Dahsyatnya Letusan Gunung Agung yang Turunkan Suhu Bumi 58 Tahun Silam

Dahsyatnya letusan Gunung Agung tak hanya menjadi bencana terbesar yang pernah dirasakan warga Bali, melainkan juga menjadi sejarah dunia.

oleh Ady Anugrahadi diperbarui 17 Mar 2021, 07:33 WIB
Diterbitkan 17 Mar 2021, 07:33 WIB
Sunrise Gunung Agung di Bali
Embusan asap keluar dari kawah Gunung Agung ketika matahari terbit (sunrise) yang terlihat dari Kintamani, Bali, Rabu (13/12). (AP Photo/Firdia Lisnawati)

Liputan6.com, Jakarta Minggu 17 Maret 1963, Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali, meletus mencapai puncaknya. Dahsyatnya letusan Gunung Agung ini tak hanya menjadi bencana terbesar yang pernah dirasakan warga Bali, melainkan juga menjadi sejarah dunia.

Bayangkan, letusan itu disertai abu vulkanik yang menyembur vertikal dari kawah Gunung Agung setinggi 20 kilometer, seolah menantang langit. Usai letusan, tercatat suhu Bumi turun 0,4 derajat Celcius. Hal itu terjadi karena material vulkanik berupa aerosol sulfat dari gunung itu terbang hingga 14.400 kilometer dan melapisi atmosfer Bumi.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, letusan Gunung Agung saat itu berlangsung dari 2 Februari 1963 hingga 27 Januari 1964. Merujuk data yang dihimpun dari catatan Badan Geologi, UNESCO (1964), Jurnal Science (1978), dan Bulletin Vulcanology (2012), letusan itu menewaskan 1.549 orang.

Sebanyak 1.700 rumah hancur. Sekitar 225.000 orang kehilangan mata pencaharian dan 100.000 orang mengungsi. Bukan hanya saat letusan, korban jiwa ketika itu juga muncul pascaletusan, dengan sekitar 200 orang tewas akibat hujan yang membuat lahar meluncur ke sisi selatan Gunung Agung.

Lahar itu juga menyebabkan 316.518 ton produksi pangan di sepanjang aliran lahar Gunung Agung rusak.

Gunung Agung sejatinya memang bukan gunung yang diam. Erupsi pada 1963 merupakan letusan keempat sekaligus yang terbesar sejak 1808. Tercatat, letusan tahun 1808 terjadi lontaran abu vulkanik dan batu apung dalam jumlah yang sangat besar dari puncak gunung.

Sedangkan letusan kedua, yaitu pada 1821, kadarnya tidak sebesar erupsi pertama. Gunung Agung kemudian batuk lagi untuk ketiga kalinya pada 1843 yang didahului dengan sejumlah gempa bumi sebelum memuntahkan abu vulkanik, pasir, dan batu apung.

Sejak saat itu, Gunung Agung lama puasa dari letupan. Saking lamanya diam dan tak menunjukkan aktivitas yang berarti, Gunung Agung sempat dianggap tidak aktif lagi. Kesimpulan itu terbantahkan pada awal tahun 1963, ketika aktivitas gunung tertinggi di Bali itu mulai meningkat.

Sejak Januari 1963, Gunung Agung seolah memberi pertanda bahwa kandungan magma yang ada di dalamnya sedang bersiap untuk dimuntahkan. Dari hari ke hari, Gunung Agung semakin bertambah aktif. Pemerintah pun memberikan peringatan bahwa mulai 9 Maret 1963, Pura Besakih agar dikosongkan, dan warga yang tinggal di sekitarnya harus segera mengungsi.

Dentuman keras mulai terdengar pada 18 Februari 1963 yang disertai asap tebal yang keluar dari puncak gunung. Tanggal 24 Februari, lahar mulai mengalir dan berlangsung terus-menerus selama beberapa pekan.

Semuanya menjadi berubah pada Minggu 17 Maret 1963. Langit di Pulau Dewata mendadak gelap, matahari sama sekali tidak menampakkan diri sejak pagi. Suara gemuruh dan gelegar dari puncak Gunung Agung membuat warga mulai panik dan mengungsi.

Pada hari itu, Gunung Agung mengamuk dengan menyemburkan abu vulkaniknya ke udara setinggi hingga 10 kilometer. Inilah puncak erupsi dari Gunung Agung yang sudah memberi sinyal sejak awal tahun itu.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Langit Gelap, Benda Bergoyang

Gunung Agung
Gunung Agung di Bali. (dok.Instagram @dolanbareng_id/https://www.instagram.com/p/BscWVfPFMHX/Henry

Sejumlah saksi mata menceritakan kengerian yang mereka saksikan pada Minggu 17 Maret 1963. Ida Peranda Kania menyaksikan langsung bencana ini saat dia berada di Sekolah Dasar Sanglah, Badung Utara. Lokasinya dengan Gunung Agung berjarak 50 kilometer. Ida yang kala itu menjabat sebagai kepala sekolah memutuskan untuk memulangkan anak didik lebih awal.

"Seolah-olah malam terjadi dua kali. Siang hari pada jam dua sudah gelap, tak terlihat apa-apa. Anak-anak dipulangkan dulu karena di desa tak ada listrik. Sudah itu jam empat terang lagi," kenang Ida seperti dikutip dari BBC Indonesia.

Sejurus kemudian, benda-benda di sekitarnya bergoyang-goyang tak beraturan. Ida turut merasakan getaran-getaran yang ditimbulkan akibat gunung meletus. Dari kejauhan Ida menengok debu-debu bertebaran dari atas langit.

"Dari selatan desa, kelihatan apinya gunung itu. Getarannya terasa, dan setelah hujan abu, daun-daun penuh dengan debu," ucap Ida.

Hal serupa dialami Wayan Sangka atau Jero Mangku Darma pemangku di Pura Taman Sari. Saat gempa menguncang, Wayan masih duduk di kelas III Sekolah Dasar.

Diawali dengan bunyi letusan pada pukul 09.00 Wita yang sambung menyambung selama satu setengah jam. Fenomena itu membuat warga berhamburan ke luar rumah, termasuk dirinya. Wawan merasa beruntung berhasil lolos dari maut meski kaki terluka parah akibat terkena awan panas.

Wayan tak bisa membayangkan seandainya memilih bertahan di dusun, mungkin dirinya masuk daftar korban yang meninggal dunia. Di dusun Wawan, tercatat ada 500 orang tewas akibat terkena letusan dan sambaran kilat, abu, lahar, air, dan awan panas.

"Kaki saya rusak ini. Tidak ingat dulu umur berapa (waktu kejadian). Ya begini saja sambil berdoa," kata Wayan Sangka saat berbincang dengan Liputan6.com, Selasa 26 September 2017, sambil memeragakan telapak tangan yang disatukan dan membungkuk di balik pohon tua.

Made Tunas (62), warga Desa Muncan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, juga mengenang letusan Gunung Agung pada 1963. Erupsi gunung tertinggi di Pulau Dewata saat itu meluluhlantakkan sebagian besar besar pedesaan di sekitar lereng.

"Ketika itu saya berusia sekitar tujuh tahun. Saya masih sangat ingat bagaimana awan panas dan juga lahar mengalir di sungai dekat desa," kata Tunas, seperti dilansir Antara.

Ketika Gunung Agung memberi sinyal akan meletus, kata Tunas, warga yang berdiam di sekitar lereng tidak serta merta mengungsi. Banyak yang tetap bertahan di rumah masing-masing hingga enam bulan setelah letusan pertama terjadi.

"Saya sendiri masih ingat ketika itu diajak bapak mengungsi setelah enam bulan gunung meletus. Kami mengungsi ke wilayah Nongan. Ketika itu belum ada kendaraan. Ngungsi ya harus jalan kaki," tuturnya.

Desa Muncan ketika itu memang tidak teraliri lahar, tapi awan panas sempat menerjang sejumlah wilayah. Bukan hanya itu saja, banyak warga tewas karena meminum air di sungai yang tercemari zat berbahaya berasal dari material letusan.

"Penduduk di sini banyak yang jalan kaki menuju pengungsian. Di tengah jalan saat mengungsi, banyak yang kehausan dan akhirnya meminum air sungai. Setelah minum, beberapa saat setelah itu, semuanya mati," ucapnya.

Jejak-jejak letusan Gunung Agung 1963 hingga kini masih dapat terlihat. Seperti di Dinas Badeg Dukuh yang hanya berjarak 5 kilometer dari kawah Gunung Agung. Di tempat itu, batu-batu besar yang keluar dari perut gunung masih teronggok di sejumlah titik. Sungai kering bekas aliran lahar yang membelah dusun juga masih terlihat.

Tak hanya desa sekitar, Gunung Agung sendiri tak lagi sama setelah letusan dahsyat tersebut. Dituliskan Steve Clement dalam buku Menyusuri Garis Bumi, sebelum Gunung Agung meletus, ketinggiannya diperkirakan mencapai 4.000 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Catatan terakhir setelah letusan tahun 1963, tinggi Gunung Agung berkurang menjadi 3.142 mdpl. Meskipun demikian, Gunung Agung masih merupakan gunung paling tinggi di Bali.

Setelah letusan dahsyat tahun 1963, Gunung Agung membisu lagi dalam waktu cukup lama. Baru lebih setengah abad kemudian, tepatnya 54 tahun berselang yakni tahun 2017, gunung yang disakralkan oleh masyarakat Bali itu kembali bangun dan membuat panik, meski tak sedahsyat letusan 1963.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya