Liputan6.com, Jakarta - Erni Suyanti Musabine adalah salah satu sosok di garda terdepan saat penyelamatan harimau di kawasan Sumatera bagian selatan. Dia sadar, nyawa selalu jadi taruhan saat operasi lapangan penyelamatan satwa liar di hutan rimba.
Namun, bagi dokter hewan yang bertugas di Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Lampung ini, kondisi itu seperti menjadi hal yang biasa. Masuk keluar hutan sudah menjadi kegiatan yang rutin dilaluinya hampir 18 tahun terakhir.
Baca Juga
Yanti, yang sempat lama bertugas di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu itu memang sudah sering terlibat dalam penyelamatan satwa liar. Mulai dari harimau, gajah Sumatera, beruang, hingga orang utan.
Advertisement
Tak hanya di Lampung dan Bengkulu, beberapa provinsi terdekat juga seringkali meminta dokter hewan lulusan Universitas Airlangga ini untuk membantu operasi penyelamatan. Pasalnya, jumlah dokter hewan, terlebih untuk penanganan harimau, masih terbatas.
Yanti menyebut, kasus konflik manusia dengan satwa liar bisa terjadi karena kondisi habitat satwa tersebut yang semakin lama semakin tumpang tindih dengan aktivitas manusia, baik yang legal ataupun ilegal.
Konflik yang dihadapi di masyarakat juga cukup beragam. Mulai dari korban perburuan hingga adanya konflik dengan manusia yang memiliki frekuensi cukup sering terjadi. "Jadi semakin tinggi frekuensi aktivitas manusia di dalam kawasan atau area yang sama, tentu konflik akan terjadi," kata Yanti kepada Liputan6.com.
Aktivitas yang tinggi oleh manusia itu juga berdampak banyaknya akses yang lebih mudah ke dalam kawasan hutan tersebut. Seperti halnya mempermudah para pelaku aktivitas ilegal seperti pemburu liar untuk masuk ke kawasan hutan. Yanti sendiri mengaku sejak tahun 2007 hingga 2021 hanya sekitar 15 harimau yang terselamatkan olehnya bersama tim.
Evakuasi Harimau Terjerat
Yanti pun bercerita soal proses penyelamatan harimau dari jerat pemburu. Biasanya, Yanti ataupun BKSDA Bengkulu mendapatkan laporan dari warga ataupun dari para patroli hutan. Setelah itu, baru tim penyelamatan langsung diterjunkan ke lapangan.
Untuk kawasan hutan, biasanya Yanti hanya menerima titik koordinat lokasi sekitar hewan dilindungi itu ditemukan. Titik itu juga dijadikan acuan untuk mencari jalan tercepat untuk menuju lokasi.
Dia mencontohkan penyelamatan harimau yang terjadi di kawasan Taman Nasional. Terpenting, ada dokter hewan dan beberapa tenaga fungsional seperti halnya polisi hutan yang siap membantu.
Saat penyelamatan kata Yanti, dibutuhkan kesigapan tanpa menimbulkan suara yang dapat menganggu proses evakuasi. Menurutnya, harimau merupakan hewan buas yang sensitif dengan manusia, apalagi dalam kondisi terkena jerat pemburu. Salah langkah manusia bisa menjadi korban sasaran.
Yanti harus bergegas untuk segera menyelamatkan pasiennya. Bahkan berkali-kali pun dia harus berlomba dengan para pemburu yang siap membawa kabur buruannya. Melalui pengetahuannya mengenai perilaku harimau, Yanti harus selalu tenang dan waspada saat proses evakuasi berlangsung.
Berjarak tak jauh dari harimau terjerat dia langsung mencari posisi berdiri yang tepat untuk menembakkan obat bius dengan sumpit bambu yang sudah dipersiapkannya. Petugas fungsional lainnya pun juga langsung mencari posisi aman dan tercepat jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
"Harimau yang terjerat kan mobilitasnya terhambat nih, saya biasanya melakukan dengan cara pembiusan. Saya memakai sumpit bius biar tidak menimbulkan suara, agar harimaunya juga tidak stres dan tidak tahu lagi disuntik. Kadang mereka tidak menyadari," ucapnya.
Saat proses penyelamatan, posisi Yanti berdiri biasanya berpatokan dari jarak terkam harimau. Hal itu ditandai dengan lokasi yang tampak bersih atau tumbuhan sekitar yang tumbang akibat amukan harimau menahan sakit dari jerat pemburu. Posisi aman kata dia yaitu samping badan harimau. Dirasa aman, tembakan bius pun dilakukan.
Untuk melakukan pembiusan pun tak sembarangan. Ada bagian-bagian tubuh harimau yang berbahaya atau fatal jika terkena bius. Lalu penembakan menggunakan sumpit juga harus dilakukan dengan pelatihan sebelumnya yang dilakukan oleh dokter hewan hingga tenaga fungsional lainnya yang seringkali membantu proses evakuasi. Namun dosis bius tetap otoritas dari dokter hewan.
Pembiusan bukanlah langkah akhir dari proses evakuasi binatang buas. Sebab setelah bius mengenai tubuh satwa, masih banyak kemungkinan yang akan terjadi. Misalnya jantung harimau tiba-tiba berhenti hingga suhu tubuh yang tidak normal.
"Nah ini perlu mendapat perhatian. Rescue itu bukan hanya pembiusan terus berjalan mudah kita angkut atau tandu. Sampai dia sadar kembali kita monitoring terus apakah kondisinya, fisiologinya normal atau tidak, jantung normal, napasnya normal atau tidak," Yanti menjelaskan.
Penanganan Konflik Satwa dengan Manusia
Sementara itu, kata Yanti, penanganan evakuasi dalam proses konflik dengan manusia pun berbeda dengan kasus jerat pemburu. Waktu penanganannya pun lebih lama dan panjang.
Bisa sampai hitungan bulan jika banyak memakan banyak korban jiwa. Mulai dari pengawasan, patroli rutin, hingga sosialisasi dilakukan kepada masyarakat. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi korban jiwa dengan adanya sikap anarkis ataupun adanya pemburu yang menyusup.
Sosialisasi itu dilakukan misalnya dengan memberikan arahan ataupun tips saat warga berpapasan dengan harimau atau binatang buas lainnya. Tips itu untuk menghindari adanya interaksi negatif yang dapat merugikan semua pihak.
"Kadang harimau itu macam-macam konflik. Ada yang melintas saja, terus ada yang memang homering-nya di situ. Terkadang masih perlu penelitian (perilaku harimau), konflik muncul yang sebelumnya tidak ada, lalu (setelah konflik) harimau balik ke hutan dan tidak ada konflik lagi," paparnya.
Perburuan Liar Meningkat
Perburuan satwa dilindungi hingga saat ini masih terus terjadi di hutan Indonesia. Sejumlah satwa pun diburu dan dijualbelikan. Ketua Profauna Indonesia Rosek Nursahid menyebut jumlah perburuan satwa dilindungi di Indonesia mengalami peningkatan saat pandemi Covid-19. Hal tersebut berdasarkan kasus yang terjadi di Provinsi Jawa Timur.
Beberapa pemburu yang ditemuinya beralasan menganggur atau tidak memiliki pekerjaan akibat pandemi yang terjadi sejak awal 2020. Akibatnya mereka diajak rekannya untuk melakukan pemburuan bersama. Kemudian ada pula yang beralasan usaha yang dijalaninya berhenti atau bangkrut dan berburu menjadi bentuk peruntungan baru.
Rosek menyebut ada dua tipe pemburu satwa di Indonesia. Yaitu bertujuan untuk kepentingan ekonomi. Berburu atau menangkap satwa di hutan untuk dijual ke pengepul ataupun pasar tradisional hingga melalui media sosial. Lalu tipe berburu karena hobi yang biasanya menggunakan senapan dan tujuannya membunuh satwanya.
Satwa yang diburu bermacam-macam. Mulai dari jenis mamalia hingga primata. Kijang (muntiacus muntjak) menjadi salah satu satwa paling banyak diburu. Kemudian ada babi hutan, lutung, hingga semua jenis burung yang ada di hutan. Untuk penjualannya kata Rosek, paling banyak dilakukan untuk dalam negeri.
"Kelompok jenis burung, kalau burung ya hampir semua jenis burung karena mereka tidak memilih kalau di hutan apa yang bisa ditangkap bisa diburu ya itu yang dimanfaatkan oleh mereka. Burung, primata sama kijang (paling banyak)," kata Rosek kepada Liputan6.com.
Hingga saat ini, Rosek menilai pemerintah masih menganggap perburuan satwa bukanlah isu yang penting untuk ditangani. Perhatian pemerintah juga disebut masih rendah dalam aspek lingkungan dan konservasi alam. Dia menyebut pemerintah masih bergerak menangani ketika satwa-satwa tersebut telah diburu, dibunuh, atau ditangkap dan dijual dipasaran.
Tindakan tersebut dinilai kurang efektif. Sebab setelah ditangkap dari perburuan satwa tetaplah menjadi korban. Pencegahan kata Rosek dianggap dapat menurunkan angka penurunan perburuan liar. Seperti halnya memperkuat politisi hutan. Saat ini jumlah polisi hutan pun belum dapat memenuhi kebutuhan pengawasan hutan yang ada.
"Seharusnya mereka memberdayakan melibatkan masyarakat lokal komponen masyarakat nah itu sudah dicoba Profauna di Malang itu efektif di beberapa lokasi lereng Gunung Arjuno di Gunung Kawi," ucapnya.
Pelibatan Masyarakat
Rosek mengaku bersama timnya berupaya melibatkan masyarakat lokal hingga para petani hutan. Yaitu melalui pendampingan dan edukasi mengenai perburuan satwa. Hal itu dinilai efektif dan dapat menurunkan angka perburuan hingga 90 persen.
Dia pun mencontohkan penurunan kasus itu untuk hutan di lereng Gung Arjuno dan Kawi dengan adanya patroli yang melibatkan masyarakat. Sebelum tahun 2021 jumlah orang yang masuk ke hutan untuk berburu rata-rata 25 orang per bulan. Namun pada tahun 2021 jumlah tersebut berkurang enam orang rata-rata setiap bulan.
"Dalam teori kejahatan kenapa terjadi pelanggaran karena tidak ada petugas dan ada kesempatan. Nah itu yang harus kita putus kalau mengandalkan Gakkum, polhut atau perhutani sendiri kita tidak akan mampu. Masyarakat harus kita ajak masyarakat harus kita edukasi, dirangkul," ujar dia.
Berdasarkan kegiatan di lapangan, Rosek menyebut para petani hutan sebenarnya tidak suka dengan kehadiran para pemburu. Selain dapat merusak tanaman, pemburu dinilai membuat habitat yang dibutuhkan semakin berkurang, contohnya burung.
"Sejak burung-burung ditangkap itu yang memakan serangga, ulat, hama itu jadi berkurang sehingga mereka ongkos untuk insektisida itu menjadi besar. Kalau waktu itu burung masih melimpah itu hama-hama dimakan oleh burung jadi petani enggak suka dengan perburuan karena merugikan mereka," Rosek menandaskan.
Advertisement
Penjagaan Habitat Satwa
Berdasarkan Peraturan Menteri LHK No. P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, ada 921 jenis yang dilindungi. Jumlah itu terdiri dari 564 jenis burung, 137 jenis mamalia, 37 jenis reptil, 26 jenis serangga, 20 jenis ikan, dan 127 jenis tumbuhan. Kemudian satu jenis krustasea, lima moluska, tiga xiphosura, dan satu amphibi.
Kendati begitu, beberapa satwa yang dilindungi terancam punah. Contohnya harimau Sumatera, gajah sumatera, badak Jawa, hingga orang utan. Ada beberapa faktor penyebabnya. Misalnya akibat perburuan hingga dan perdagangan liar.
Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Sustyo Iriyono menyebutkan pihaknya terus melakukan pengawasan dan penindakan perburuan dan perdagangan satwa liar ilegal di seluruh wilayah Indonesia. Hasil perburuan kebanyakan untuk dijual kembali ke dalam negeri ataupun luar negeri. Cina dan Hongkong kata Sustyo menjadi negara negara paling banyak yang dituju untuk penjualannya.
Dalam penegakan hukum perburuhan satwa liar ataupun gangguan lainnya di Indonesia dinilai memiliki sejumlah tantangan. Mulai dari penjagaan dan pengawasan di hutan. Yakni terkait jumlah pengawasan yang tidak seimbang.
"Tantangannya pertama harus ada penjagaan di kawasan hutan di hulu, itu dari para pemburu liar dan gangguan lainnya itu habitatnya satwa di situ (hutan). Sementara kan rasio jumlah (petugas) dengan luasan hutan kan beda tidak seimbang," kata Sustyo kepada Liputan6.com.
Lalu pengawasan pengedaran satwa liar hasil buruan juga terus dilakukan. Yaitu melalui pintu-pintu jalur transportasi. Misalnya di Sumatera melalui pelabuhan ataupun bandara. Setiap jalur transportasi sudah memiliki pos penjagaan dan pengecekan yang berkoordinasi dengan TNI/Polri.
Gandeng Kementrian Kominfo
Kemudian upaya pengawasan melalui penggunaan teknologi. Misalnya melalui media sosial (medsos) ataupun situs ilegal yang berkoordinasi dengan Kementrian Komunikasi Dan Informatika (Kominfo). Sebab sejumlah transaksi penjualan perburuan pun terungkap melalui medsos.
Menurut Sustyo, pihak Kominfo juga seringkali membantu dalam penutupan situs ataupun akun yang terbukti dalam lingkaran perburuan satwa liar. "Kalau di medsos kita juga memiliki tim ciber itu setiap hari kita monitor. Ada upload-upload di medsos misal ini a1 (informasi terpercaya) kita turunkan tim untuk operasi, sekarang (kegiatannya) meluas," ucapnya.
Berdasarkan data Kemenetrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selama 2015-2021 sebanyak 424 operasi peredaran tanaman dan satwa liar yang telah dilakukan. Dari ratusan operasi tersebut telah menemukan sebanyak 238.362 ekor satwa dan 15.870 buah bagian satwa. Jumlah satwa hasil operasi paling banyak ditemukan pada tahun 2018 sebanyak 213.205 ekor dengan pelaksanaan 76 kegiatan operasi peredaran.
Dalam pelaksanaan operasi peredaran itu, Sustyo menyatakan pihaknya juga berkoordinasi dengan sejumlah pihak sebagai informan. Sebab modus peredaran penjualan satwa liar dinilai sangat beragama. Transaksi penjualan juga seringkali ditemukan secara tatap muka oleh penjual dan pembeli di titik yang ditentukan.
"Kami banyak informan, kadang kadang dari kita kedetek langsung ketemu kita. Pura-pura jadi pembeli dari transaksi itu kan ada penawaran-penawaran atau dari informan ada penawaran-penawaran baru kita menyamar membeli seperti penangkapan penjualan narkoba lah," Sustyo menandaskan.