Liputan6.com, Jakarta - Senyum Ade semringah kala bertemu dengan tim Liputan6.com sore itu di kantor tempatnya bekerja. Dia pun mempersiapkan sebuah ruangan untuk bercerita mengenai perjalanannya lepas dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan sang mantan suami.
Tapi, raut wajahnya pun langsung berubah ketika menceritakan potongan-potongan kenangan kelam yang pernah dialaminya. Beberapa kali suara Ade terdengar bergetar dan air matanya menggenang ketika mengingat perlakuan yang diterimanya secara berulang itu. Pernikahan Ade dan suaminya berlangsung selama delapan tahun.
Sebelum menikah, Ade dan mantan suaminya berpacaran sekitar lima tahun. Saat itu sejumlah bentuk kekerasan sebenarnya sudah sering kali diterimanya. Namun, dia masih terus memaafkan dengan harapan sang pacar akan berubah.
Advertisement
Kekerasan yang dialaminya fisik dan verbal. Mulai dari lemparan helm, kata-kata merendahkan, hingga ancaman sering dialaminya. Bahkan beberapa kali kekerasan itu terjadi dipusat keramaian.
Menjelang pernikahan pun Ade sempat berencana untuk membatalkan dengan alasan takut akan perlakuan sang pacar. Namun, lagi-lagi dengan segala pertimbangan dia memberanikan diri untuk menerima pinangan tersebut.
"Jadi di situ saya meminta perjanjian memang tertulis tapi saya mengiyakan asal jangan kata kasar. Karena biasanya dia tuh ngomongnya kasar banget. Itu yang enggak bisa saya maafin sih bahkan sampai saya menikah pun begitu," kata Ade.
Ibu satu anak itu mengaku permasalahan yang diributkan sebenarnya hal sepele. Selain itu, wanita berusia 34 tahun itu juga menerima pemerkosaan dalam pernikahan. Meskipun kejadian itu terus berulang, Ade tak pernah berpikir untuk menceraikan suaminya.
Dia juga mengakui jika keluar dari hubungan yang tidak sehat tersebut sangat susah dan melelahkan. Rasa takut dan tertekan sudah menjadi makanannya setiap hari. Akhirnya pada suatu malam terjadi pertengkaran hebat dan suaminya terucap ingin menceraikan Ade.
Momentum tersebut langsung dimanfaatkan Ade untuk terlepas dari penderitaan yang diterimanya selama ini. Tak berpikir panjang, dia menyetujui rencana perceraian tersebut. Rasa lega pun dirasakan Ade saat terlepas dari mantan suaminya.
Meskipun begitu, hingga saat ini bayang-bayang kekerasan yang diterimanya masih terus menghantuinya meskipun sudah terjadi beberapa tahun yang lalu. Karena hal itu, dia meminta para korban KDRT harus segera menyerukan dan segara mendapatkan jalan keluar.
"Sampai sekarangpun setelah lepas tiga tahun dari dia, sampai sekarang masih ngerasain bagaimana dia kasarnya sama saya, verbal dia ngomong kasar sama saya, mimik mukanya ke saya tuh saya masih inget masih jelas," pungkas Ade.
Korban KDRT Memilih Jadi Pendamping Korban Kekerasan
Perjuangan yang tak mudah sebagai penyitas KDRT juga dirasakan oleh Poppy Dihardjo. Perjalanan untuk menyelamatkan dirinya terjadi paska suaminya meninggalkan rumah dan tidak kembali pada tahun 2015. Bersama sang anak yang saat itu berusia lima tahun, Poppy harus tetap menjalani kehidupannya.
Proses pemulihan yang dilakukan Poppy sekitar dua tahun sebelum akhirnya melayangkan gugatan perceraian kepada mantan suaminya. Awalnya dia mencoba bangkit sendiri dan meminta pertolongan ke teman-temannya. Namun, keadaan belum kian membaik dan pada akhirnya memilih ke tenaga profesional yaitu psikolog dan psikiater.
"Jadi dari situ kemudian menjadi lebih mudah itu untuk aku sendiri untuk memahami untuk mengurai lah kekusutan di dalam otakku. Untuk bagaimana caranya supaya aku bisa menemukan solusi yang paling tepat buat ku untuk penyintas," ucapnya.
Setelah memahami dirinya terkait konflik yang dialaminya selama menikah, Poppy memilih untuk menceraikan suaminya pada 2017 setelah berelasi selama 11 tahun. Selain kekerasan verbal, Poppy juga korban pemerkosaan dalam pernikahan dan penelantaran rumah tangga.
"Dia pergi pada akhirnya adalah berkat juga sebenarnya. Karena mungkin kalau dia enggak pergi aku masih bertahan di situ, bisa jadi mungkin karena saking sudah kebiasaan gitu. Kalau kamu kebiasaan di tempeleng tiap hari aku lama-lama makin biasa aja gitu," ujar dia.
"Jadi akunya sendiri banyak banget yang aku terabas batasan-batasan di mana yang menurutku seharusnya tidak aku trabas malah aku normalisasi pada akhirnya begitu," sambung dia.
Cari Bantuan dan Pemahaman
Saat itu lanjut Poppy, dirinya mengaku kesulitan untuk mencari bantuan dan pemahaman mengenai hal yang dialaminya. Karena hal itu, sejak 2018 Poppy memilih untuk menjadi pendamping kekerasan. Sebab banyak tantangan yang dilalui oleh para korban KDRT.
"Katanya perempuan tuh harus berani berbicara kan, kita sendiri sebetulnya perlu mengingatkan seluruh dunia untuk belajar mendengarkan kita bukannya enggak punya suara. Cuma lama-lama pada saat kita bersuara dan kemudian kita dibilang udah biasa itu konflik keluarga, udah ini biar sabar aja udah, lama-lama kan enggan untuk ngomong," papar dia.
Poppy menyebut sering kali para korban KDRT bercerita kepada orang yang salah. Misalnya ada beberapa pihak yang menganggap cerita yang dialami korban merupakan hal yang lumrah pada sebuah pernikahan. Saat ini sejumlah gerakan sosial isu perempuan sudah semakin aktif di media sosial. Sedangkan jika membutuhkan bantuan dapat datangi pengada layanan terdekat dengan akses carilayanan.com.
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) disebutkan jika setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara:
- Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
- Kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri atau kemampuan untuk bertindak, atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
- Kekerasan seksual yaitu perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual terhadap orang dalam rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu.
- Penelantaran rumah tangga yaitu perbuatan menelantarkan orang dalam rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku atau karena persetujuan/perjanjian, ia wajib memenuhi kebutuhan hidup orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi orang yang menyebabkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Advertisement
Korban KDRT Diminta Jangan Diam Saja
Sementara itu terdapat sejumlah sanksi pidana dalam UU PKDRT tersebut. Misalnya untuk kekerasan fisik dalam rumah tangga dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp 15 juta. Kemudian pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp 30 juta jika kekerasan fisik tersebut menyebabkan korban jatuh sakit atau luka berat
Lalu, pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp 45 juta jika kekerasan fisik tersebut menyebabkan korban meninggal. Sedangkan jika kekerasan fisik tersebut dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari dikenakan pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak Rp 5 juta jika kekerasan.
Selain sanksi pidana dalam UU tersebut juga mencantumkan pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku KDRT, yakni pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku, danpenetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga meminta korban kekerasan KDRT jangan diam saja, melainkan berani melapor ke aparat penegak hukum. Hal ini agar para pelaku KDRT mendapat efek jera sehingga kejadian serupa tak terulang.
"Sekarang kita imbau seluruh lapisan masyarakat, siapapun yang jadi korban (KDRT) harus berani speak up, (agar) memberikan keadilan kepada korban dan efek jera kepada pelaku sehingga tidak terjadi kasus berulang," jelas Bintang di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (11/10/2022).
Bintang menyampaikan, Kementerian PPPA telah membuka layanan pengaduan bagi masyarakat yang mengalami KDRT. Tak hanya korban, masyarakat yang melihat adanya KDRT juga dapat melaporkan ke Kementerian PPPA.
"Kita sudah dan kita sudah punya call center dengan SAPA 129 demikian juga dengan whatsapp 0811111129129 itu kita dorong untuk itu," kata dia.
"Tidak hanya korban yang melihat, yang mendengar itu juga harus ikut peduli melaporkan terjadinya kekerasan," sambung Bintang.
KDRT di Indonesia Capai 2.633 Kasus pada 2021
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Mariana Amiruddin mengatakan adanya peningkatan jumlah kasus KDRT di Indonesia. Dari data yang ada untuk tahun 2021 lebih dari 2.000 kasus KDRT telah terjadi. Sebagian besar kasus tersebut terjadi pada suami kepada istrinya.
"Secara spesifik adalah kekerasan pada istri sebanyak 2.633 kasus, baru kekerasan saat pacaran, baru kekerasan pada anak di rumah, lalu mantan pacar dan mantan suami," kata Mariana kepada Liputan6.com.
Berdasarkan data Komnas Perempuan pada tahun 2004-2020 kasus KDRT di Indonesia mencapai 544.452 kasus yang meliputi kekerasan terhadap istri, kekerasan terhadap anak perempuan, kekerasan terhadap pekerja rumah tangga, dan kekerasan relasi personal lainnya.
Dia menyatakan KDRT tidak hanya sebatas kekerasan fisik seperti melakukan pukulan, tamparan atau tendangan yang dilakukan oleh suami kepada istri atau sebaliknya. Namun ada pula kekerasan verbal yang disadarkan tingkah laku atau perkataan. Dari angka tersebut kekerasan terhadap istri menempati urutan pertama.
Seperti halnya kata-kata mengancam, memfitnah, menakutkan, hingga hinaan. Ketika psikis korban terganggu hal tersebut dapat mengakibatkan ketakutan, rasa tidak berdaya, hingga kepercayaan diri menurun.
Kemudian ada pula, KDRT yang berkaitan dengan ekonomi atau penelantaran rumah tangga. Misalnya suami tidak menafkahi istri padahal dapat dikategorikan mampu yang berdampak pada menghambatnya keuangan keluarga.
"Psikis itu sekarang juga banyak dilaporkan tapi belum terlalu populer dan belum dikenal juga. Karena sistemnya belum ada dan masih sangat sedikit tempat untuk pelayanannya," ucapnya.
Menurut Mariana, terdapat sejumlah faktor yang seringkali terjadi dimasyarakat. Misalnya dampak pola asuh, keluarga, hingga budaya patriarki yang telah tertanam di pikiran laki-laki dan perempuan di Indonesia.
"Ada juga beberapa hal karena dia meniru orang tuanya sehingga dia juga memukul atau dia jadi korban, itu yang jadi faktornya," lanjut dia.
Sedangkan dalam penanganan laporan korban KDRT, Komnas Perempuan memiliki sejumlah langkah yang dilakukan. Mulai dari pemberian pendampingan psikologis, hukum, hingga bentuk lainnya. Mariana menyatakan rata-rata korban yang melapor meminta pendampingan psikologis dan dilanjutkan yang lainnya.
Namun ada pula korban yang sudah memiliki dukungan yang kuat memilih langsung untuk langsung melaporkan ke penegak hukum.
"Jadi semua laporan itu juga tergantung dari sikap korban juga. SOP-nya ya laporkan saja kalau sudah siap ke kepolisian, namun kalau ke pendampingan psikis bisa ke lembaga layanan dan disitu kan ada macem-macem ya ada layanan psikis, ada fisik," Mariana menandaskan.
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi sorotan masyarakat beberapa pekan terakhir. Hal tersebut salah satunya disebabkan ramainya pemberitaan mengenai prahara rumah tangga Lesti Kejora dan Rizky Billar.
Advertisement
Anak Berpotensi Jadi Pelaku dan Korban KDRT
Kasus KDRT memang sering kali dialami oleh para pasangan suami istri hingga muda-mudi yang sedang menjalin hubungan pacaran. Bahkan, KDRT merupakan salah satu penyebab kasus perceraian di Indonesia.
Psikolog klinis dewasa, Nirmala Ika menyatakan semua bentuk kekerasan pada rumah tangga yang biasa terjadi pada suami-istri, orang tua - anak, mantu-mertua bahkan dengan asisten rumah tangga dapat didefinisikan sebagai KDRT. Sedangkan untuk saat ini kasus yang banyak dilaporkan dalam KDRT yaitu kekerasan antara suami dan istri.
"Jadi ini ada relasi kuasa, ada satu pihak yang merasa lebih berkuasa kepada pihak yang lain merasa mampu mengintimidasi, merendahkan, kepada si korban ini supaya si korban ini bisa kehilangan identitas dirinya dan tujuannya ya untuk membuat si korban ini makin tunduk dan makin dikuasai," kata Nirmala kepada Liputan6.com.
KDRT, kata dia tak hanya berkaitan dengan kekerasan fisik, seperti halnya pemukulan. Namun juga ada kekerasan psikis misalnya dengan adanya perselingkuhan, verbal, hingga tidak adanya kesempatan negosiasi. Lalu ada pula yang berikatan dengan permasalahan ekonomi seperti tidak memberikan nafkah.
Selanjutnya yaitu kekerasan seksual dalam rumah tangga yang kerap kali masyarakat tidak sadar mengenai hal ini. Contohnya pemaksaan hubungan seksual oleh salah satu pihak.
"Tapi biasanya (kekerasan) verbal sama psikis itu biasanya tidak disadari dilakukannya atau korbannya juga tidak menyadari kalau dia mengalami kekerasan jadi dianggapnya hal lumrah," ujarnya.
Sementara itu, Nirmala menyebut bahwa anak yang tumbuh dalam keluarga yang mengalami KDRT berpotensi menjadi pelaku ataupun korban. Menurut Nirmala anak kemungkinan secara tidak sadar akrab dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang.
Lalu, hal itu juga berdampak pada rendahnya toleransi tentang kekerasan pada anak. Sehingga jika diterjemahkan kata Nirmala, sang anak tidak memiliki jalan kelar dari penyimpangan yang terjadi.
“Memang tidak satu garis lurus ya bahwa kita mengalami kita pasti akan menjadi korban atau pelaku. Tapi potensinya kita menjadi pelaku atau korban jika kita tumbuh di keluarga yang berkekerasan itu menjadi lebih besar, kenapa karena itu familiar sama kita, kita tahunya itu normal-normal aja,” sambung dia.
Psikolog lulusan Universitas Indonesia itu menyatakan jika dampak KDRT sangat panjang dan bisa terjadi secara turun temurun dan harus segera untuk diputus rantai kekerasan tersebut.
Dampak dari KDRT secara psikologis si korban akan mengalami mimpi buruk, gelisah, frustasi bahkan dapat mengubah konsep diri dan harga dirinya. Misalnya dengan menarik diri dari pergaulan dan merasa bersosialisasi bukanlah hal yang tepat.
“Karena kalau tidak, yang seperti aku tadi bilang, KDRT kan enggak juga suami istri tapi bisa turun juga ke anak-anak kita, entah anak kita melihat, anak kita mengalami baik dari korbannya atau dari pelaku. Apalagi dari korban ya karena mengalami dan enggak punya cara lain ya jadi anaknya yang kena,” papar dia.
Karena hal itu, Nirmala meminta para korban KDRT dapat segera mencari bantuan. Mulai dari keluarga terdekat, teman, komunitas, hingga konselor yang paham mengenai KDRT.
“Intinya kita jangan takut untuk membuka diri karena dengan kita membuka diri kita bisa tau dan mengenali ini KDRT atau bukan. Kita memang butuh orang lain untuk menyadari itu karena kalau diri kita sendiri kadang kita engga engeh (sadar), dan pasti tadi jadi biasa aja. Jadi memang butuh support system itu di luar dari keluarga,” Nirmala menandaskan.