Liputan6.com, Jakarta - Tren healing belakangan lekat dengan masyarakat kita. Terutama untuk remaja hingga dewasa pengguna media sosial yang kebanyakan dari Generasi Z. Istilah healing seringkali digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang menyenangkan.
Salah satunya yang berkaitan dengan liburan ke tempat wisata. Bahkan, sebagian masyarakat juga memberikan istilah healing untuk rencana liburan mereka. Seperti halnya rencana yang akan dilakukan Dhea Utami bersama beberapa temannya.
Baca Juga
"Rencananya kita mau healing sih pertengahan Juli, paling ke Pulau Seribu aja yang paling deket sama Bekasi," kata Dhea kepada Liputan6.com. Menurut dia, kegiatan itu untuk melepaskan penat dari rutinitas bekerja dan kuliah.
Advertisement
Dhea merupakan anak pertama dari tiga bersaudara yang berkuliah di salah satu universitas di Kota Bekasi, Jawa Barat. Perempuan kelahiran tahun 2000 itu mengaku setelah bepergian ke luar kota sejenak membuat semangat kerjanya pulih kembali.
Dhea mengaku orang tuanya tidak pernah melarangnya untuk melakukan refreshing ke luar kota. Kegiatan itu juga sebagai bentuk apresiasi kepada dirinya sendiri. Sebab seusai lulus SMA, dia sibuk bekerja selama dua tahun di salah satu pabrik di kawasan Cikarang, Kabupaten Bekasi.
Setelah tabungan dinilai cukup sekarang dia memilih untuk kuliah dan bekerja di salah satu instansi pemerintah Kabupaten Bekasi. "Jadi kalau selesai jalan-jalan kaya ada energi baru buat kembali bekerja dan kuliah. Apalagi kalau habis lihat pemandangan yang hijau-hijau atau ke pantai, senang aja gitu," ucapnya.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Ruth Diandra. Dia memilih menonton film, bermain game, hingga main ke tempat wisata bersama teman sebagai bentuk healing dari rutinitasnya sebagai pelajar. Selain sekolah, siswi SMA di kawasan Jakarta Selatan ini juga aktif di sejumlah kegiatan non formal.
"Healing penting sih kalau tugas sekolah, les, dan beberapa projects jalan bersamaan. Biar enggak terlalu stres aja. Nanti liburan sekolah juga rencana nginep bareng di rumah salah satu temen," ujar Ruth kepada Liputan6.com.
Selama ini sejumlah kegiatan untuk merelaksasikan dirinya dari sejumlah kegiatan tak pernah ditentang oleh orang tuanya. Terpenting kata dia, kegiatan tersebut tidak dalam hal negatif dan merugikan orang lain.
"Enggak pernah dilarang yang penting tahu porsinya terus kalau mau ke tempat wisata juga jelas ke mana dan izin aja," dia menandaskan.
Bukan Sekadar Jalan-Jalan
Sebenarnya apa itu healing yang tengah tren di kalangan pengguna media sosial?
Menurut psikolog klinis dewasa, Nirmala Ika menyatakan proses healing bukan semudah hanya untuk jalan-jalan di alam terbuka ataupun staycation. Dalam kesehatan mental healing diartikan sebagai proses memulihkan diri sendiri. Misal dari trauma masa lalu, gangguan kecemasan, ataupun suatu hal yang belum pernah dialaminya.
Dia menjelaskan dalam proses penyembuhan atau healing seseorang harus mendekatkan diri sendiri dan merefleksikan apa yang telah dialaminya. Hal itu merupakan proses untuk melepaskan luka-luka yang terjadi dalam diri. Sehingga nantinya seseorang akan siap kembali menghadapi kehidupan yang terus berjalan.
Proses Healing dan Kesehatan Mental
Nirmala melanjutkan, alam sebenarnya merupakan salah satu media yang membantu dalam proses healing. Namun proses tersebut berbeda makna ketika seseorang hanya memilih untuk sibuk jalan-jalan tanpa menanyakan apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri.
"Kembali ke alam mungkin itu yang di-show card-kan dengan mikir healing itu cukup melihat yang hijau-hijau, healing cukup jalan ke pantai enggak sesimpel itu. Aku melihat nya ada kesalahpahaman dalam mendefinisikan healing sebenernya," kata Nirmala kepada Liputan6.com.
Definisi sembuh dalam kesehatan mental bukan berarti sembuh seutuhnya namun lebih terkendali. Penyebabnya pun beragam dan treatment yang dilakukan juga berbeda setiap orang tergantung permasalahan yang dihadapi.
Nirmala juga menyatakan traveling atau jalan-jalan ke alam terbuka hanya membantu untuk mengistirahatkan diri dari situasi pekerjaan yang padat. Namun bukan untuk proses pemulihan mental jangka panjang.
"Kita refleksi lagi mendefinisikan hidup kita memahami lagi apa yg telah terjadi dalam hidup kita. Itulah proses healing bukan yang sekedar ramai-ramai berkumpul seperti yang kita lihat semua orang hastag-nya healing, kerumunan ramai banget yang ada makin stres," papar dia.
Proses dan teknik healing memiliki tiga hal yang perlu diakses. Ketiganya adalah level kognisi, level emosi, dan level perubahan perilaku. Level tersebut membutuhkan cara penyembuhan yang berbeda. Untuk level kognisi, seseorang bisa melakukan konseling, coaching, mendengar motivator, dan membaca kata-kata motivasi.
Kemudian level emosi, seseorang harus melalui proses khusus dengan ahli. Sedangkan pada level perubahan perilaku, ada upaya tertentu yang perlu untuk dilakukan. Nirmala menambahkan, jika proses healing tidak dilaksanakan maka akan ada isu yang tak terselesaikan.
Karena hal itu dalam pelaksanaan healing, Nirmala meminta semua orang untuk berhenti mendiagnosis diri hanya berdasarkan bacaan ataupun tulisan di internet. Seseorang diharuskan mencari pertolongan ketika merasa ada masalah dalam dirinya.
"Jangan mendiagnosa diri dulu, rasain oh saya merasa jenuh penat oke boleh cari kegiatan kegiatan yang menurut kita itu bisa membantu melepaskan kepenatan kita. Orang-orang itu melakukan meditasi, yoga terus jalan pagi journaling, melukis. Cari kegiatan positif yang kita tahu after melakukan itu kita merasa enakan secara emosi," ucap Nirmala.
Advertisement
Peningkatan Stres Akibat Media Sosial
Hal yang sama juga disampaikan oleh Psikolog Anak dan Keluarga Astrid WEN yang menyebut healing bukan bentuk dari traveling ataupun waktu istirahat dari rutinitas. "Proses healing sebenarnya dipandu oleh ahli jadi ada yang guide atau mungkin dipandu oleh mentor yang memang memiliki spesialisasi dalam proses pemulihan tersebut," kata Astrid kepada Liputan6.com.
Setiap orang kata Astrid memiliki kebutuhan healing yang berbeda. Selain itu seseorang yang melakukan healing juga perlu kesadaran akan ada hal yang dipulihkan dalam dirinya. Saat melakukan proses penyembuhan diperlukan juga suasana yang tenang kemudian dilanjutkan dengan merefleksikan diri.
Yaitu dengan mencari tahu apa penyebab trauma atau permasalahan yang dihadapi selama ini. "Apa yang bisa saya lakukan dengan lebih baik ke depannya, apa yang sebenarnya menjadi sumber masalah ini. Jadi kita benar-benar sebenarnya memberikan waktu untuk kita berani melihat masalah ini dan kemudian melakukan suatu perencanaan tindakan di masa depan," papar dia.
Kendati begitu, Astrid menilai traveling ataupun staycation sangat bermanfaat ketika dimanfaatkan untuk berpikir sejenak dari kelelahan bekerja atau menenangkan diri dan siap beraktivitas kembali.
"Itu bisa sepanjang memang tadi bahwa kita enggak punya masalah kesehatan mental yang butuh pertolongan ahli," jelas Astrid.
Pengamat sosial, Devie Rahmawati menyatakan sejumlah faktor yang menjadikan fenomena healing ramai di media sosial. Yakni adanya peningkatan ketidaknyamanan, kecemasan, hingga stres untuk para pengguna media sosial. Ya, semuanya berkaitan dengan mental.
Peningkatan stres beberapa waktu terakhir juga bentuk dampak adanya pandemi Covid-19. Sebab saat peristiwa itu terjadi semua orang jarang berinteraksi dan bersosialisasi secara tatap muka dan hanya dilakukan melalui teknologi yang ada. Menurut Devie, healing merupakan salah satu istilah yang menjadi ramai di kalangan Generasi atau Gen Y dan Z.
Untuk diketahui istilah baby boomers, Gen X, Y, Z, hingga alpha merupakan julukan untuk kelompok atau generasi berdasarkan rentang waktu kelahiran. Berdasarkan Beresfod Research Generasi Z merupakan sebutan untuk kelompok dengan kelahiran 1997-2012. Lalu Gen Y atau milenial merupakan kelahiran 1981-1996. Sedangkan Gen X untuk kelompok kelahiran 1965-1980 dan baby boomers kelahiran 1946-1964.
"Healing hanyalah salah satu nama lain yang kemudian menjadi istilah yang beredar di kalangan masyarakat khususnya generasi Gen Y dan Z yang mengisyaratkan adanya tekanan, ketidaknyamanan yang dirasakan oleh generasi ini," kata Devie kepada Liputan6.com.
Diet Media Sosial
Lanjut Devie, sebenarnya aksi traveling atau liburan ke tempat wisata merupakan cara lama dan upaya manusia untuk mengembalikan kesegaran, kenyamanan akibat suatu hal. Misalnya dari tuntutan pekerjaan. Sedangkan mengunggah kegiatan liburan merupakan kegiatan yang sudah melekat untuk pengguna media sosial.
Dia menilai unggahan atau postingan tersebut merupakan menjadi permasalahan baru yang timbul dan berdampak pada peningkatan stres seseorang. Sebab beberapa diantaranya akan sibuk membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain berdasarkan postingan media sosial.
Sehingga lanjut Devie, ada sejumlah pihak yang tertekan karena tidak mampu memenuhi keinginannya sendiri.
"Akibat aksi memposting atau memasang hal-hal terkait dengan gaya hidup atau hidup yang gaya yang kemudian para penontonnya tidak mampu memenuhi atau mendapatkan hal yang dia tonton ini kemudian bisa menimbulkan kecemasan ketakutan dan sebagainya," paparnya.
Karena itu kata Devie, saat ini muncullah adanya gerakan baru untuk penggunaan media digital. Yakni kedisiplinan dalam memilih konten yang akan dikonsumsi atau biasa disebut diet digital. Mulai dari jumlah konten yang dipilih, berapa lama seseorang menikmati sajian konten di media sosial, dan jarak antara satu konten dengan konten lain.
Healing memang diramaikan oleh Gen Z di media sosial. Sebab tumbuh kembang generasi itu memang bersamaan dengan perkembangan teknologi yang cukup pesat. Selain itu generasi tersebut juga dinilai lebih cukup melek mengenai kesehatan mental dan seringkali digaungkan melalui dunia digital.
Fenomena tersebut mengakibatkan Gen Z dianggap manja, mudah rapuh mentalnya, karena seringkali menyuarakan hal-hal yang dirasakan melalui media sosial. Benarkah?
Psikolog klinis dewasa Nirmala Ika membantah hal itu. Menurut dia, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi bedanya Gen Z dengan sebelumnya.
Salah satunya yaitu adanya perbaikan perekonomian yang ada. Untuk generasi sebelumnya, berteman dan bersosialisasi dengan orang lain merupakan bentuk keharusan. Sedangkan saat ini kemudahan digital dan fasilitas memadai membuat proses bersosialisasi ataupun beradaptasi mereka kurang terasah.
"Mereka jadi lebih rentan kemudian ditambah sekarang persoalan kesehatan mental memang diakui. Jadi jangan mendiagnosis diri sendiri dicek kemampuan adaptasi ke orang yang lebih profesional. Atau emang kesulitan beradaptasi, kesulitan untuk dealing dengan situasi, atau karena kondisi belum pernah dihadapi," kata Nirmala.
Advertisement
Kenapa Gen Z Dianggap Berbeda ?
Psikolog Anak dan Keluarga Astrid WEN menilai konflik yang dihadapi oleh Gen Z berbeda dengan sebelumnya. Hal itu juga didukung dengan adanya tingkat ekstroversi di media sosial. Contohnya menyuarakan hal-hal yang dianggap bertentangan hingga berbagi cerita yang terkoneksi dengan orang asing.
Astrid menyebut kebiasaan itu dianggap aneh oleh generasi sebelumnya. Padahal, sangat wajar untuk Gen Z. Kemudian untuk Gen Z kebutuhan untuk diakui ataupun dikenali juga sangat tinggi bersamaan dengan perubahan gaya hidup dan mudahnya teknologi serta perekonomian yang semakin membaik.
"Memang ada perbedaan value perbedaan persepsi bagaimana Gen Z menghadapi tantangan. Kemudian karena kepekaan terhadap diri mereka juga tinggi tetapi sosialisasi juga lebih banyak di dalam dunia digital tidak sebanyak seperti kita bertemu dengan banyak orang secara langsung," papar Astrid.
Selain itu Astrid menilai Gen Z merupakan kelompok yang kritis dan lebih terbuka dengan masalah isu kesehatan mental. Karena hal itu dia tidak setuju jika Gen Z dianggap lebih lemah secara mental dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
"Itu harus dilihat dari per-satuan orang berhadapan dengan ahli resiliensi setiap anak Gen Z seperti apa. Untuk mengatasi labelasi ini dibutuhkan dialog generasi sebelumnya dengan Gen Z, misal tantangan Gen Z ini," jelas dia.
Sementara itu, pengamat sosial Devie Rahmawati menilai pola asuh merupakan penyebab utama kenapa Gen Y dan Z dinilai berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi Y atau milenial merupakan peralihan perkembangan teknologi seperti saat ini. Orang tua yang mengasuh atau membesarkan Gen Y dan Z cenderung memanjakan atau tidak menginginkan kejadian dulu terulang kembali.
Misalnya kesusahan hidup atau sejumlah benturan-benturan dengan kedisiplinan yang kuat. Hal itu juga didukung dengan adanya perbaikan dalam segi perekonomian dari setiap generasi.
"Orang-orang tua yang itu mengasuh Gen Y dan Z cenderung tanda kutip memanjakan generasi ini. Kemudian generasi (Y dan Z) terbiasa hidup dalam kenyamanan yang membuat mereka kemudian bertemu juga dengan situasi teknologi yang memang hadir memudahkan mereka. Kemudahan yang satu dengan kemudahan lainnya," kata Devie.
Dia mengibaratkan Gen Y dan Z seperti halnya telur dan generasi sebelumnya layaknya bola bekel yang ketika dihantam lompatannya semakin kuat. "Pola asuhnya (yang mempengaruhi) jadi ketika pola asuh memang dipengaruhi faktor eksternalnya adalah ekonomi dan teknologi," dia menandaskan.