Rentan Terdoktrin Radikalisme, Milenial Disarankan Berpikir Kritsi dan Membuka Diri

Menurut Nirmala, salah satu cara menghindari kelompok radikal adalah dengan berani membuka diri terhadap semua perbedaan dalam kehidupan.

oleh Liputan6.com diperbarui 31 Mar 2021, 21:04 WIB
Diterbitkan 31 Mar 2021, 15:28 WIB
Rembuk Nasional Aktivis 98
Seorang warga mengenakan kaus yang bertuliskan "Lawan Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme" saat akan menghadiri Rembuk Nasional Aktivis 98 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Jakarta, Sabtu (7/7). (Merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta Generasi milenial harus lebih kritis menyikapi setiap isu. Dengan bersikap kritis, milenial diharapkan bisa terhindar dari kelompok radikal.

"Berpikir kritis akan membantu anak-anak muda bisa terhindar atau minimal akan mempertanyakan aliran-aliran yang radikal," kata psikolog Nirmala Ika Kusumaningrum kepada wartawan, Selasa (30/3/2021).

Masalah kritis bukan sesuatu yang terberi. Milenial tidak berarti kritis. Nirmala memaknai kritis adalah kemampuan untuk terbuka, menganalisis, mendengarkan, mengendapkan, menggali, termasuk menyarikan informasi dari berbagai sumber terkait hal-hal yang ada di sekitar mereka.

Menurut dia, salah satu cara menghindari kelompok radikal adalah dengan berani membuka diri terhadap semua perbedaan dalam kehidupan. Mulai dari perbedaan suku, budaya, agama, keyakinan, selera, sampai gaya hidup sekali pun.

"Karena ketika kita mulai melihat bahwa saya lebih atau paling benar daripada dia atau mereka, perlahan bibit radikal mulai terbentuk," ujarnya.

Nirmala berpendapat sebenarnya tidak bisa di generalisir bahwa milenial lebih mudah terjebak gerakan radikal. Menurut Nirmala, aksi bom bunuh diri seperti di Makassar beberapa hari lalu lebih terkait keimanan.

"Bukan agama ya. Sehingga akan beda cara pandangnya. Mereka tidak pernah melihat diri mereka sebagai teroris, tapi sebagai pejuang," tuturnya.

Sedangkan pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati berpendapat kebanyakan milenial masih mencari jati diri dan mengikuti arah pihak yang paling berpengaruh. Menurut wanita yang akrab disapa Mba Nuning ini, sangat sedikit dari usia milenial memiliki karakter yang kuat, sehingga mudah dipengaruhi hal-hal yang melawan negara.

"Pola rekrutmen (teroris) saat ini berkembang menjadi lebih terbuka menggunakan ruang publik seperti sekolah kampus, perkumpulan agama, dan lain-lain," tuturnya secara terpisah.

Dia menilai milenial perlu kritis jika menyangkut hal terkait pilihan hidupnya. "Kritis itu tentu bila menyangkut hal terkait dengan pilihan hidupnya. Bila salah ajaran maka kritis itu muncul justru sebagai anti ideologi negara," ujarnya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Bijak Memilih Pergaulan

Nuning berpesan kepada milenial agar bijak memilih pergaulan dan menghindari kelompok garis keras.

Sedangkan penegak hukum harus bisa membaca penetrasi ideologi yang dinormalisasikan sehingga menciptakan enabling environment bagi kelompok teroris untuk melakukan rekrutmen, kaderisasi, dan mendapatkan dukungan dana dan politik.

"Hati-hati saat ini proses enabling environtment marak, sehingga yang tidak wajar terasa wajar atau normal," katanya.

Menurut dia, rekrutmen selain dilakukan tertutup, tapi ada ruang-ruang publik yang dipakai dalam proses penjaringan. Ruang-ruang publik yang ia maksud seperti sekolah, kampus, dan media sosial. "Memang pemerintah sudah punya aturan, tapi butuh peran serta masyarakat untuk membantu pengentasan masalah terorisme. Dan ini baik jika milenial dilibatkan," kata Nuning.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya