Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) melanjutkan kembali sidang pengujian materiil Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945, yang salah satunya berharap bisa memanfaatkan ganja sebagai pengobatan.
Sidang dengan nomor perkara 106/PUU-XVIII/2020 ini, mendengarkan penyampaian perbaikan atas permohonan yang sebelumnya telah diajukan. Kuasa hukum pemohon, Erasmus Napitupulu mengatakan pihaknya sudah melakukan perbaikan sesuai dengan arahan majelis hakim.
Baca Juga
Dijaga Ketat, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan Gelar Persidangan Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol
Infografis Paslon RK-Suswono dan Dharma-Kun Tak Ajukan Gugatan Hasil Pilkada Jakarta 2024 ke MK dan Hasil Rekapitulasi Suara
Ridwan Kamil Batal Gugat Pilkada Jakarta ke MK, Golkar: Kita Kedepankan Budaya Jawa
Selain itu, sejumlah informasi terbaru yang terkait dengan gugatan UU Narkotika juga dipaparkan.
Advertisement
"Jadi tujuan kami yang mulia dalam perbaikan ini sudah kami lampirkan lagi adalah agar nantinya negara dapat melakukan pemanfaatan, penelitian, dan pengaturan terhadap narkotika Golongan I untuk layanan kesehatan, sebagaimana telah dilakukan dan diakui berbagai negara di dunia," kata Erasmus dalam sidang virtual, Rabu (21/4/2021).
Sejumlah perbaikan yang disampaikan kepada majelis hakim antara lain terkait legal standing para pemohon dalam mewakili anak-anak penderita kelumpuhan otak atau cerebral palsy yang seluruhnya berusia di bawah 17 tahun. Kemudian detail waktu pemeriksaan dan dilakukannya terapi ganja, hingga rujukan kasus serupa.
"Di 2016 ada seorang anak laki-laki di Ontario, Kanada yang menderita lennox gastaut syndrome, ini bagian dari cerebral palsy, diberikan terapi ganja," kata Erasmus.
"Di 2017 ada Mark Zartler ini sempat terkenal karena memvideokan anaknya yang menderita cerebral palsy, lalu diberikan pengobatan dupa, pengobatan yang sama juga diberikan Pemohon 1 di Australia pada anaknya dan pada saat di video itu kejang-kejang berhenti, dan itu mengakibatkan di tahun 2017, 2018, negara bagian Texas di AS merubah perundang-undangnya, pengadilan di sana juga mengubah ketentuan di Undang-Undang bagian Texas untuk memperbolehkan narkotika Golongan I yaitu ganja untuk dipakai secara terbatas untuk kebutuhan medis," lanjutnya.
Kemudian, perbaikan permohonan juga merinci alasan Pemohon 1 berhenti menjalankan terapi ganja terhadap anaknya. Setelah pulang dari Australia, pengobatan tidak dilanjutkan karena muncul kasus pemenjaraan Fidelis.
"Karena tidak ada pengobatan narkotika Golongan I jenis ganja di Indonesia, maka yang bersangkutan dipidana penjara. Oleh karena itu, Pemohon 1 tidak bisa mengambil resiko itu sehingga menghentikan pengobatan kepada anaknya," ujar Erasmus.
Ketua Majelis Hakim Suhartoyo pun menerima seluruh perbaikan permohonan tersebut. Kini tinggal menunggu hasil dari rapat dengan seluruh hakim terkait, untuk memutuskan lanjut tidaknya gugatan UU Narkotika itu.
"Kami dari hakim panel, bapak dan ibu semua kami selanjutnya akan melayangkan naskah perbaikan ini ke rapat permusyawaratan hakim yang komposisinya terdiri dari sembilan hakim untuk selanjutnya dilakukan pembahasan bagaimana relefansi perkara ini. Apakah perlu dicermati, ditingkatkan dalam sidang pembuktian, atau kah cukup sampai di sini dan kemudian bisa diambil sikap mahkamah untuk mengambil keputusan," tutup Suhartoyo.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Permohonan
Tiga ibu mengajukan judical review atau uji materi terhadap Pasal 6 Ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka berharap dengan melakukan uji materi tersebut, bisa memanfaatkan ganja sebagai pengobatan. Tiga ibu ini anaknya mengalami cerebral palsy atau kelumpuhan otak.
Kuasa hukum pemohon, Erasmus mengatakan, uji materi ini bukan tak berdasarkan ilmiah. Menurutnya salah satu ibu membawa anaknya ke Australia untuk menjalani terapi ganja.
"Ada perkembangan kesehatan yang signifikan dari anak pemohon I karena terapi ganja di Australia," tutur Erasmus dalam sidang MK yang dilakukan secara virtual, Rabu (16/12/2020).
Namun itu tak bisa dilakukan di Indonesia mengingat ganja ilegal. Sementara pengobatan mesti terus dilakukan dan hasil positifnya pun sampai ke telinga dua ibu yang anaknya juga mengalami penyakit gangguan otak, juga epilepsi.
"Pemohon dua tidak bisa membawa anaknya ke Australia karena keterbatasan biaya," jelasnya.
Sama halnya dengan pemohon tiga, obat-obatan dari BPJS juga kini tidak bisa diberikan karena terbatasi usia si anak. Ketiga ibu itu hanya bisa bergantung pada pengobatan terapi ganja yang diklaim telah meningkatkan kesehatan salah satu anak penderita lumpuh otak.
"Alasan permohonan uji materi kita ada tiga," ujar Erasmus.
Advertisement