Liputan6.com, Jakarta Bahasa kreol Tugu yang berkembang di Betawi merupakan salah satu bukti keunikan ragam bahasa di Indonesia. Eksistensi bahasa ini berawal dari bahasa rahasia di lingkungan orang Tugu (Betawi Portugis).
Mengutip dari laman Seni & Budaya Betawi, istilah kreol berasal dari bahasa Prancis, creole, atau dari bahasa Portugis, crioulo. Keduanya memiliki arti sama, yakni membentuk bawaan dari luar.
Bahasa kreol Postugis terbentuk dari percampuran bahasa etnis Melayu di Melaku, Malaysia, dan bahasa Portugis sejak jatuhnya Melaka ke tangan Portugis. Bahasa kreol Tugu atau bahasa kreol Portugis terbentuk sejak 1648. Awal pembentukannya bertepatan dengan peristiwa perebutan Malaka oleh Belanda dari Portugis.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Saat itu, tentara Portugis yang berasal dari Goa, Bengal, Malabar, dan daerah jajahan lainnya, dijadikan tawanan perang. Mereka dibawa ke Batavia dan dipaksa menjadi serdadu VOC.
Pekerja yang dibebaskan dari perbudakan (Mardijkers) disyaratkan memeluk agama Kristen Protestan. Kemudian, mereka diasingkan ke tenggara Batavia yang terpencil.
Setelahnya, peradaban baru di Kampung Tugu mulai tumbuh. Wilayah ini diisi dengan keturunan Portugis (Mestizo).
Sehari-hari, mereka mempertahankan bahasa kreol Portugis. Bahasa ini bertahan hingga hampir 3,5 abad sebagai media komunikasi masyarakat di Kampung Tugu (bahasa vernacular).
Sistem masyarakat Tugu yang tertutup membuat bahasa ini tidak mudah terpengaruh bahasa lain. Pada penghujung abad ke-20, ada puluhan generasi tua yang masih fasih berbahasa kreol Portugis.
Makin Berkurang
Sayangnya sejak abad ke-21, jumlah orang yang fasih menggunakan bahasa ini mulai berkurang, bahkan habis. Generasi terdahulu tidak memiliki kapasitas untuk menurunkannya pada generasi penerus.
Pada zamannya, bahasa kreol Tugu lebih sering digunakan untuk berkomunikasi oleh sesama pria. Fungsinya sebagai bahasa sandi atau bahasa rahasia di lingkungan orang Tugu.
Pada masa kemerdekaan, bahasa ini memasuki periode kritis. Terdapat beberapa faktor di baliknya, seperti penggunaan pengantar bahasa Indonesia di sekolah negeri tempat sekolah anak-anak keturunan Portugis menimba ilmu.
Faktor ini juga diikuti dengan dibukanya Jalan Raya Cakung-Cilincing yang menyebabkan perubahan demografi di Kampung Tugu. Kampung Tugu yang awalnya homogen pun tumbuh menjadi heterogen dan multikultur.
Adapun yang tersisa dari bahasa kreol Tugu atau bahasa kreol Portugis adalah kata sapaan kekerabatan, seperti tata (kakek), tata grandi (kakek buyut), nina (anak perempuan), sinyo (anak laki-laki), serta bas (engkau). Selain itu, ada pula peninggalan berupa lagu-lagu berlirik bahasa Portugis, seperti Nina Bobo, Kafrinho, Yan Kagaleti, dan lainnya. Pada 2024, bahasa kreol Tugu telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
Penulis: Resla
Advertisement
