Liputan6.com, Jakarta - Berkeliling ke berbagai wilayah Jakarta adalah kegiatan Edi Dimyati setiap akhir pekan. Dia selalu menggunakan sepeda yang dimodifikasi dengan tambahan boks hitam bagian depan.
Itu bukan boks kosong, melainkan berisi buku-buku. Boks yang difungsikan sebagai rak itu biasanya dapat menampung sebanyak 80 judul buku.
Baca Juga
Pagi itu, Sabtu 4 Maret 2023, Edi memulai dengan merapikan buku yang akan dibawanya. Tak lupa dia memompa ban sepedanya. Sekitar pukul 07.00 WIB Edi mulai mengayuh sepeda dari rumahnya di wilayah Kelurahan Cibubur, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur.
Advertisement
Kabaca, singkatan dari Kargo Baca, begitu Edi menamakan sepedanya, terus menyelusuri jalanan di Jakarta. Biasanya dia memilih berhenti di beberapa lokasi terbuka secara acak. Tempat bermain anak-anak, kegiatan keramaian, hingga taman, jadi tempat singgah Edi bersama Kabaca. Tak jarang, dia juga mendapat undangan dari berbagai sekolah.
Setelah beberapa menit mengayuh sepeda, bapak tiga anak itu memilih berhenti di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Cibubur berseri. Edi senang sekali, karena beberapa anak-anak sudah menunggu kedatangan Kabaca. Mereka pun antusias memilih buku bacaan yang dibawa Edi.
Edi sendiri punya trik untuk menarik perhatian anak-anak atas kedatangan Kabaca. Dia kerap menampilkan pertunjukan unik. Hal itu sebagai permulaan untuk pendekatan emosi sebelum memamerkan buku kepada anak-anak.
"Untuk awal biar emosinya deket dulu anak-anak itu biasanya saya hibur dengan permainan sulap, dongeng, atau dengan disediakan alat-alat bermain yang edukatif gitu. Itu salah satu daya pancing buat anak-anak mau dekat dengan buku," kata Edi kepada Liputan6.com.
Kegiatan berkeliling bersama Kabaca sudah mulai ditekuni alumni Universitas Padjajaran itu sejak tahun 2017 setelah memutuskan berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja. Perpustakaan keliling tersebut berawal dari keinginan Edi untuk memudahkan orang yang tempat tinggalnya jauh dari akses buku bacaan.
Kampanyekan Minat Baca
Karena itu, dia pernah melakukan perjalanan selama 11 hari berkeliling di sejumlah kota di Jawa Barat menggunakan kabaca. Kegiatan bertujuan untuk mengkampanyekan minat baca. Dalam perjalanannya itu Edi singgah di beberapa ruang publik setiap kota dan kabupaten.
Bahkan kegiatan berkeliling itu juga sempat hingga wilayah Jawa Tengah. Sebenarnya Edi sudah sejak Sekolah Dasar (SD) sudah memiliki kesenangan terhadap buku. Kemudian hobinya membaca dan mengoleksi buku tersebut mendorongnya untuk mendirikan taman baca.
Awalnya Edi menginginkan buku pribadinya tersebut dapat diakses oleh orang di luar keluarganya. Setelah menggelar taman baca di depan rumahnya, keinginan memiliki perpustakaan yang menetap diwujudkannya pada tahun 2010. Perpustakaan itu bernama Kampung Buku.
"Selain bikin perpustakaan yang menetap, Kampung Buku ini pengen juga buku-buku itu didekatkan lagi ke mereka yang rumahnya jauh. Maka lahirlah tadi perpustakaan bergerak namanya Kargo Baca. Jadi, perpustakaan yang bisa ada di mana-mana," ucapnya.
Kampung Buku Semakin Berkembang
Kampung buku berdiri di atas tanah berukuran 115 meter persegi atas pemberian dari tetangganya. Lahan kosong tersebut akhirnya dibangun untuk menampung ratusan buku koleksinya. Lambat laun jumlah buku di perpustakaan terus bertambah.
Beberapa donatur sering kali mengirimkan buku. Saat ini buku yang ada di perpustakaannya sudah berjumlah 4.500 judul buku.
Pertama kali dibuka lokasi tersebut hanyalah perpustakaan biasa. Namun berjalannya waktu Kampung Baca juga menyediakan tempat untuk tempat bimbingan belajar secara gratis. Pengunjungnya sangat beragam. Mulai dari balita hingga anak SD. Dari belajar membaca menulis hingga pembahasan pekerjaan sekolah.
Guru yang didatangkan merupakan kerjasama dari salah satu LSM pendidikan. Pengunjung di Kampung Buku memang sebagian besar anak-anak. Berdasarkan pengalaman Edi membuka perpustakaan umum, sebenarnya ada faktor kenapa anak-anak enggan membaca buku.
Sutopo Sebarkan Budaya Literasi
Upaya untuk menyebarkan budaya literasi juga dilakukan Sutopo, penarik becak di Yogyakarta. Purnawirawan TNI AD tersebut memilih untuk memodifikasi becak miliknya dengan berbagai macam buku bacaan. Awalnya buku-buku tersebut dibawa setiap hari untuk dibaca sendiri saat mangkal menunggu penumpang.
Namun tak disangka banyak yang menyambut becak pustaka tersebut. Contohnya salah satu pelanggannya yang menawarkan untuk menyumbangkan 40 judul buku. Kemudian buku-buku tersebut di tata di bagian belakang tempat duduk penumpang.
"Ketika saya punya langganaan penumpang dari SDN Bumijo ada seorang ibu menjemput anak sekolah. Menawarkan menyumbang buku," kata Sutopo seperti yang dikutip dari Liputan6 SCTV.
Bahkan buku-buku yang disediakan tersebut dapat dibaca dan dipinjamkan secara cuma-cuma. Bahkan beberapa Sekolah Dasar (SD) tempatnya menunggu penumpang juga seringkali meminta Sutopo untuk masuk di halaman sekolah ketika waktu istirahat.
Hal tersebut untuk memberikan dorongan anak-anak membaca buku. Kakek berusia 73 tahun tersebut menyatakan keinginan masyarakat itu ada untuk membaca buku. Namun kendalanya yaitu mahalnya harga bukan dan sulitnya akses perpustakaan formal.
Karena hal itu dia memamerkan buku miliknya dan mempersilahkan masyarakat untuk membaca secara gratis. "Harapan saya ini akan memberikan manfaat kepada masyarakat sehingga angka tingkat baca masyarakat meningkat," Sutopo menandaskan.
Setiap Pemerintah kota atau kabupaten biasanya menghadirkan perpustakaan keliling di setiap wilayahnya. Mulai dari wilayah tempat tinggal atau ruang publik yang ada. Seperti halnya yang dikutip dari website Perpustakaan Nasional (Perpusnas) perpustakaan keliling berfungsi mendekatkan informasi kepada masyarakat pemakai (pemustaka) yang tidak terjangkau oleh layanan perpustakaan menetap.
Sebab terdapat keterbatasan dan kelemahan perpustakaan umum. Biasanya perpustakaan keliling dari pemerintah atau instansi itu menggunakan kendaraan dan berpindah-pindah setiap harinya.
Advertisement
Mampu Membaca, Literasi Indonesia Rendah
Literasi tak hanya mengenai minat baca. Namun, juga mencakup kemampuan untuk menangkap dan mencerna sebuah informasi. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Arys Hilman Nugraha kepada Liputan6.com.
"Sehingga kita bisa mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan kemudian itu memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas hidup kita. Itu adalah literasi," kata Arys.
Dia mengakui, tingkat literasi di Indonesia sangat rendah berdasarkan hasil dari berbagai survei internasional dan nasional. Misalnya dari survei yang dilakukan Central Connecticut State University di New Britain yang menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara terkait minat baca.
Menurut Arys salah satu indeks literasi meliputi kemampuan membaca atau dalam arti lain melek huruf. Sedangkan di Indonesia tidak memiliki persoalan mengenai kemampuan membaca. Bahkan 96 persen masyarakat Indonesia berkategori mampu membaca.
Namun nyatanya hal tersebut belum berhasil meningkatkan budaya membaca. Arys menilai masyarakat Indonesia masuk dalam kategori darurat membaca.
"Hanya karena dipaksa kemudian mereka membaca buku pelajaran misalnya, tetapi mungkin buku pelajaran itu tidak menarik, begitu, sehingga ujungnya ketika mereka sudah tidak bersekolah sekarang tingkat kunjungan perpustakaan itu menjadi rendah pada usia yang sudah bukan lagi siswa," ucapnya.
Karena itu terdapat beberapa hal yang harus dilanjutkan setelah masyarakat melek huruf atau bisa membaca. Misalnya dengan kemudahan dalam mengakses bacaan ilmu pengetahuan hingga teknologi. Sebab indeks literasi yang rendah sangat berbahaya untuk masyarakat.
"Karena sudah dibuktikan oleh berbagai survei. Indeks literasi yang rendah itu juga berhubungan dengan kemampuan untuk membedakan fakta dan opini. Jadi tidak heran, tidak heran ya kalau misalkan pada saat ini begitu mudah masyarakat kita oleh hoaks," ujarnya.
Kata Arys terdapat sejumlah penyebab utama minat baca di Indonesia terbilang rendah. Pertama yaitu kurangnya bahan bacaan yang menarik ketika masih kecil. Sebab pengembangan minat baca juga harus didukung oleh pengalaman baik terhadap buku bacaan yang menarik. Padahal jumlah buku dan penerbit di Indonesia cukup banyak.
Namun yang terjadi yaitu adanya perbedaan buku bacaan di perpustakaan dan toko buku. Perpustakaan umum ataupun yang berlokasi di sekolah seringkali tidak menyediakan buku-buku yang tengah ramai atau diperbincangkan masyarakat. Mulai dari buku terbitan dalam negeri hingg terjemahan.
Pengakses Perpustakaan Didominasi Anak-Anak
Perpustakaan kata dia, seharusnya bukan hanya menyediakan buku berbau ujian hingga tes. Tetapi juga dibutuhkannya buku bacaan yang memang menyenangkan. Situasi tersebut hanya mampu diubah oleh pemerintah.
"Jadi yang pertama kali harus dibangun adalah kesenangan anak-anak kita untuk membaca. Jadi kalau itu dilakukan, paling tidak dalam 5/10 tahun ke depan, indeks literasi kita akan lebih baik dibandingkan dengan hari ini," sambung dia.
Saat ini menurut Arys, pengakses perpustakaan itu didominasi anak usia sekolah dan perguruan tinggi. Sedangkan ketika usia yang diasumsikan 33 tahun pengakses perpustakaan sangat rendah. Lulusan Universitas Padjajaran tersebut menyebut berdasarkan hasil survei dari OECD, menunjukkan jika kapasitas membaca anak-anak masuk dalam pada level 1 dan 2 dari 6. Bahkan, 90 persen anak hanya mampu membaca singkat.
"Jadi ketika diberikan bahan tulisan dengan kalimat yang panjang, kalimat yang abstrak, kalimat yang memiliki keterkaitan antar katanya lebih rumit, anak-anak kita gagal mengakses informasi dari kalimat tersebut. Ini adalah salah satu negara dengan reading performance yang rendah di dunia," papar Arys.
Perpustakaan untuk Tingkatkan Literasi
Sementara itu kata dia, keberadaan dan jumlah perpustakaan sangat penting dalam peningkatan indeks literasi. Untuk saat ini jumlah perpustakaan di Indonesia sangat beragam. Berdasarkan riset yang ada, untuk tingkat SD hanya ada 61 persen sekolah telah memiliki perpustakaan dan 19 persen saja yang masuk kategori layak.
Untuk tingkat SMP ada 67 persen sekolah yang telah memiliki perpustakaan dan kategori layak hanya 22 persen. Kemudian di tingkat SMA ada 67 persen sekolah dan hanya 33 persen yang dikatakan layak. Sedangkan jenjang SMK hanya 33 persen perpustakaan yang dikatakan layak.
"Jumlah perpustakaan itu penting tapi tadi itu, tingkat kelayakannya juga sangat penting. Karena kalau dari sudut indeks literasi soal perpustakaan adalah salah satu yang membangun, menjadi parameter dari indeks literasi. Soal perpustakaan kita tidak kalah dengan Singapura. Tetapi begitu kita bicara tadi, kemudian kemampuan baca berdasarkan hasil assessment, kita jauh tertinggal dari negara-negara lain," Arys menandaskan.
Pengamat Pendidikan, Doni Koesoema angkat bicara mengenai penyebab indeks literasi Indonesia mengalami penurunan. Faktornya yakni saat melakukan tes assessment peserta yang meliputi anak-anak tidak dapat menarik kesimpulan, mengolah data, hingga informasi yang ada.
"Pertama (mereka) enggak bisa membedakan fakta dan opini. Lalu nggak bisa menarik kesimpulan dari data-data yang secara tersirat ada di situ," kata Doni kepada Liputan6.com.
Menurut Doni hal tersebut disebabkan pada kurikulum pendidikan yang tidak diperbaharui. Misalnya dalam pelajaran Bahasa Indonesia, siswa hanya banyak membaca dan menganalisa jenis teks. Kemudian untuk mata pelajaran sains siswa tidak dilatih untuk berargumentasi. Bahkan rata-rata anak-anak saat mengikuti program assessment tidak dapat menjawab dengan benar.
"Jadi, anak-anak kita enggak paham hukum-hukum logika itu sehingga dia bingung ini gimana ya, kok seperti ini, padahal itu pilihan-pilihan. Nah itu yang kedua jadi, literasi digital di kurikulum kita enggak masuk. Kurikulum kita itu kalau Bahasa Indonesia hanya ada satu teks tunggal," ucapnya.
Siswa Diajak Berpikir Kritis
Karena itu, dia meminta agar kurikulum atau materi tentang logika hingga hukum-hukumnya diajarkan kepada siswa. Selain dapat meningkatkan indeks literasi anak, hal tersebut dapat membantu anak untuk berpikir kritis.
Selain itu, kata dia minat baca yang tinggi juga tidak otomatis dapat meningkatkan kualitas penalaran seseorang. Apalagi bahan bacaannya hanya sekedar novel fiksi hingga cerita tradisional.
"Justru yang berpikir kritis dan logis itu mereka diajak membaca informasi berita. Berita di koran, berita di media, itu harus ditelaah karena itu kan ada 5W1H. Dan dari situ mereka bisa ngecek alasan yang disampaikan narasumber ini benar enggak, apakah masuk akal. Kemampuan membaca saja enggak cukup," tegas Doni.
Bahkan, dia menilai gerakan pengiriman 25 juta buku oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) beberapa waktu lalu tidak bermanfaat. Sebab buku yang dikirimkan hanyalah buku fiksi dan dianggap tidak menyelesaikan masalah yang ada.
"Karena selama ini literasi akan meningkat kalau ada dialog satu sama lain antara guru dengan siswa yang menantang siswa untuk memahami dengan lebih baik materi itu seperti apa. Supaya di-challenge, ditantang untuk menyampaikan pendapatnya. Tapi kalau baca sendiri kan enggak bisa," tandasnya.
Advertisement
Kemendikbudristek Sediakan Jutaan Buku
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar Episode Ke-23: Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia. Kebijakan ini hadir untuk melengkapi berbagai program penguatan literasi yang selama ini telah berjalan.
Merdeka Belajar Episode Ke-23 berfokus pada pengiriman buku bacaan bermutu untuk jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar (SD) yang disertai dengan pelatihan untuk guru.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim menyampaikan bahwa terobosan Merdeka Belajar Episode ke-23 diluncurkan untuk menjawab tantangan rendahnya kemampuan literasi anak-anak Indonesia akibat rendahnya kebiasaan membaca sejak dini.
“Penyebab rendahnya kebiasaan membaca adalah masih kurang atau belum tersedianya buku bacaan yang menarik minat peserta didik,” ujar Mendikbudristek di Jakarta (27/2/2023).
Kata Nadiem, program pengiriman buku ke sekolah bukanlah kebijakan yang baru dilakukan. Namun pihaknya mengaku menghadirkan terobosan untuk sejumlah hal. Mulai dari jumlah eksemplar, judul buku, jenis buku yang dikirimkan, pendekatan dalam pendistribusian, hingga pemilihan sekolah penerima.
Tahun 2022, Kemendikbudristek menyediakan lebih dari 15 juta eksemplar buku bacaan bermutu disertai pelatihan dan pendampingan untuk lebih dari 20 ribu PAUD dan SD yang paling membutuhkan di Indonesia.
“Ini adalah program pengiriman buku dengan jumlah buku dan jumlah penerima yang terbesar sepanjang sejarah Kemendikbudristek. Dan yang paling penting adalah bagaimana kami saat ini menyediakan pelatihan dan pendampingan untuk membantu sekolah memanfaatkan buku-buku yang diterima,” tuturnya.
Dengan pelatihan yang diberikan, Nadiem berharap guru-guru dan pustakawan sekolah bisa benar-benar memahami kegunaan dan kebermanfaatan buku yang diterima, sehingga tidak akan ada buku yang menumpuk di perpustakaan karena tidak dimanfaatkan.
(Brigita Purnama)