yakni yang pertama pasal 187 KUHP berbunyi, "barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir terancam penjara maksimal 12 tahun jika perbuatannya menimbulkan bahaya umum bagi barang."
Kemudian yang kedua pasal 188 KUHP, yang menyiratkan adanya kelalaian yakni "barang siapa karena kesalahan (lalai) menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir diancam penjara maksimal lima tahun."
Belakangan, polisi hanya memakai pasal 188 KUHP untuk kasus insiden kebakaran gedung utama Kejagung ini. Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Ferdy Sambo, menyatakan, para tukang yang bekerja di lantai 6 tetap merokok walaupun ada larangan merokok.
"Karena kelalaiannya merokok di sembarang tempat, membuang puntung di sembarang tempat dengan kondisi ruangan yang ada barang-barang yang mudah terbakar, sehingga menyebabkan terjadinya proses yang disampaikan oleh ahli tadi," ucap Ferdy Sambo.
Advertisement
Mempertanyakan Hasil Penyidikan
Saat Bareskrim Polri mengumumkan kesimpulan dari penyidikan kebakaran gedung Kejagung, warganet khususnya di media sosial Twitter sempat heboh. Tidak sedikit yang mempertanyakan.
Bahkan, tagar rokok dan kejagung sempat menjadi trending topic di Twitter tak lama setelah pengumuman delapan tersangka kasus kebakaran gedung Kejagung. Berbagai respons ditunjukkan warganet, baik lewat meme, komentar, gambar, atau video, untuk menyinggung insiden kebakaran markas Korps Adhyaksa itu.
Beberapa pihak seperti LSM dan pengamat hukum Indonesia juga mengkritisi kesimpulan penyidik tentang kebakaran gedung Kejagung. Malah, klaim puntung rokok sebagai penyebab awal kebakaran dinilai kurang logis.
Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar, Suparji Ahmad, menilai wajar jika masyarakat merasa ada kejanggalan dari hasil forensik kebakaran gedung Kejaksaan Agung. Menurut dia, agak kurang logis jika kebakaran yang begitu dahsyat terjadi karena sebuah puntung rokok.
"Masih ada misteri, masih ada sesuatu yang belum terang-benderang dan ini menjadi tugas penyidik untuk memastikan apa sebetulnya penyebab kebakaran itu, termasuk juga motifnya," kata Suparji kepada Liputan6.com.
Dia menambahkan, "Saya kira kalau apa yang diungkap kemarin, bukan berarti kita prejudice dengan proses hukum yang berjalan, tapi memang rasional kalau kemudian masih ada banyak spekulasi atau pertanyaan dari kebenaran hasil forensik itu. Di sinilah yang harus dibuktikan penyidik."
Menurut Suparji, forensik bukan satu-satunya alat bukti mutlak karena harus didukung alat bukti yang lain supaya memperoleh sebuah kebenaran material. "Kalau sejauh ini yang menjadi tersangka misalnya tukang, mungkin akan tetap menimbulkan pertanyaan dan ini harus dijelaskan kepada khalayak umum secara transparan."
"Logikanya bagaimana jika itu yang dianggap sebagai penyebab kebakaran. Kalau logika yang dibangun tidak logis, maka akan menjadi suatu tantangan bagi penyidik untuk mengusut pihak yang lain. Kalau kebakaran begitu dahsyat karena faktor puntung rokok, faktor seorang pekerja atau buruh, ya agak kurang logis."
Harus Transparan
Suparji Ahmad percaya, transparansi harus dikedepankan oleh penyidik, sehingga publik atau masyarakat bisa menerima betul penyebab kebakaran di gedung Kejaksaan Agung. "Kalau sampai sekarang ini masih saja menimbulkan berbagai macam ketidakpercayaan, ya itu wajar, karena susah rasionalisasinya."
Koordinator MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia), Boyamin Saiman, juga menyebut bahwa banyak masyarakat tidak percaya dengan penyebab kebakaran hebat gedung Kejagung hanyalah puntung rokok. Oleh karena itu, Boyamin meminta penjelasan lengkap dari kejadian tersebut.
"Puntung rokoknya tuh yang bagaimana bisa jadi kebakaran hebat seperti itu. Maka harus dilakukan rekonstruksi secara lengkap dan terbuka," ujar Boyamin saat dihubungi Liputan6.com.
Dia mengaku telah mendatangi Bareskrim Polri pada Selasa (27/10/2020) untuk meminta rekonstruksi kasus kebakaran gedung Kejagung dilakukan transparan. Walaupun CCTV di Kejagung semua hangus, Boyamin percaya CCTV yang berada di luar dan menyorot ke area awal kebakaran belum tentu hangus.
"Ukurannya transparan atau tidak, baru bisa nanti. Permintaan saya dikabulkan berarti transparan, kalau tidak dikabulkan rekonstruksi itu, berarti tidak transparan," ucap Boyamin.
"CCTV yang merekam kegiatannya PSM (Pinangki Sirna Malasari) itu kan jadi hilang. Dia ditemui siapa. Misalnya pernah ditemui saksi R. Atau dia menemui siapa orang-orang di situ. Apa ada pejabat yang lain yang ditemui. Dari itu kan bisa terbuka kalau ada CCTV-nya. Kalau hilang kan menjadi terputus (informasinya)."
Boyamin meminta rekonstruksi kasus kebakaran Kejagung bersifat terbuka. Dia juga berharap Bareskrim Polri tidak buru-buru menyimpulkan sebelum seluruh proses hukumnya rampung.
"Ini kan, penegak hukum itu kan kadang-kadang memang istilahnya ngambil yang paling gampang. Nah, nanti kalau didalami dan pendalaman baru pada proses-proses berikutnya. Kaya KPK kan, makan bubur dari pinggirnya, begitu kan."
Dia juga mempertanyakan pernyataan Polri yang sempat menggunakan pasal 187 dan 188 KUHP, yakni sengaja dan lalai, tapi kemudian cuma memakainya pasal 188 KUHP saja untuk menjerat para tersangka.
"Kalau memang tersangkanya tukang-tukang itu ya mungkin memang bisa jadi lalai dan ceroboh. Tapi, sambil melihat perkembangannya kaya apa nanti. Bisa aja nanti dari situ berkembang, misalnya; membuang rokoknya itu sengaja atau memang ceroboh, kan bisa dilihat itu dalam perkembangannya."
Sayangnya, Bareskrim Polri bersikeras menolak menggelar rekonstruksi terbuka kasus kebakaran Gedung Kejaksaan Agung. Karo Penmas Humas Polri Brigjen Awi Setyono, menegaskan, proses rekonstruksi terbuka dikhawatirkan bisa merusak kondisi awal tempat kejadian perkara (TKP).
Bareskrim Polri sudah enam kali melakukan proses rekonstruksi kasus kebakaran Gedung Kejaksaan Agung tanpa diliput awak media. Mereka menyatakan telah profesional dan sesuai prosedur ketika menangani kasus tersebut.
Advertisement