Dewan Pers Sebut RUU KUHP Mengancam Kebebasan Pers

Dewan Pers menilai sejumlah pasal yang ada di RUU KUHP telah mengancam kebebasan pers di Indonesia

oleh Winda Nelfira diperbarui 15 Jul 2022, 16:44 WIB
Diterbitkan 15 Jul 2022, 16:40 WIB
RUU KUHP Mengancam Kebebasan Pers
Seorang wartawan membentangkan poster saat aksi solidaritas tolak kekerasan terhadap jurnalis di Bundaran HI, Jakarta, Jumat (14/11/2014). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Dewan Pers menilai sejumlah pasal yang ada di Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah mengancam kebebasan pers di Indonesia.

Setidaknya sembilan pasal yang mengancam kebebasan pers.

Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra mengatakan, pada 2017 pihaknya telah menerima draf RUU KUHP dan melakukan upaya pemahaman RUU tersebut. Dewan Pers, kata dia, menyampaikan delapan poin keberatan terhadap draf RUU KUHP tersebut.

Azyumardi menjelaskan bahkan Dewan Pers sudah menyampaikan catatan keberatan itu kepada Ketua DPR Puan Maharani pada September 2019. Namun, delapan poin usulan itu sama sekali tidak diakomodasi dalam draf final saat ini.

"Kita lihat pasal-pasal ataupun poin-poin yang sudah disampaikan tahun 2019 kepada Ketua DPR itu sama sekali tidak berubah," kata Azyumardi Azar di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Jumat (15/7/2022).

"Walaupun mereka beralasan kalangan DPR dan pemerintah terutama mengatakan ini kan RUU yang carry over yang sudah dibahas oleh DPR atau pemerintah sebelumnya kemudian dibawa ke DPR sekarang," lanjut dia.

Azyumardi menyatakan bahkan pasal dengan poin yang dinilai Dewan Pers memberangus kebebasan pers ini bertambah jumlahnya. Dari yang semula hanya delapan pasal menjadi 10 hingga 12 pasal.

"Jadi tidak ada perubahan itu poinnya, bahkan nambah. Jadi, kalau tadi ada 8 poin yang disampaikan oleh Mas Yadi, dengan pasalnya yang beberapa gitu itu nambah dalam dua hal. Pertama nambah jumlah pasalnya, kemudian nambah jumlah substansinya," jelas dia.

 

Pers Terancam Jadi Objek Kriminalisasi

Azyumardi Azra menyampaikan dengan adanya sejumlah pasal yang berpotensi mengancam kebebasan ini, maka ke depan pers akan menjadi objek delik dan objek kriminalisasi.

"Jadi jurnalis sekarang objek delik dan objek kriminalisasi, sekarang ini. Misalnya juga tidak boleh lagi mengkritik ya media-media itu, kecuali kritik itu disertai dengan solusi misalnya begitu," ujar dia.

Azyumardi menyebut apabila RUU KUHP yang memuat ke 12 pasal tetap disahkan, maka pers akan kehilangan kekuatan check dan balance-nya. Salah satunya kata dia, dalam menyampaikan kritik kepada pemerintah.

Untuk itu, Dewan Pers menuntut pemerintah untuk menghapus pasal-pasal yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers, mengkriminalisasi karya jurnalistik dan bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999 yang ditemukan dalam RUU KUHP.

Dewan Pers berharap agar anggota DPR dapat memenuhi asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam proses RUU KUHP dengan memberikan kesempatan seluruh lapisan masyarakat untuk memberikan masukan mulai dari perencanaan hingga penetapannya.

Mural Tolak RUU KUHP Terpampang di Rawamangun
Mural bertulis '#TolakRKUHP' terpampang pada dinding di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta, Selasa (1/10/2019). Mural tersebut respons dari seniman Jakarta terhadap RUU KUHP yang dinilai mencederai tatanan demokrasi. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

9 Pasal yang Mengancam Kemerdekaan Pers

Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra membeberkan ada sembilan pasal yang mengancam kemerdekaan pers dan mengkriminalisasikan karya jurnalistik.

Dia berharap DPR bisa memberikan ruang selebar-lebarnya untuk melakukan dialog terhadap pasal-pasal yang dianggap bermasalah.

Adapun RUU KUHP yang disebut Dewan Pers mengancam kemerdekaan pers dan mengkriminalisasikan karya jurnalistik adalah sebagai berikut:

1) Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara.

2) Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, perlu ditiadakan karena merupakan penjelmaan ketentuan-ketentuan tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

3) Pasal 240 dan 241 Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah, serta Pasal 246 dan 248 (penghasutan untuk melawan penguasa umum) HARUS DIHAPUS karena sifat karet dari kata "penghinaan" dan "hasutan" sehingga mengancam kemerdekaan pers, kebebasan berpendapat dan berekspresi.

4) Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong.

5) Pasal 280 Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan.

6) Pasal 302-304 Tindak Pidana terhadap Agama dan kepercayaan.

7) Pasal 351-352 Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara.

8) Pasal 440 Tindak Pidana Penghinaa : pencemaran nama baik.

9) Pasal 437, 443 Tindak Pidana Pencemaran.

 

Infografis Revisi KUHP Hidupkan Kembali Pasal Karet?
Infografis Revisi KUHP Hidupkan Kembali Pasal Karet? (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya