MK Kembali Gelar Sidang Pengujian UU Pers, Wartawan Perbaiki Permohonan

Terkait dengan kedudukan hukum Para Pemohon, pihaknya telah menambahkan kartu anggota wartawan dan kartu anggota organisasi pers dari Para Pemohon.

oleh Rinaldo diperbarui 08 Sep 2021, 06:54 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2021, 06:54 WIB
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK)
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK) (Liputan6/Putu Merta)

Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), pada Selasa (7/9/2021) secara daring. Para pemohon Perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 merupakan tiga wartawan sekaligus pimpinan perusahaan pers dan organisasi pers. Ketiga orang tersebut, yakni Heintje Grontson Mandagie, Hans M Kawengian, dan Soegiharto Santoso.

Dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Vincent Suriadinata selaku kuasa hukum mengatakan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan nasihat dan saran yang disampaikan oleh Majelis Hakim pada persidangan yang lalu.

"Pokok-pokok perbaikan yang kami perbaiki, yakni yang pertama terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, kami menambahkan Pasal 24 Ayat (2) Undang- Undang Dasar Tahun 1945," jelas Vincent seperti dikutip dari laman mkri.id.

Lebih lanjut Vincent mengatakan, terkait dengan kedudukan hukum Para Pemohon, pihaknya telah menambahkan kartu anggota wartawan dan kartu anggota organisasi pers dari Para Pemohon.

Pada bagian akhir dari posita, sambung Vincent, pihaknya menegaskan bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf UU Pers bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, yakni dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers oleh masing-masing organisasi pers.

"Kemudian, penafsiran dari para Pemohon akan terfasilitasi untuk dapat terlibat dan menyusun tersebut mengikat untuk Pasal 11 ayat (5) nya, Yang Mulia, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai keputusan presiden bersifat administratif sesuai usulan atau permohonan dari organisasi-organisasi pers, perusahaan-perusahaan pers, dan wartawan yang dipilih melalui mekanisme kongres pers yang demokratis," urai Vincent.

Sebelumnya, para Pemohon menguji fungsi Dewan Pers dalam menyusun berbagai peraturan di bidang pers sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers).

Pemohon mendalilkan adanya ketidakjelasan tafsir Pasal 15 ayat (5) UU Pers telah merugikan hak konstitusional para Pemohon. Pemohon yang memiliki perusahaan dan organisasi pers berbadan hukum merasa terhalangi untuk membentuk Dewan Pers independen serta untuk memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers secara demokratis.

Tak hanya itu, ketentuan tersebut dinilai Pemohon menyebabkan hak untuk menetapkan dan mengesahkan anggota Dewan Pers yang dipilih secara independen juga terhalangi.

Para Pemohon menyelenggarakan Kongres Pers Indonesia pada 2019 silam yang menghasilkan terpilihnya Anggota Dewan Pers Indonesia. Akan tetapi, karena adanya Pasal 15 ayat (5) UU Pers, hasil Kongres Pers Indonesia tersebut tidak mendapatkan respons dan tanggapan dari Presiden Indonesia.

Selain itu, keberadaan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers harus ditinjau kembali. Hal ini karena organisasi-organisasi pers kehilangan haknya dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers.

Sebab, lanjutnya, dalam pelaksanaannya, pasal a quo dimaknai oleh Dewan Pers sebagai kewenangannya berdasarkan fungsi Dewan Pers untuk menyusun dan menetapkan peraturan di bidang pers.

Bertentangan dengan UUD 1945

Sehingga keberlakuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU 40/1999 bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers oleh masing-masing organisasi pers" karena membatasi hak organisasi-organisasi pers mengembangkan kemerdekaan pers dan menegakan nilai-nilai dasar Demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Oleh karena itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers oleh masing-masing organisasi pers".

Pemohon juga meminta MK untuk menyatakan Pasal 15 ayat (5) Pers bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "Keputusan Presiden bersifat administratif sesuai usulan atau permohonan dari organisasi-organisasi pers, perusahaan-perusahaan pers dan wartawan yang terpilih melalui mekanisme kongres pers yang demokratis".

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya