HEADLINE: Jokowi Ingatkan Masyarakat Tak Semena-mena Langgar Hukum, Penerapannya?

Kepatuhan atau ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum itu satu sisi mata uang dari satu sisi mata uang lain yang namanya ketidakpatuhan aparat.

oleh RinaldoMuhammad Radityo PriyasmoroLizsa EgehamYopi Makdori diperbarui 21 Des 2020, 15:27 WIB
Diterbitkan 15 Des 2020, 00:05 WIB
Banner Infografis Warning Jokowi soal Pelanggaran dan Penegakan Hukum. (Liputan6.com/Abdillah)
Banner Infografis Warning Jokowi soal Pelanggaran dan Penegakan Hukum. (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Dua peristiwa, yaitu pembunuhan terhadap satu keluarga di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah oleh kelompok teroris serta tewasnya enam anggota Front Pembela Islam (FPI) dalam konfrontasi dengan polisi membuat Presiden Joko Widodo atau Jokowi turun tangan.

Jokowi meminta masyarakat tak bertindak semena-mena melanggar hukum dan mengingatkan bahwa Indonesia memiliki hukum yang harus dipatuhi dan ditegakkan oleh semua masyarakat.

"Tidak boleh ada warga dari masyarakat yang semena-mena melanggar hukum yang merugikan masyarakat apalagi membahayakan bangsa dan negara," jelas Jokowi dalam video di Youtube Sekretariat Presiden, Minggu (13/12/2020).

Di sisi lain, Jokowi juga mengingatkan aparat penegak hukum tetap harus mengikuti aturan yang berlaku saat menjalankan tugas. Dalam hal ini, aparat harus melindungi hak asasi manusia (HAM) dan menggunakan kewenangan secara wajar dan terukur.

"Jika ada perbedaan pendapat, ini biasanya ada. Jika ada perbedaan pendapat tentang proses penegakan hukum, saya minta agar menggunakan, gunakan mekanisme hukum. Ikuti prosedur hukum. Ikuti proses peradilan," ujar Jokowi.

Artinya, Jokowi memperingatkan soal pentingnya penegakan hukum kepada kedua belah pihak, masyarakat serta aparat penegak hukum itu sendiri. Namun, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Dr Mudzakir SH MH melihat apa yang disampaikan Jokowi terbaca ambigu.

"Pernyataan Presiden itu bersayap, itu yang hukum harus ditegakkan kepada siapa? Itu harus dalam konteks yang jelas, walau kepada polisi sekali pun, ditegakkan karena melakukan tindakan melawan hukum, jadi itu pernyataan bersayap dan menimbulkan polemik yang kurang bagus, ditujukan kepada siapa?" ujar Mudzakir kepada Liputan6.com, Senin (14/12/2020).

Kalau misalnya itu ditujukan kepada Pimpinan FPI Rizieq Shihab, lanjut dia, harus jelas dulu kesalahannya apa. Sebab, banyak yang melakukan perbuatan serupa tapi yang disoal hanya Rizieq Shihab.

"Saya kira itu penting, kalau pernyataan Presiden terkait hal tersebut, harusnya hal itu ditujukan kepada kepolisian agar melakukan penegakkan hukum yang adil dalam pelanggaran Covid-19," tegas Mudzakir.

Berkaca pada banyak kasus penegakan hukum selama ini, dia pun menegaskan bahwa penegakan hukum di masa pemerintahan Jokowi mengalami kemunduran yang ditandai dengan penegakan hukum yang diskriminatif.

"Mengapa? Karena orang yang melakukan perbuatan yang sama, satu dilaporin diproses, satu lagi tidak diproses. Dalam hukum pidana harusnya sama objektifikasi karena yang diadili itu bukan orangnya tapi perbuatannya, sehingga kalau perbuatan itu terbukti pidana, baru orangnya," jelas Mudzakir.

"Di zaman Pak Jokowi yang ditegakkan orangnya. Jadi ketika sama-sama melakukan pelanggaran yang sama, satu dilaporin diproses, satunya tidak, dan alasan itu kadang dibikin, misal kurang cukup bukti dan lain-lain, itulah kemunduran dari penegakan hukum di era Pak Jokowi," imbuh dia.

Bahkan, lanjut dia, keberadaan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) serta Komisi Kejaksaan (Komjak) juga tak membuat perubahan ke arah penegakan hukum yang lebih baik.

"Mereka ini (Kompolnas dan Komjak) orang-orangnya siapa? Komitmennya seperti apa? Yang menurut saya tegas itu justru IPW (Indonesia Police Watch), menurut saya itu lebih tegas dari Kompolnas. Artinya yang dikerjakan IPW itu harusnya itulah kinerja Kompolnas karena mereka memiliki power. Kalau IPW mengkritik tapi tak punya power lanjutan, karena dia batasnya sebagai LSM," ujar Mudzakir.

Menurut dia, jika ingin melihat penegakan hukum yang sesungguhnya, kita harus kembalikan hukum ke UUD 1945. Semua aparat penegak hukum harus membaca Pasal 24 UUD 1945 yang inti dari itu adalah ayat 1-nya mengatakan pemegang kekuasaan kehakiman adalah pengadilan.

"Sementara aparat penegak hukum pada level eksekutif itu adalah organ yang wajib tunduk dan menjalankan kekuasaan kehakiman, supporting kekuasaan kehakiman, di mana aparat penegak hukum wajib dan harus merdeka dari kekuasaan manapun dalam rangka tegaknya hukum dan keadilan," Mudzakir menandasi.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Infografis Warning Jokowi soal Pelanggaran dan Penegakan Hukum. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Warning Jokowi soal Pelanggaran dan Penegakan Hukum. (Liputan6.com/Abdillah)

Pendapat serupa dikemukakan pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr Chairul Huda SH MH. Dia mengatakan, kepatuhan atau ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum itu satu sisi mata uang dari satu sisi mata uang lain yang namanya ketidakpatuhan aparat.

"Masyarakat yang suka menyuap itu tidak akan bisa terjadi penyuapan kalau penegak hukumnya menolak. Jadi Pak Jokowi jangan lihat dari sisi masyarakat saja, yang harus dilihat juga adalah apakah aparat penegak hukum selama ini telah taat hukum atau tidak," ujar Chairul Huda kepada Liputan6.com, Senin (14/12/2020).

Dia mengatakan, aparat penegak hukum yang menolak suap menyebabkan masyarakat tidak akan coba-coba menyuap.

"Artinya, kalau sekarang banyak penegak hukum disuap karena memang masyarakatnya menyuap, aparat penegak hukumnya juga mau disuap. Kalau ada banyak masyarakat melanggar hukum, itu karena aparat penegak hukum juga tidak bisa memberi contoh ketaatan kepada hukum," tegas Chairul Huda.

Sehingga, lanjut dia, tak sulit untuk mencari akar dari permasalahan kenapa masyarakat kita gampang melanggar hukum.

"Jawabnya, karena penegak hukum nggak bisa jadi teladan, karena tidak bisa jadi teladan masyarakat tak ada sungkannya. Kalau mau masyarakat taat hukum maka yang pertama-tama taat hukum adalah aparat negaranya. Ini masyarakat disuruh 3M sementara menterinya 17M. Bagaimana masyarakat bisa taat, masyarakat disuruh cuci tangan, pakai masker, yang bikin kampanye dangdutan siapa?," ujar Chairul Huda.

Selain itu, lanjut dia, hukum itu sendiri kadang kala tidak sesuai dengan kepribadian masyarakat Indonesia. Di masyarakat kita, kalau ada buah jatuh boleh dipungut, diambil.

"Sekarang ada nenek Minah mengambil buah kokoa jatuh dibilang mencuri. Karena menurut hukum itu mencuri, menurut UU itu mencuri. Berarti kan hukum mencuri kita tidak sesuai dengan perasaan hukum dan rasa keadilan masyarakat," ujar peraih gelar Doktor Hukum Pidana Termuda di Indonesia ini. 

Karena itu, dia melihat konsep Indonesia sebagai negara hukum masih jauh dari harapan. Dia mencontohkan beberapa waktu lalu ketika ada jenderal polisi yang menjadi tersangka dan diserahkan pihak kepolisian kepada kejaksaan. Anehnya tersangka itu diterima dengan acara makan siang bersama.

"Itulah problemnya, menunjukkan ada perlakukan yang tak sama. Jadi fokus penegakan hukum kita masih ini siapa, bukan ini kasus apa. Masih jauh dari keadilan karena masih fokus pada ini siapa, dari kelompok mana, bukan ini statusnya apa," jelas Chairul Huda.

"Jadi menurut saya, pernyataan Presiden kemarin itu terlalu normatif, bukan melihat kenyataan yang sesungguhnya. Presiden itu seakan-akan dikasih teks suruh baca, bukan respons Beliau terhadap situasi bangsa dan negara," imbuh dia.

Karena itu, anggota Tim Perancang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang digodok Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) ini menegaskan belum melihat keseriusan pemerintahan Jokowi membenahi penegakan hukum di Indonesia. Dia mengatakan, ketergantungan Jokowi kepada aparat penegak hukum membuat dia tak bisa mengontrol. 

"Saya melihatnya seperti itu, karena apa pun yang mengganggu Pak Jokowi kan dihadapi dengan penegak hukum. Jadi ujung tombak pemerintah itu sekarang bukan menteri-menteri, tetapi polisi. Makanya tak heran kalau kepercayaan Presiden kepada polisi sangat besar. Sekarang jabatan apa yang nggak ada polisinya? Banyak sekali jabatan yang diisi kepolisian karena Pak Jokowi sangat tergantung kepada kepolisian," ujar Chairul Huda.

Ditambah lagi, lanjut dia, hukum saat ini tak menjadi prioritas dalam program kerja Jokowi. Kalaupun ada, dalam pandangan dia, prioritas Jokowi adalah terutama hukum yang berhubungan dengan investasi.

"Makanya Beliau bikin UU Ciptaker. Padahal kan yang ditunggu sekali adalah hukum yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Seperti hukum pidana dan hukum acara pidana. KUHP itu nggak jadi-jadi, padahal itu sangat penting untuk meningkatkan kinerja penegakan hukum," tegas Chairul Huda.

Akhirnya, gambaran ideal akan negara hukum itu hingga kini masih buram. Banyak hal yang menjadi syarat sebuah negara bisa dikatakan ideal sebagai negara hukum, namun setidaknya secara umum dia punya parameter.

"Yang pasti secara umum hukum itu tidak bergantung pada rezim, sementara hukum kita itu bergantung pada rezim. Rezim yang berkuasa A maka hukumnya jadi A. Hukum itu akhirnya tidak independen terhadap pemerintah," Chairul Huda memungkasi.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Bukan Negara Kekuasaan

Kejaksaan Agung (Kejagung) menyampaikan tanggapannya terkait beredarnya foto yang menunjukkan momen diduga jamuan makan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan terhadap terdakwa kasus Djoko Tjandra yakni Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo.
Foto yang menunjukkan momen diduga jamuan makan siang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk terdakwa kasus Djoko Tjandra yakni Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo.

Berbeda pandangan dengan para pakar sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengatakan pemerintah saat ini telah menegakkan hukum tanpa tebang pilih.

"Tidak apa2, dalil itu berlaku bg semua. Kan, UAS memposting crmh sy bhw "negara akan hancur kalau tidak adil". Itu berlaku bg siapa pun dan kapan pun. Makanya menteri korupsi pun kita borgol dan membuka peluang dihukum mati. Tp pengacau yg di luar pemerintah jg hrs ditindak. Salah?" kata Mahfud dalam akun Twitter pribadinya @mohmahfudmd, Minggu 13 Desember 2020.

Mahfud menambahkan, penegakan hukum terhadap semua golongan juga sudah diterapkan pemerintahan Jokowi. Buktinya, pemerintah telah mencokok aparatur hukum dan menyeretnya ke meja hijau.

"2 jenderal polisi kita gelandang ke pengadilan, jaksa kita cokok, Jokcan kita tangkap, Maria Pauline kita ambil. 4 koruptor Jiwasraya dijatuhi hukuman seumur hidup. Kalau mau cari2 ya ada sj yg blm tertangkap. Tp intinya, pemerintah akan runtuh kalau berlaku tak adil, siapa pun," kata dia.

Hal senada juga diungkapkan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ade Irfan Pulungan. Menurut dia, penegasan Jokowi soal pentingnya penegakan hukum di tengah-tengah masyarakat dan aparat penegak hukum bukan berarti kita tengah dilanda krisis penegakan hukum.

"Bukan masalah parah atau tidak parah. Itu hanya mereview kembali, Pak Presiden kemarin itu mengingatkanlah istilahnya, bahwa negara kita kan negara hukum. Itu saja. Itu mengingatkan lagi," papar Ade Irfan kepada Liputan6.com, Senin (14/12/2020).

Dia juga menampik terhadap pendapat yang mengatakan bahwa pemerintah tidak serius membenahi penegakan hukum karena lebih fokus ke masalah ekonomi. Dia mengatakan, kalau saat ini terlihat pemerintah lebih condong memikirkan masalah ekonomi, itu semata-mata karena dunia sedang dilanda pandemi Covid-19.

"Jadi nggak juga (lebih serius membenahi ekonomi), karena pandemi ini kan kondisi global. Yang jelas, pemerintah tetap memberikan payung hukum terhadap masalah yang ada," ujar Ade Irfan.

Ketika ditanyakan apakah aparat penegak hukum kita sudah menerapkan hukum yang berkeadilan, dia mengatakan hal itu tak bisa dilihat secara parsial, karena aparat penegak hukum itu merupakan satu kesatuan.

"Semua kan ada tupoksi, ada domain kerjanya, penegak hukum pasti domainnya adalah bagaimana melakukan penegakan hukum sesuai dengan yang diatur UU masing-masing. Aparat penegak hukum kan ada empat, polisi sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penyidik dan penuntut umum, hakim di pengadilan yang punya kewenangan mengadili serta lawyer yang diberikan kewenangan memberikan bantuan hukum. Empat komponen ini punya tugas masing-masing, jadi kita tidak bisa melihat semuanya parsial, satu per satu," tegas Ade Irfan.

Dia juga memastikan bahwa Presiden Jokowi sangat serius dengan keinginan mewujudkan penegakan hukum di Indonesia. Tak sekadar keinginan sepihak dari Presiden, soal penegakan hukum ditegaskannya merupakan perintah UUD 1945 soal Indonesia sebagai negara hukum.

"Memang harus serius, semuanya kan kita harus serius. Makanya Indonesia itu negara hukum, bukan kekuasaan. Bukan hanya di pemerintahan Pak Jokowi (penegakan hukum), tapi juga di pemerintahan sebelum-sebelumnya. Itu yang sering kita dengungkan, Indonesia adalah negara hukum dan hukum itu butuh adanya kepastian, keadilan, kan itu dia," beber Ade Irfan.

Untuk itu, lanjut dia, agar penegakan hukum yang dicita-citakan bisa tercapai, semua komponen aparat penegak hukum itu harus memainkan fungsi dan perannya sesuai regulasi masing-masing dan saling terintegrasi dengan penyelesaian masalah hukum.

"Kan jelas dikatakan Pak Jokowi kemarin, aparat penegak hukum dilindungi oleh UU. Makanya saya bilang, empat komponen aparat penegak hukum itu ada undang-undang yang mengatur dan melindungi dia," jelas Ade Irfan.

Ketika ditanyakan target pemerintah dalam jangka pendek terkait penegakan hukum, dia mengatakan semua sudah disusun dan terencana.

"Yang jelas, pemerintah pasti akan mengupayakan adanya kepastian hukum dan keadilan. Bagaimana bentuknya, kan sudah ada dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional). Kan sudah ada programnya," Ade irfan memungkasi.

 

Jokowi Bicara Penegakan Hukum

Dilantik Jokowi, Idham Azis Resmi Jadi Kapolri
Presiden Joko Widodo atau Jokowi (kanan) menyalami Kapolri Idham Azis (kiri) saat upacara pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Jumat (1/11/2019). Idham Azis dilantik menjadi Kapolri menggantikan Tito Karnavian yang diangkat menjadi Mendagri. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta masyarakat tak bertindak semena-mena melanggar hukum. Jokowi mengingatkan bahwa Indonesia memiliki hukum yang harus dipatuhi dan ditegakkan oleh semua masyarakat.

Hal ini disampaikan Jokowi saat menanggapi peristiwa yang terjadi belakangan ini, yakni tewasnya 4 orang warga Kabupaten Sigi di Sulawesi Tengah dan 6 orang anggota Front Pembela Islam (FPI).

"Tidak boleh ada warga dari masyarakat yang semena-mena melanggar hukum yang merugikan masyarakat apalagi membahayakan bangsa dan negara," jelas Jokowi dalam video di Youtube Sekretariat Presiden, Minggu (13/12/2020).

Dia menekankan bahwa aparat berkewajiban menegakkan hukum secara tegas dan adil. Untuk itu, aparat hukum tidak boleh mundur dalam menegakkan hukum demi keamanan masyarakat, bangsa, dan negara.

"Ingat, aparat hukum itu dilindungi oleh hukum dalam menjalankan tugasnya," katanya.

Kendati begitu, Jokowi juga mengingatkan aparat hukum tetap harus mengikuti aturan yang berlaku saat menjalankan tugas. Dalam hal ini, aparat harus melindungi hak asasi manusia (HAM) dan menggunakan kewenangan secara wajar dan terukur.

"Jika ada perbedaan pendapat, ini biasanya ada. Jika ada perbedaan pendapat tentang proses penegakan hukum, saya minta agar menggunakan, gunakan mekanisme hukum. Ikuti prosedur hukum. Ikuti proses peradilan," ujar Jokowi.

Menurut dia, mekanisme hukum telah mengatur sejumlah prosedur hingga proses peradilan dengan keputusannya yang harus dihargai. Jika memerlukan keterlibatan lembaga independen, Indonesia memiliki Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dimana masyarakat dapat menyampaikan aduan.

"Kita harus menjaga tegaknya keadilan dan kepastian hukum di negara kita, menjaga fondasi bagi kemajuan Indonesia," jelas Jokowi.

Tidak hanya kali ini saja Jokowi bicara soal hukum. Sepanjang tahun ini, sudah beberapa kali Jokowi menyinggung soal penegakan hukum terkait peristiwa mutakhir yang terjadi di Tanah Air.

Misalnya, Presiden Jokowi menegaskan tidak akan melindungi Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara yang statusnya sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus program bantuan sosial Kementerian Sosial 2020.

"Saya tidak akan melindungi yang terlibat korupsi," ujar Jokowi di kanal YouTube Sekretariat Presiden, Minggu 6 Desember 2020.

Presiden pun mengharapkan semua pihak percaya pada KPK untuk bekerja secara transparan, profesional dan terbuka dalam mengusut kasus tindak pidana korupsi (tipikor) yang menyandung Juliari yang juga politisi PDI Perjuangan (PDIP) itu.

"Pemerintah akan terus konsisten mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Tentunya kita menghormati proses hukum yang tengah berjalan di KPK," kata Jokowi.

Kepala Negara juga menegaskan sudah sejak awal terus menerus mengingatkan kepada para menteri Kabinet Indonesia Maju untuk tidak melakukan tindakan korupsi.

"Sudah sejak awal dan terus-menerus saya sampaikan untuk menciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi," tuturnya.

Demikian pula ketika Presiden Jokowi angkat bicara terkait penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jokowi menegaskan dirinya menghormati proses hukum yang ada di KPK.

"Ya tentunya kita menghormati proses hukum yang tengah berjalan di KPK. Kita menghormati," ujar Jokowi di Youtube Sekretariat Presiden, Rabu 25 November 2020.

Dia meyakini bahwa lembaga antirasuah itu akan bekerja mengungkap kasus tersebut dengan profesional. Jokowi pun mendukung upaya yang dilakukan KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia.

"Saya percaya KPK bekerja transparan, terbuka, profesional. Pemerintah konsisten mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi," jelas Jokowi.

Sekali waktu, Presiden juga memperingatkan aparat penegak hukum untuk tidak memanfaatkan regulasi yang saat ini belum sinkron untuk menakut-nakuti pejabat, pengusaha, dan masyarakat. Dia menegaskan, penegak dan pengawas hukum yang melakukan tindakan tersebut adalah musuh bersama.

"Saya peringatkan aparat penegak hukum dan pengawas yang melakukan pemerasan seperti itu adalah musuh kita semua, musuh negara," kata Jokowi dalam acara Aksi Nasional Pencegahan Korupsi yang disiarkan di Youtube Sekretariat Presiden, Rabu 26 Agustus 2020.

Dia menekankan, penyalahgunaan regulasi untuk menakut-nakuti dan memeras membahayakan pembangunan nasional. Jokowi pun tidak akan memberikan toleransi kepada siapa pun yang melakukan hal itu.

"Saya tidak akan memberikan toleransi kepada siapa pun yang melakukan pelanggaran ini," ujarnya.

Pertengahan tahun lalu, Presiden juga meminta agar penegak hukum mengutamakan aspek pencegahan dan mengawasi keuangan negara di masa pandemi virus corona (Covid-19). Kendati begitu, Jokowi mengingatkan agar penegakan hukum dilakukan secara adil.

"Kepolisian, kejaksaan, KPK, penyidik PNS adalah menegakkan hukum. Tetapi juga saya ingatkan jangan menggigit orang yang tidak salah," ucap Jokowi saat membuka Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah melalui video conference, Senin 15 Juni 2020.

"Jangan menggigit yang tidak ada mens rea, juga jangan menyebarkan ketakutan kepada para pelaksana dalam menjalankan tugasnya," sambungnya.

Dia menuturkan bahwa saat ini pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp 677,2 triliun untuk penanganan virus corona (Covid-19) dan pemulihan ekonomi. Untuk itu, dia meminta adanya tata kelola yang baik untuk pencegahan praktik korupsi.

Presiden juga menekankan pentingnya aparat melakukan penegakan hukum bagi pelanggar aturan terkait penanganan virus Corona (Covid-19). Menurut dia, hal itu dilakukan agar masyarakat disiplin dan patuh dengan aturan demi menekan penyebaran virus Corona.

"Penegakan hukum dengan dukungan aparat negara. Ini juga penting dilakukan dalam hal ini. Sehingga betul-betul masyarakat kita memiliki kedisiplinan yang kuat untuk menghadapi ini," ujar Jokowi saat memimpin sidang kabinet paripurna melalui video konferensi, Selasa 14 April 2020.

Dengan semua itu, banyak kalangan tetap menilai bahwa Jokowi bicara penegakan hukum masih parsial dan insidental. Jokowi dinilai belum bicara tentang hukum dalam kacamata yang besar sebagai fokus pemerintah. Termasuk pembenahan terhadap aparat penegak hukum yang hingga level tertingginya masih ditemukan melanggar hukum.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya