HEADLINE: Polemik Hilangnya Kata Madrasah di Draf RUU Sisdiknas, Dampaknya?

Tak ada kata Madrasah, draf RUU Sisdiknas dibanjiri protes masyarakat. Mereka menilai Kemendikbudristek buta sejarah dan mengambil langkah mundur. Apa motifnya?

oleh Muhammad AliMuhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 01 Apr 2022, 00:02 WIB
Diterbitkan 01 Apr 2022, 00:02 WIB
Madrasah Ibtidaiyah di Bogor
Sejumlah siswa belajar di lantai kelas di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Misbahul Athfal, Kampung Cileuleuy, Desa Cibentang, Kecamatan Ciseeng, Bogor, Kamis (8/8/2019) (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Kemendikbudristek kembali menjadi sorotan. Setelah berbagai kebijakannya menuai kegaduhan, kini Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) juga memunculkan gelombang protes dari banyak pihak.

Masyarakat menolak hilangnya kata Madrasah dalam RUU Sisdiknas tersebut. Hilangnya frasa itu dianggap sebagai bentuk i'tikad tak baik pemerintah terhadap keberlangsungan Madrasah.

"Meghilangkan nama madrasah dalam RUU Sisdiknas, sama saja dengan mau menghilangkan madrasah dari negeri ini, menghilangkan guru, anak dan santri serta siswa, juga anggaran pendidikan untuk madrasah," kata Ketua Umum PB Perkumpulan Guru Madrasah Nasional Indonesia (PGMNI), Heri Purnama saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (31/3/2022).

Menurut dia, RUU Sisdiknas yang beredar di tengah masyarakat ini dapat memicu emosi seluruh komunitas guru-guru madrasah. PGMNI mencatat, ada 1.000.050 guru yang tersebar di hampir 16 juta madrasah di seluruh Indonesia yang akan merasakan dampak RUU ini.

"Kita keluarkan statemen tegas, siapa pun yang beri'tikad menghapus madrasah dalam Sisdiknas, berarti memantik perang dengan guru-guru madrasah di Indonesia," tegas dia.

Heri menuturkan, dengan tidak mencantumkan kata madrasah dalam RUU Sisdiknas, akan berdampak kepada seluruh steakholdernya. Selain itu, payung hukum yang menjadi landasan kegiatan belajar mengajar di madrasah juga akan hilang.

"Legal standing (tidak ada), kita lantas dianggap apa madrasah ini. Kita bukan dianggap lembaga formal lagi, bukan lembaga pendidikan. Apa kita dianggap majlis taklim," kata dia.

Padahal, madrasah sejatinya harus mendapatkan perhatian khusus mengingat telah hadir lama di Indonesia. Bahkan madrasah telah menjadi benteng moral anak-anak di daerah dan juga menerapkan nilai-nilai agama.

"Ratusan tahun sebelum ada sekolah, madrasah ini sudah ada. Dia tidak dibentuk oleh pemerintah, tapi  dari masyarakat. Kita sudah berjuang sedemikian rupa, sekuat tenaga, mati-matian kita mendirikan madrasah, mau dihapus begitu saja. Ini kan pelecehan. Ini berbahaya," Heri mengimbuhkan.

Karena itu, rencana penghapusan kata madrasah ini menjadi masalah serius. Heri mengungkapkan, dalam kegiatan belajar mengajar, ada guru-guru madrasah yang tulus mendidik anak-anak bangsa.

"Ada banyak guru mengabdi di madrsah meski gajinya tidak rasional, tapi mereka mengabdi puluhan tahun di madrasah. Karena di situ ada nilai nilai agama, yang menunjukkan kepada nilai-nilai pengabdian, perjuangan, mendidik anak. Apa bisa diatasi ini semua oleh kemendikbud? Nggak bisa," terang dia.

Dia menengarai penghapusan kata madrasah ini sebagai tindakan pemerintah untuk membiaskan makna satuan pendidikan di Indonesia. Padahal, dengan UU Sisdiknas 2003 saja, madrasah kerap dianaktirikan oleh pemerintah.

"Ada kata madrasah saja di Sisdiknas, kami tidak mendapatkan postur anggaran pendidikan nasional. Apalagi tidak ada di Sisdiknas, kami nggak dapat apa apa," ujar dia.

Kondisi ini terlihat timpang dengan sekolah-sekolah SD hingga SMA. Satuan pendidikan tersebut memiliki fasilitas yang memadai dalam mendukung proses belajar mengajar.

"Coba Bapak liat madrasah-madrasah di daerah itu. Menghkhawatirkan, 90 persen gurunya honorer, yang gajinya jauh dari UMR, 150-200 ribu sebulan. Ini enggak berprikemanusiaan Sisdiknas kita ini," ujar dia.

Padahal anggaran pendidikan dalam APBN yang dikelola Kemendikburistek, jumlahnya mencapai sekitar Rp 500-600 triliun. Dari jumlah itu, madrasah hanya mendapatkan Rp 14 triliun.

"Seperti langit dan bumi. Kami akan menuntut kepada Kemendikbudristek untuk berlaku adil anggaran pendidikan nasional," ujar Heri.

Dia menuturkan, penghapusan kata madrasah ini dikhawatirkan menjadi langkah awal pemerintah untuk memberangus keberadaan sekolah tersebut. Sinyak-sinyal itu, kata dia, sudah ditangkapnya. Karena itu para guru madrasah tak akan tinggal diam menghadapinya.

"Awalnya nggak ada, nanti dibahas di-ini akan dibeginikan, itu alasan awalnya. Nanti menjadi landasan hukum untuk menghapus madrasah dari negeri kita ini. Saya sudah menangkap indikasi itu, dan ini tidak bisa dibiarkan," kata dia.

Heri mengungkapkan, dalam waktu dekat, pihaknya akan beraudiensi dengan Komisi VIII dan X DPR. Ia akan menyampaikan surat rekomendasi hasil Rakernas yang berlangsung di Asrama Haji, Bekasi, Jawa Barat, kepada Kemenag dan Kemendikbud. Ia meminta kepada DPR untuk memberikan langkah advokasi secara legislasi dalam mengawal kebijakan masalah Sisdiknas ini.

"Agar mereka berpikir ulang menghilangkan frasa madrasah itu, atau kami akan siap kepung itu Pak. Saya jamin itu ratusan ribu guru madrasah akan turun di situ. Siap turun semua," ujar dia.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Infografis Polemik Hilangnya Kata Madrasah di Draf RUU Sisdiknas. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Polemik Hilangnya Kata Madrasah di Draf RUU Sisdiknas. (Liputan6.com/Trieyasni)

Sementara itu Pengamat Pendidikan Indra Charismiadji menilai, polemik yang muncul dari RUU Sisdiknas menandakan ada yang salah dalam proses penyusunannya. Kata dia, RUU Sisdiknas ini hadir tanpa adanya keterbukaan dari pemerintah.

"Masyarakat otomatis curiga, dulu ada ditutupin. Begitu bocor, terbongkar, ternyata banyak masalah. Salah satunya dihapuskannya kata madrasah di RUU Sisdiknas, padahal UU sebelumnya sudah ada dan cukup fleksibel, tidak ada masalah," kata Indra kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (31/3/2022).

Bahkan yang lebih ironisnya lagi, dia mengimbuhkan, klarifikasi yang disampaikan Kemendikbud tidak menjelaskan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Menurutnya, ungkapan tak ada niat meniadakan kata madrasah di RUU Sisdiknas, tidak dibuktikan dengan langkah konkret dari Menteri Nadiem Makarim. 

"Lebih lucu penjelasannya Mendikbusristek, dan pejabatnya mengatakan dari awal kami tidak ada niat menghapuskan madrasah. Ngapain ngomongnya niat. Yang penting bukan niat, tetapi apa yang dibuat produk hukumnya. Kalau memang tidak ingin menghapus madrasah, tunjukkan ini lho tulisannya, begini kami memasukkannya," ujar dia.

"Kalau dihapus, dijelaskan. Dari pada bikin video klarifikasi, yang mana klarifikasinya antara Mendikbud dan Menag berbeda. Padahal videonya satu. Mendikbud bilang kalau madrasah masuk dalam penjelasan, sedangkan Menag ngomong masuk dalam batang tubuh, mana yang benar?" imbuh dia.

Karena itu, dia pun mempertanyakan alasan tak ada kata Madrasah dalam RUU Sisdiknas. Karena berdasarkan UUD 1945, tujuan pendidikan itu adalah beriman dan bertakwa.

"Pendidikan seperti madrasah ini punya peranan penting dalam dunia pendidikan Indonesia. Kita tidak seperti barat. Indonesia bukan hanya ilmu pengetahuan, tapi keagamaan juga penting. Karena itu kesepatakan kita dalam konstitusinya," jelas Indra.

Pemerintah sejatinya bersikap transparan terkait RUU Sisdiknas ini. Partisipasi publik harus dilibatkan agar produk hukum yang dihasilkan sesuai keinginan masyarakat. "Kenapa harus dirahasaikan, kenapa enggak dibuka saja di muka umum," ujar dia.

Dengan tidak adanya transparansi itu, akan muncul asumsi-asumsi liar di tengah publik. Bisa jadi, kata Indra, penghapusan madrasah itu lantaran saat ini lagi ngetren istilah radikal.

"Hal itu jadi kita menerka-nerka saja. Siapa tahu, Kemendikbud punya kajian kalau madrasah itu adalah tempat asal dari paham radikal, misalnya begitu. Kan itu ada kemungkinan, karena tidak ada penjelasannya," ujar dia.

Selain itu, kata dia, bisa jadi Kemendikbudristek lalai untuk kesekian kali. Sebelumnya kealpaan juga ditunjukkan Kemendikbudristek dalam PP 57/2021 yang menghilangkan Pancasila dan bahasa Indonesia.

"Ini sebetulnya yang mana, kita tidak pernah mendapatkan penjelasaan dari Kemendikbud, sebetulnya desain RUU Sisdiknas itu mau seperti apa. Jelaskan saja yang mau dibuat apa," ujar Indra.

Dia menuturkan, ada dampak yang ditimbulkan jika kata Madrasah tidak tercantum dalam UU Sisdiknas. Berdasarkan keputusan MK disebutkan bila tidak ada dalam batang tubuh undang-undang, maka tidak bisa dijadikan sebagai payung hukum untuk membuat peraturan yang lain.

"Jadi misalnya kalau di situ tidak ada kata madrasah, ya nggak bisa ada anggaran buat madrasah. Nggak ada cantolannya," kata dia.

"Yang kita bingung tadi, supaya flelsibel. Emang mau fleksibel seperti apa, mau bikin padepokan apa menggantikan sekolah SD. Yang ada sekarang sudah cukup fleksibel," tambahnya.

Dampak yang tak kalah menyedihkan, lanjut Indra, adalah keberadaan madrasah bisa terancam hilang. Ini lantaran tidak adanya pengakuan oleh Undang-undang.

"Itu yang bisa kita lihat. Dengan ini dampaknya berarti yang namanya madrasah tidak diakui dalam Sisdiknas. Artinya tidak mendapatkan anggaran, dengan kata lain ditutup. Apakah itu desainnya? Tidak pernah dijelaskan," terang Indra.

"Jadi kalau misalnya ngomong dari awal tidak ada niat, tapi sebetulnya desainnya adalah supaya madrasah tidak dapat anggaran, kan sama aja mau nutup," dia mengimbuhkan.

Karena itu, dia meminta kepada Kemendikbudristek untuk membuka akses kepada masyarakat dan akademisi dalam memantau draf Sisdiknas ini. Dengan demikian, dasar dari kebijakan yang diambil akan berbasiskan data yang bisa dipertanggungjawabkan.

Ia juga meminta DPR untuk tidak menerima usulan kemendikbudristek memasukkan RUU Sisdiknas dalam Prolegnas prioritas. Karena masih banyak pasal-pasal yang harus dibahas dengan melibatkan partisipasi publik.

"Karena belum siap. Transparansi dari akademisi, ada kajiannya. Misalnya, ternyata madrasah terbukti menimbulkan paham radikalisme, harus ada kajian akademisnya. Kan begitu. Itu yang harus ditunjukkan," ujar Indra.

 

Infografis Penjelasan Mendikbud dan Menag soal Frasa Madrasah di Draf RUU Sisdiknas. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Penjelasan Mendikbud dan Menag soal Frasa Madrasah di Draf RUU Sisdiknas. (Liputan6.com/Trieyasni)

Langkah Mundur Kemendikbudristek

Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI Andreas Hugo Pariera mengaku belum menerima draf RUU Sisdiknas. Dia menegaskan, RUU ini murni berasal dari pemerintah, yang leading sectornya berada di Kemendikbudristek.

"Belum (terima draf). Ini RUU inisiatif pemerintah, pembahasannya masih ditahap awal di Kemdikbudristek sebagai leading sektor dengan lintas kementerian juga tentu mendengar masukan dari masyarakat. Draf RUU maupun Naskah Akademik sama sekali belum masuk ke DPR," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (31/3/2022).

Dia mengaku terkejut dengan tersebarnya draf RUU Sisdiknas di tengah masyarakat. Sehingga kementerian terkait memberikan klarafikasi atas isu yang berkembang.

"Kami juga kaget. Sudah banyak ramai di luar. Tapi setahu saya, Mendikbudristek dan Menag sudah memberikan penjelasan tentang hal tersebut," jelas dia.

Hugo menegaskan draf RUU Sisdiknas ini sudah masuk dalam program legislasi nasional tahun 2022. Namun demikian, draf RUU ini baru akan dibahas bila DPR sudah menerima surat presiden.

"Memang RUU sudah masuk Prolegnas tahun ini, tapi tentu menunggu RUU dari Pemerintah bersamaan dengan Surpres tersebut, baru akan dibahas di DPR," ujar dia.

Hugo menjelaskan, fraksi-fraksi akan mengajukan daftar inventarisasi masalah (DIM) sandingan terhadap rumusan RUU yang sudah dikirim oleh pemerintah. "Pada tahap ini masyarakat pun bisa memberikan masukan," demikian Hugo.

Sementara itu, Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus sangat memahami berbagai protes yang datang dari berbagai elemen masyarakat dan pemerhati pendidikan tentang draf RUU Sisdiknas.

Dia menegaskan, tidak dicantumkannya frasa Madrasah dalam draf RUU Sisdiknas itu tidak sesuai amanat konstitusi. Semestinya RUU Sisdiknas memayungi, mengakui dan mendukung pengembangan seluruh bentuk satuan pendidikan di Indonesia.

"Hilangnya frasa Madrasah dalam draf RUU Sisdiknas merupakan langkah mundur dengan kembali ke zaman orde baru. Karena di era reformasi telah dilakukan koreksi dengan memasukkan Madrasah sebagai bagian pendidikan formal dari satuan pendidikan nasional dan sudah satu tarikan nafas dengan sekolah umum melalui UU Sisdiknas Nomor 2 tahun 2003 yang masih berlaku sampai saat ini," kata Guspardi, Rabu 30 Maret 2022.

Namun dalam draf UU Sisdiknas yang sekarang tidak tercantum lagi frasa madrasah. Dia pun mempertanyakan maksud dari penghapusan kata madrasah tersebut. "Ini tentu mengundang polemik dan perlu dipertanyakan dan dikawal bersama," ujar politikus PAN.

Legislator asal Sumatera Barat itu menilai frasa Madrasah semestinya diperkuat bukan malah dihapuskan karena sudah menjadi sistem pendidikan sejak lama di Indonesia. Dengan hilangnya frasa madrasah dalam draf RUU Sisdiknas 2022 seolah mengabaikan peranan madrasah dalam sistem pendidikan nasional dan dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru.

"Jadi tidak ada alasan untuk menghapus dan memisahkan Madrasah dalan RUU Sisdiknas, karena Madrasah adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari sistem pendidikan nasional," tegas pria yang juga ketua Majlis Pemberdayaan Mesjid dan Pesantren ICMI ini.

Anggota Komisi II ini pun meminta Nadiem dan jajarannya lebih melibatkan berbagai elemen seperti NU dan Muhammadiyah serta entitas pendidikan lainnya dalam menyusun RUU Sisdiknas ini. Keterlibatan berbagai unsur guna memastikan penyusunan RUU Sisdiknas dibahas lebih komprehensif dan seksama serta sesuai perkembangan zaman.

"Karena draf RUU Sisdiknas memang belum final dan akan melalui pembahasan dengan DPR, diharapakan kawan-kawan dari Komisi X DPR dapat memanggil Mendikbudristek untuk meminta keterangan terkait hilangnya frasa Madrasah ini," imbaunya.

Fraksi PAN, tegas Guspardi, akan melakukan pembicaraan dengan semua fraksi yang ada Baleg DPR RI saat membahas RUU Sisdiknas agar dapat memastikan frasa Madrasah tidak hilang dari UU Sistem Pendidikan Nasional.

Infografis Ragam Komentar Hilangnya Kata Madrasah di Draf RUU Sisdiknas. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Ragam Komentar Hilangnya Kata Madrasah di Draf RUU Sisdiknas. (Liputan6.com/Trieyasni)

Sekelumit Draf RUU Sisdiknas

Gelombang protes terhadap RUU Sisdiknas terus berdatangan dari berbagai pihak. Mereka tak setuju lantaran tidak ada kata Madrasah dalam draf RUU Sisdiknas yang diinisasi Kemendikbudristek tersebut.

Dalam draf RUU Sisdiknas itu disebutkan tidak ada lagi jenis satuan pendidikan dasar maupun menengah. Pemerintah menerapkan satuan pendidikan dengan jenjang angka.

Dalam Pasal 46 ayat 1 tertuang "Jenjang Pendidikan dasar dilaksanakan mulai kelas 1 sampai dengan kelas 9." Selanjutnya ayat 2 berbunyi, "Kelas 1 sampai dengan kelas 6 dirancang untuk mengembangkan kemampuan dasar dalam literasi, numerasi, dan berpikir ilmiah, serta mengembangkan karakter pelajar sebagai landasan bagi pengembangan diri dan sosial."

Kemudian ayat 3 menyebutkan, "Kelas 7 sampai dengan kelas 9 dirancang untuk mengembangkan lebih lanjut kemampuan dasar dan karakter yang telah dibangun pada kelas 1 sampai dengan kelas 6 untuk mempelajari dan memahami ilmu pengetahuan sebagai landasan untuk melanjutkan Pendidikan ke Jenjang Pendidikan menengah."

"Jenjang Pendidikan dasar dilaksanakan melalui sub Jalur Pendidikan persekolahan, Pendidikan persekolahan mandiri, atau Pendidikan kesetaraan," begitu Pasal 47 draf tersebut.

Pada jenjang pendidikan menengah, tidak ada satuan pendidikan SMK, SMA, ataupun Madrasah Aliyah (MA).

Dalam RUU Sisdiknas Pasal 49 (1) tertuliskan, "Jenjang Pendidikan menengah merupakan Pendidikan yang dirancang untuk memperdalam pemahaman atas ilmu pengetahuan yang lebih variatif dan spesifik serta mempersiapkan Pelajar untuk: a. melanjutkan ke Jenjang Pendidikan tinggi; dan/atau b. mengembangkan keterampilan yang relevan dengan dunia usaha dan dunia kerja."

"Jenjang Pendidikan menengah dilaksanakan mulai kelas 10 sampai dengan kelas 12," demikian bunyi Pasal 50 draf tersebut.

Pasal pasal dalam RUU Sisdiknas ini berbeda dengan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Dalam undang-undang itu disebutkan secara jelas satuan pendidikan, mulai SD atau MI, SMP dan Mts, serta SMA atau MA.

Pasal 17 ayat (2) berbunyi, "Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat."

Kemudian Pasal 18 ayat (3) berbunyi, "Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat."

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim angkat suara terkait frasa madrasah yang jadi polemik di masyarakat. Dia menegaskan, pihaknya tak ada keinginan untuk melakukan hal tersebut.

"Dari awal, tidak ada keinginan ataupun rencana untuk menghapus sekolah madrasah atau bentuk-bentuk satuan pendidikan lain dari sistem pendidikan nasional (Sisdiknas)," kata Nadiem dalam siaran di Instagramnya yang bercontreng biru, dikutip Rabu (30/3/2022).

Dia melanjutkan, langkah tersebut sebagai tindakan yang di luar nalar. Dirinya tak pernah terpikir sedikit pun untuk menghapus madrasah dalam RUU Sisdiknas.

"Sebuah hal yang tidak masuk akal dan tidak pernah terbersit sekali pun dipindahkan sekolah maupun madrasah secara substansi tetap menjadi bagian dari jalur-jalur pendidikan yang diatur dalam batang tubuh dari revisi RUU," ujar dia.

Namun, penambahan secara spesifik seperti SD dan MI SMP dan MTS atau SMA SMK dan SMA akan dipaparkan di bagian penjelasan. Tujuannya adalah agar penamaan bentuk satuan pendidikan tidak diikat di tingkat undang-undang sehingga lebih fleksibel dan dinamis

"Adapun 4 hal pokok yang diformulasikan dalam RUU Sisdiknas antara lain kebijakan standar pendidikan yang mengakomodasi keragaman antara daerah dan inovasi. Kedua kebijakan wajib belajar dilengkapi dengan kebijakan hak belajar, ketiga, kebijakan penataan profesi guru agar semakin inklusif dan profesional dan empat kebijakan peningkatan otonomi serta perbaikan tata kelola pendidikan tinggi," papar Nadiem.

Menguatkan pernyataan Menteri Nadiem, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, Kementerian Agama selalu berkomunikasi dan berkoordinasi secara erat dengan Kemendikbudristek sejak awal proses revisi RUU Sisdiknas,

“RUU Sisdiknas telah memberikan perhatian yang kuat terhadap ekosistem pesantren dan madrasah. Nomenklatur madrasah dan pesantren juga masuk dalam batang tubuh dan pasal-pasal dalam RUU Sisdiknas,” tutur Menag Yaqut.

Menag Yaqut meyakini dengan mengusung kemerdekaan dan fleksibiltas dalam RUU Sisdiknas, mutu pembelajaran untuk semua peserta didik Indonesia akan meningkat. “Kualitas sistem pendidikan kita pun akan semakin membaik di masa depan,” pungkas Menag.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya