Perludem Sebut Ambang Batas 20 Persen Hambat Capres Alternatif

Titi khawatir jika ketentuan ambang batas terus berlaku, maka pemilihan umum 2024 akan menyebabkan polarisasi kian menguat antarkelompok masyarakat.

oleh Nila Chrisna Yulika diperbarui 15 Okt 2021, 23:32 WIB
Diterbitkan 15 Okt 2021, 23:31 WIB
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini (Merdeka)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, ambang batas calon presiden (presidential treshold) 20 persen dapat menghambat pencalonan tokoh-tokoh alternatif di luar elite partai politik.

Ketentuan ambang batas yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) Pemilu, menyebabkan pengaruh partai politik terlalu kuat dalam menentukan tokoh-tokoh yang dapat mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden.

“Kalau bicara peluang pencalonan, determinasi partai politik sangat kuat,” sebut Titi di Jakarta, Jumat (15/10/2021).

Presidential treshold tersebut berlaku sejak 2009 dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, lalu dilanggengkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, dan terakhir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.

Kondisi ini menyebabkan masyarakat tidak diberi pilihan calon presiden yang memadai, karena tokoh-tokoh yang maju pada pemilihan 2024 akan didominasi oleh elite-elite partai atau mereka yang dekat dengan kelompok tersebut.

“Mau tidak mau, bicara soal peluang perempuan, capres-capres alternatif yang mewakili daerah akhirnya kembali ke hulu, punya tidak 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah,” terang Titi Anggraini seperti dikutip dari Antara.

Ketentuan ambang batas 20 persen itu juga menyebabkan kuatnya polarisasi atau perpecahan di masyarakat. 

Titi khawatir jika ketentuan ambang batas terus berlaku, maka pemilihan umum 2024 akan menyebabkan polarisasi kian menguat antarkelompok masyarakat.

“Polarisasi disintegratif yang tidak berorientasi pada gagasan dan program. (Polarisasi itu) justru berorientasi pada pendekatan yang memecah belah. Itu kecenderungannya,” sebut Titi.

“Kalau tidak belajar dari (pemilu) 2019, sangat mahal ongkos yang dibayar,” kata dia menambahkan.

 

 

Berharap Sikap Kenegarawanan Parpol

Dia berharap para elite partai politik dapat menunjukkan sikap negarawan dan itikad baik mewujudkan demokrasi yang sehat, salah satunya dengan membuka peluang tokoh-tokoh di luar lingkar kekuasaan untuk mencalonkan diri sebagai presiden.

“Di sini kenegarawanan dan itikad baik dari para elite partai (untuk) memberi alternatif-alternatif beragam pada pemilih jadi penting,” ujar Titi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya