Menyoal Permendikbudristek PPKS di Kampus

Baru diterbitkan, permendikbudristek 30/2021 menuai polemik. Sikap pro dan kontra muncul. Tak sedikit pihak yang meminta Nadiem mencabut aturan tersebut untuk direvisi.

oleh Muhammad AliYopi Makdori diperbarui 11 Nov 2021, 00:02 WIB
Diterbitkan 11 Nov 2021, 00:02 WIB
Mendikbud
Mendikbud Nadiem Makarim mengikuti upacara Hardiknas melalui virtual. (Dokumentasi Kemendikbud)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi atau Mendikbudristek Nadiem Makarim menekan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 pada 31 Agustus 2021. Peraturan ini berisi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) pada lingkungan perguruan tinggi.

Baru diterbitkan, permendikbudristek tersebut menuai polemik. Sikap pro dan kontra muncul di tengah masyarakat. Dan tak sedikit pihak yang meminta Nadiem mencabut aturan tersebut untuk direvisi.

Ada beberapa pasal yang disorot dalam peraturan itu. Di antaranya terkait frasa "tanpa persetujuan korban" yang tertuang dalam Pasal 5. Dalam huruf l (el) disebutkan, "menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban. Kemudian pada huruf m (em) juga tertulis, "membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban."

Menurut Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS Fahmy Alaydroes, frase ini justru dapat melegalkan seks bebas di lingkungan kampus.

"Bila terjadi hubungan seksual suka sama suka, kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja, dan dilakukan di luar ikatan pernikahan, peraturan ini membiarkan, dan menganggap normal. Bahkan, peraturan ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk ‘legalisasi’ perbuatan asusila seksual yang dilakukan tanpa paksaan (suka sama suka) di kalangan perguruan tinggi," tegas dia dalam keterangan tulis, Selasa (9/11/2021).

"Pertanyaan kritisnya adalah apakah peraturan ini ingin mencegah dan melarang perzinaan dengan paksaan, tetapi mengizinkan perzinaan dengan kesepakatan?" imbuh Fahmy.

Untuk itu, ia mendesak agar aturan ini dicabut lantaran mengakomodasi pembiaran praktik perzinaan dan hubungan seksual sesama jenis. Permendikbud ini harus sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945 yang menugaskan Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.

"Yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa," katanya.

Fahmy memahami bahwa maksud dan tujuan dari beleid ini ingin menghilangkan kekerasan seksual di kampus, namun sayangnya peraturan itu sama sekali tidak menjangkau atau menyentuh persoalan pelanggaran susila (asusila) yang sangat mungkin terjadi di lingkungan perguruan tinggi, termasuk praktek perzinahan dan hubungan seksual sesama jenis (LGBT).

Desakan yang sama juga disampaikan Ketua DPP PPP Illiza Sa'aduddin Djamal. Dia menilai ketentuan yang tertuang di Permendikbud 30/2021 justru berpotensi membuat ruang seks bebas mulai perzinaan dan praktik LGBT dengan dalih persetujuan kedua belah pihak.

Illiza berdalih aturan yang memberi ruang seks bebas itu sangat bertentangan dengan nilai Pancasila dan agama. Oleh karena itu PPP mendesak agar Permendikbudristek segera dicabut.

"PPP mendesak Mendikbud untuk mencabut Permendikbud tersebut sesegera mungkin selain karena bertentangan dengan nilai Pancasila dan agama, Permendikbud ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Semangat untuk menjadikan kampus bebas dari pelecehan seksual tidak lantas menabrak nilai Pancasila dan agama. Membersihkan lantai kotor harus dengan sapu yang bersih," ujar dia.

Untuk memberantas pelecehan seksual di lingkungan kampus, ia menyebut hal itu akan difasilitasi dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

"Sebaiknya, energi kita semua lebih difokuskan pada pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang saat ini sedang dibahas di Panja di DPR RI," pungkas Illiza.

Bukan kali ini saja kebijakan Kemendikbudristek menuai kontroversi. Sebelumnya pun demikian. Contohnya pembubaran Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang juga menimbulkan perdebatan. Peniadaan BSNP itu dianggap bertentangan dengan UU Sisdiknas.

Maraknya polemik atas kebijakan yang ditelurkan Mendikbudristek lantaran Nadiem dianggap acap mengabaikan partisipasi publik dalam menyusun aturan. Mantan Bos Gojek itu memang dinilai memiliki obsesi untuk membuat banyak hal terobosan dalam dunia pendidikan.

"Tapi jujur yang harus diakui tak ada ruang transisi yang ia bayangkan dari semua kebijakan dia. Tidak mempertimbangkan ruang partisipasi publik ketika kebijakan itu dikeluarkan," kata Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam sebuah diskusi daring, Selasa (9/11/2021).

"Malah sering kali beberapa polemik itukan terjadi kebijakan itu seolah-olah di ruang kosong lah begitu. Kira-kira semua harus ikut saja," sambungnya.

Huda menilai mekanisme semacam itu tak bisa dilakukan di Tanah Air. Untuk itu ia meminta ke depannya Nadiem bisa lebih sensitif dengan isu yang mendapat perhatian khalayak.

"Karena itu kita berharap Kemendikbud lebih berhati-hati, sensitif terhadap isu-isu publik, terhadap situasi baik pada aspek sosiologis dan antropologis di bangsa dan negara ini," katanya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Bantahan Kemendikbudristek

Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Diktiristek) Nizam membantah anggapan yang berkembang di masyarakat. Menurutnya, penilaian ini timbul karena kesalahan persepsi atau sudut pandang.

"Tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk diawal Permendikbudristek ini adalah ‘pencegahan', bukan ‘pelegalan',” tegasnya dalam keterangan tulis, Selasa (9/11/2021).

Nizam juga menggarisbawahi fokus Permendikbudristek PPKS. Di mana aturan itu hanya menyoroti pencegahan dan penindakan praktik kekerasan seksual di kampus.

“Fokus Permen PPKS adalah pencegahan dan penindakan atas kekerasan seksual. Sehingga definisi dan pengaturan yang diatur dalam permen ini khusus untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual,” tegasnya.

Saat ini, kata Nizam, beberapa organisasi dan perwakilan mahasiswa menyampaikan keresahan dan kajian atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang tidak ditindaklanjuti oleh pimpinan perguruan tinggi.

“Kebanyakan dari mereka takut melapor dan kejadian kekerasan seksual menimbulkan trauma bagi korban. Hal ini menggambarkan betapa mendesaknya peraturan ini dikeluarkan,” ujarnya.

Kehadiran Permendikbudristek PPKS merupakan jawaban atas kebutuhan perlindungan dari kekerasan seksual di perguruan tinggi yang disampaikan langsung oleh berbagai mahasiswa, tenaga pendidik, dosen, guru besar, dan pemimpin perguruan tinggi yang disampaikan melalui berbagai kegiatan.

Karenanya, kekerasan seksual di sektor pendidikan tinggi menjadi kewenangan Kemendikbudristek, sebagaimana ruang lingkup dan substansi yang tertuang dalam Permendikbudristek tentang PPKS ini.

Nizam menekankan Kemendikbudristek wajib memastikan setiap penyelenggara pendidikan maupun peserta didiknya dapat menjalankan fungsi tri dharma perguruan tinggi dan menempuh pendidikan tingginya dengan aman dan optimal tanpa adanya kekerasan seksual.

Anggota Komisi X DPR RI yang juga politikus PDIP MY Esti Wijayati angkat bicara mengenai Permendikbudristek No 30 tahun 2021 yang kini menjadi polemik. Menurut dia, itu sebuah bentuk pencegahan dini dari kekerasan seksual.

Legislastor asal Yogyakarta ini memandang, masih dibahasnya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di Badan Legislasi DPR RI, sehingga belum bisa diimplementasikan, perlu regulasi untuk mencegah kekerasan seksual khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi.

Karena itu, MY Esti memandang langkah Mendikbudristek Nadiem Makarim seharusnya diapresiasi.

"Sehingga langkah Mendikbudristek Nadiem Makarim di dalam mengeluarkan Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggu mestinya harus diapresiasi sebagai langkah cepat agar kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi bisa dicegah lebih dini, dan bisa dilakukan penanganan sesegera mungkin jika itu terjadi," kata dia dalam keterangannya, Rabu (10/11/2021).

Menurut MY Esti, Permendikbudristek tidak bisa diartikan sebagai bentuk pelegalan terhadap terjadinya hubungan seksual suka sama suka di luar pernikahan.

"Peraturan ini, juga tak bisa disebut melegalkan LGBT," jelas dia.

Karena itu, Permendikbudristek ini mendapat dukungan, bukannya dipermasalahkan dan diminta untuk ditarik.

"Langkah cepat yang dilakukan Nadiem Makarim melalui permendikbudristek ini tentu sudah berdasarkan kajian dan analisa terhadap kejadian-kejadian yang ada di lingkungan Kampus," kata MY Esti.

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mendukung langkah Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim untuk menerbitkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 perihal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.

"Kami mendukung kebijakan yang telah dikeluarkan Mas Menteri. Karenanya, kami segera mengeluarkan Surat Edaran (SE) untuk mendukung pemberlakuan Permendikbud tersebut di PTKN (Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri)," ungkap Yaqut Cholil Qoumas dalam keterangannya, Selasa (9/11/2021).

Untuk mewujudkan dukungan tersebut, Kemenag mengeluarkan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemenag tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN).

Yaqut sepakat dengan Nadiem yang menyatakan bahwa kekerasan seksual menjadi salah satu penghalang tercapainya tujuan pendidikan nasional. "Kita tidak boleh menutup mata, bahwa kekerasan seksual banyak terjadi di lingkungan pendidikan. Dan kita tidak ingin ini berlangsung terus menerus," kata dia.

"Ini kebijakan baik. Dengan kebijakan ini, kita berharap para korban dapat bersuara dan kekerasan seksual di dunia pendidikan dapat dihentikan," imbuh Yaqut.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya