Liputan6.com, Canberra: Meski tak mengalami langsung kejadian Bom Bali 12 Oktober 2012 lalu, kisah 202 korban yang tewas mengenaskan dan duka mereka yang ditinggalkan, membuat seorang fotografer perempuan asal Australia stres berat.
Ia lantas melayangkan gugatan sebesar 700.000 dolar Australia atau Rp 7 miliar pada bekas medianya, The Age. Alasannya, bosnya dulu gagal menyediakan lingkungan kerja yang sehat.
Fotografer pemenang Walkley Award, yang namanya tak bisa disebutkan itu mengaku menderita depresi, cemas, dan sindrom stres pasca trauma setelah meliput peringatan setahun Bom Bali.
Seperti dimuat The Australian, Rabu (21/11/2012), pengacara penggugat, Tim Tobin SC, kepada Mahkamah Agung Victoria mengatakan, dalam periode kurang dari sebulan, fotografer itu telah melakukan 21 wawancara dengan keluarga korban pemboman.
Tugas itu, tutur Tobin, selalu mampu menguras air mata wartawan tersebut. Sampai di rumahnya, penggugat kerap dihantui mimpi buruk tentang tragedi tersebut.
Tak sampai di sana. Kesehatan mental pewarta foto itu makin menurun. Sejak 2005 dia bahkan dinyatakan tak mampu bekerja.
Jurnalis harus kuat?
Tobin mengaku paham, budaya di media menuntut seseorang kuat dan melaksanakan tugas tanpa melibatkan emosi. "Jurnalis diajarkan untuk melepaskan diri dari sebuah peristiwa, untuk tidak emosional. Jadi, jika seorang wartawan bereaksi, mereka akan dicap lemah," kata dia.
Namun dia menegaskan, bukan itu persoalannya. Ia menuduh The Age tidak menyediakan program dukungan berupa perhatian terhadap penderita gangguan psikologis akibat kejadian traumatis.
Tobin mengatakan, fotografer itu pernah dipindah ke The Sunday Age, yang lebih ringan pemberitaannya, namun masih diberi tugas yang membuat stres.
Jack Rush dari The Age mengatakan, perusahaannya berada di garis depan dalam hal kesejahteraan karyawannya. "Kami selalu berusaha menjaga karyawan," kata dia. Perusahannya telah menyediakan program pendampingan untuk karyawan yang membutuhkan.
Kejadian 12 Oktober 2002 memang traumatis. Tiga bom meledak dalam waktu hampir bersamaan. Dua ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub dan Sari Club di Jalan Legian, Kuta, Bali, sedangkan ledakan terakhir terjadi di dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat. Itu adalah aksi teror terbesar dan paling mematikan di Indonesia hingga saat ini.
Ia lantas melayangkan gugatan sebesar 700.000 dolar Australia atau Rp 7 miliar pada bekas medianya, The Age. Alasannya, bosnya dulu gagal menyediakan lingkungan kerja yang sehat.
Fotografer pemenang Walkley Award, yang namanya tak bisa disebutkan itu mengaku menderita depresi, cemas, dan sindrom stres pasca trauma setelah meliput peringatan setahun Bom Bali.
Seperti dimuat The Australian, Rabu (21/11/2012), pengacara penggugat, Tim Tobin SC, kepada Mahkamah Agung Victoria mengatakan, dalam periode kurang dari sebulan, fotografer itu telah melakukan 21 wawancara dengan keluarga korban pemboman.
Tugas itu, tutur Tobin, selalu mampu menguras air mata wartawan tersebut. Sampai di rumahnya, penggugat kerap dihantui mimpi buruk tentang tragedi tersebut.
Tak sampai di sana. Kesehatan mental pewarta foto itu makin menurun. Sejak 2005 dia bahkan dinyatakan tak mampu bekerja.
Jurnalis harus kuat?
Tobin mengaku paham, budaya di media menuntut seseorang kuat dan melaksanakan tugas tanpa melibatkan emosi. "Jurnalis diajarkan untuk melepaskan diri dari sebuah peristiwa, untuk tidak emosional. Jadi, jika seorang wartawan bereaksi, mereka akan dicap lemah," kata dia.
Namun dia menegaskan, bukan itu persoalannya. Ia menuduh The Age tidak menyediakan program dukungan berupa perhatian terhadap penderita gangguan psikologis akibat kejadian traumatis.
Tobin mengatakan, fotografer itu pernah dipindah ke The Sunday Age, yang lebih ringan pemberitaannya, namun masih diberi tugas yang membuat stres.
Jack Rush dari The Age mengatakan, perusahaannya berada di garis depan dalam hal kesejahteraan karyawannya. "Kami selalu berusaha menjaga karyawan," kata dia. Perusahannya telah menyediakan program pendampingan untuk karyawan yang membutuhkan.
Kejadian 12 Oktober 2002 memang traumatis. Tiga bom meledak dalam waktu hampir bersamaan. Dua ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub dan Sari Club di Jalan Legian, Kuta, Bali, sedangkan ledakan terakhir terjadi di dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat. Itu adalah aksi teror terbesar dan paling mematikan di Indonesia hingga saat ini.