Kejagung Sebut RUU KUHP Telah Final Disusun Sebagai Pengganti Aturan Belanda

RUU KUHP ini telah disusun secara komperehensif oleh pemerintah beserta DPR dengan melibatkan para akademisi dan pakar hukum pidana.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Sep 2022, 15:09 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2022, 15:09 WIB
Ilustrasi Kejaksaan Agung RI (Kejagung)
Gedung Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Khusus, Kejagung. (Liputan6.com/M Radityo Priyasmoro)

Liputan6.com, Jakarta Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejagung Fadil Zumhana mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah final disusun sebagai pengganti dari Wetboek van Strafrecht peninggalan Belanda yang telah berlaku sejak tahun 1918 yang ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.

Hal ini dikatakan, dalam Dialog Publik Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang diselenggarakan di Hotel Truntum, Sumatera Barat.

"KUHP peninggalan Belanda telah dipergunakan oleh bangsa Indonesia, dalam penegakan hukum sebagai pengisi kekosongan hukum pidana materiil, sekalipun Pemerintah secara resmi belum pernah menetapkan terjemahan resmi dari KUHP tersebut," kata Fadil, Selasa (27/9/2022).

"Sehingga, seringkali ditemukan adanya ketidakeseragaman istilah yang dipergunakan para penegak hukum, khususnya pada saat dilakukan pembahasan unsur-unsur tindak pidana dalam rangka pembuktian," sambungnya.

Ia menyebut, KUHP peninggalan Belanda ini hanya menitikberatkan pada penerapan asas legalitas secara kaku yang memiliki kecederungan punitive yaitu menghukum pelaku tanpa memberikan alternatif lain bagi pelaku kejahatan.

"Sehingga, tidak sesuai lagi dengan perkembangan tujuan penegakan hukum saat ini yang lebih menitikberatkan untuk mewujudkan keadilan yang bersifat Korektif-Rehabilitatif-Restoratif. Sehingga, bertentangan dengan nilai-nilai keadilan bangsa Indonesia yang lebih menitik beratkan pada pemulihan kedamaian dan harmoni dalam masyarakat untum menjaga keseimbangan kosmis," sebutnya.

Menurutnya, sekalipun dalam perkembangan penegakan hukum di Indonesia telah diundangkan beberapa Peraturan Perundang-Undangan hukum pidana yang lebih mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Tetapi, ketentuan Undang-Undang tersebut hanya mengatur tindak pidana tertentu yang spesifik saja dan belum menyentuh substansi penegakan hukum yang sesungguhnya.

 

Pidana Pokok Diperluas

Karena menurutnya hampir seluruh tindak pidana yang terjadi penegakan hukumnya tunduk pada aturan KUHP. Sehingga sudah seharusnyalah Indonesia memiliki KUHP Nasional sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang arif, dengan mengutamakan kedamaian dan harmoni dalam masyarakat.

"Beberapa hal baru yang telah diatur dalam RKUHP antara lain adalah RKUHP ini telah menerapkan keseimbangan antara hukum dan keadilan yang telah disesuaikan dengan tujuan pemidanaan saat ini yang lebih mengutamakan penjatuhan pidana denda dibandingkan dengan perampasan kemerdekaan, dan telah menerapkan double track system berupa pidana dan tindakan," ujarnya.

"Pidana pokok juga telah diperluas dengan adanya penambahan jenis pidana pengawasan dan kerja sosial, sehingga Hakim dan Jaksa dapat lebih leluasa untuk menerapkan sanksi pidana sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat," tambahnya.

Fadil menjelaskan, RKUHP juga telah memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat yang masih hidup dalam masyarakat sebagai pelaksanaan dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Pasal 601 RKUHP menetapkan pemenuhan kewajiban adat dianggap sebanding dengan Pidana Denda Katagori II (sepuluh juta rupiah), dan terhadap terpidana dapat dikenakan pidana ganti rugi apabila kewajiban adat setempat tidak dijalani (vide Pasal 96 RKUHP).

 

Akan Lebih Menyentuh Keadilan

Putusan hakim, dikatakannya, akan lebih menyentuh keadilan karena ada 11 pertimbangan yang harus diperhatikan sebelum hukuman dijatuhkan, dengan pertanggungjawaban pidana yang diperluas.

Tidak hanya pertanggungjawaban mutlak (strict liability ), tetapi juga pertanggungjawaban pengganti (vicarius liability) yang dapat dijatuhkan tidak hanya terhadap pelaku orang. Tetapi juga terhadap korporasi, yang selama ini belum diatur dalam KUHP.

"RKUHP ini diharapkan juga dapat mengurangi masalah kepadatan Lembaga Masyarakat (overcrowding) karena dalam RKUHP telah diatur kewenangan hakim untuk menjatuhkan putusan pengampunan (judicial pardon) sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2), serta adanya alternatif pemidanaan selain penjara, yaitu pidana pengawasan, kerja sosial dan denda yang lebih diutamakan dibandingkan dengan penjara," paparnya.

Ia menyampaikan, RUU KUHP ini telah disusun secara komperehensif oleh pemerintah beserta DPR dengan melibatkan para akademisi dan pakar hukum pidana. Tentunya sebagai karya manusia, tidak tertutup kemungkinan, masih ditemukan kekurangan dan kelemahan dalam RKUHP ini.

Maka dengan begitu, pemerintah telah melaksanakan sosialisasi kepada seluruh elemen masyarakat, baik dalam rangka untuk mengenalkan materi dari RKUHP ini, juga untuk menerima masukan dan perbaikan sebelum disahkan dalam Tahun 2022 ini.

Dalam dialog publik Sosialisasi RUU KUHP ini turut dihadiri Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI Mahfud MD, Surastini Fitriasih, Indriyanto Seno Adji, Harkristuti Harkrisnowo, dengan moderator Chacha Annissa.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya