Liputan6.com, Jakarta Meski tak lagi menjabat sebagai perwira tinggi TNI aktif, nama Andika Perkasa tetap mencuri perhatian. Jelang Pilpres 2024, namanya kini kerap disebut-sebut dan dihubungkan dengan sejumlah partai politik. Kendati demikian, hingga kini Andika masih menutup rapat cerita tersebut.
Jenderal TNI (Purn.) Muhammad Andika Perkasa S.E., M.A., M.Sc., M.Phil., Ph.D. lahir pada 21 Desember 1964 di Bandung, Jawa Barat. Dia merupakan Panglima TNI ke-21 yang menjabat sejak 17 November 2021 dan pensiun pada 1 Januari 2023.
Baca Juga
Usai menamatkan sekolah menengah, Andika memutuskan untuk menempuh pendidikan di Akademi Angkatan Bersenjata atau Akabri (sekarang bernama Akademi Militer). Dia lulus tahun 1987 dan menjabat sebagai Komandan Peleton Grup 2/Korps Baret Merah (Kopassus).
Advertisement
Selama bertugas di Kopassus, Andika juga mengenyam pendidikan tinggi Strata-1 (Sarjana Ekonomi) di Universitas Terbuka dan meraih 3 gelar akademik Strata-2 (M.A., M.Sc., M.Phil.) serta 1 gelar akademik Strata-3 (Ph.D) dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat.
Nama Andika mulai mencuri perhatian saat dipromosikan ke jabatan perwira tinggi (pati) dengan pangkat Brigadir Jenderal TNI sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI-AD (Kadispenad) pada 25 November 2013. Sejak itu, sejumlah jabatan bergengsi dipegang Andika seiring dengan dimulainya era pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Hanya dua hari setelah Jokowi-JK dilantik, Andika ditunjuk sebagai Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) dan pangkatnya naik menjadi mayor jenderal. Dua tahun ia mengawal Presiden Jokowi, pada 2016 Andika diangkat sebagai Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XII Tanjungpura.
Jabatan itu ia emban kurang lebih selama dua tahun. Pada 5 Januari 2018, dia diangkat sebagai Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan, dan Latihan Angkatan Darat (Dankodiklatad). Pangkatnya dinaikkan menjadi letnan jenderal.
Tak menunggu waktu lama, Andika kemudian dipercaya menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) pada periode 23 Juli 2018-22 November 2018. Ia menggantikan Letjen Eddy Rahmayadi yang mundur untuk maju pada Pilkada Sumatera Utara.
Pada 22 November 2018, menantu mantan Kepala BIN Hendropriyono ini dilantik Jokowi sebagai KSAD dan berselang 3 tahun kemudian Presiden Joko Widodo kembali melantik Andika sebagai Panglima TNI pada 17 November 2021.
Menjabat sebagai Panglima TNI dalam waktu yang singkat, Andika melakukan perubahan dengan menghapus persyaratan tes keperawanan bagi calon Komando Wanita Angkatan Darat (Kowad) dan calon istri prajurit.
Dia juga menghapus larngan keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menjadi anggota TNI. Selain itu, dia mengurangi tinggi badan untuk persyaratan Akmil bagi pria dan wanita.
Andika menikahi Diah Erwiany Trisnamurti Hendrati pada 1992 dan dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai 3 orang anak. Uniknya tak ada dari mereka yang mengikuti jejak sang ayah untuk menjalani karier di dunia militer.
Putra sulung bernama Alexander Akbar Wiratama Perkasa Hendropriyono diketahui berprofesi sebagai seorang dokter. Sementara anak kedua, Angela Adinda Nurrina Perkasa Hendropriyono juga mengikuti sang kakak menjadi dokter.
Sedangkan putra bungsu bernama Andrew Perkasa baru menyelesaikan studi S-1 Akuntansi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM. Andrew juga diketahui memperoleh gelar ganda sebagai bagian dari program dual degree di University of Melbourne selama dua tahun. Putra bungsu Panglima TNI ini mendapat gelar S.E, B.Com.
Liputan6.com pun berkesempatan melakukan wawancara untuk program Bincang Liputan6 dengan Andika Perkasa di kawasan Senayan, pekan lalu. Ikut menemani dalam wawancara yang berlangsung hangat tersebut sang istri Hetty Perkasa dan si bungsu Andrew Perkasa.
Berikut petikan wawancara Bincang Liputan6 yang dipandu Sheila Octarina.
Balas Dendam Setelah Pensiun
Setelah pensiun pada Januari lalu, Bapak jarang kelihatan, apa saja kegiatan Bapak?
Tiga bulan pertama terus terang saya ingin membalas, membalas dendam. Karena apa? Karena ada yang kurang atau hilang pada saat saya dinas. Antara lain misalnya untuk ngobrol dengan keluarga. Ngobrol itu misalnya dengan istri saya, biasanya hanya makan malam. Itu pun dibatasi karena ada saja tuh urusan yang harus segera kita tangani.
Nah mumpung waktu ada ya paling nggak jadi 3 kali makannya sehari, sama-sama. Selain dengan Hetty juga kebetulan Alex anak saya dengan Avina itu kan di Surabaya. Dan cucu kami dua orang ada di situ, sehingga saya juga inginlah untuk spend more time bersama mereka. Jadi kita di sana cukup lama, ada 10 harian di Surabaya.
Nah terus juga spend time sama Andrew sama Angela. Angela kan baru sekarang ini di sini, anak saya yang kedua ya. Karena apa? Dia enam tahun sekolah di Jogja, di Kedokteran UGM. Walaupun waktu itu beberapa kali ketemu, tapi kan susah.
Karena itu kami ke sana juga pas karena ada kegiatan. Jadi disela-sela kegiatan. Makan misalnya di rumah baru ketemu, ngobrol sebentar sama Angela. Ya, spend more time-lah dengan Hetty dan anak-anak.
Sekarang bisa berkumpul bersama keluarga karena dulu sibuk kerja?
Betul, ngurusin tugas negara. Macam-macamlah pokoknya.
Tapi kalau boleh tahu, sejak awal Bapak memang sudah bercita-cita untuk jadi tentara?
Jadi sebenarnya cita-cita saya memang bukan ingin jadi prajurit TNI. Karena apa? Karena kebetulan Bapak saya ini, bapak saya tentara. Tapi karena lulusan ITB Teknik Sipil sehingga di tentaranya di bagian yang konstruksi, Korps Zeni kalau di istilah kami dan itu istilah internasional.
Sehingga sejak saya kecil pulang sekolah, dulu pulang sekolah itu masih jam 12. Itu lihat kemeja Bapak saya panjang, kertas dengan penggaris garis-garis gitu, yang awalnya enggak ngerti. Kebetulan buku-bukunya juga bahasa Inggris, saya nggak ngerti tuh, saya hanya lihat gambar-gambarnya saja.
Awalnya nggak ngerti sampai akhirnya diajarin Bapak saya membayangkan, ini begini nih gambar garisnya dua dimensi. Tapi kalau 3D-nya itu begini kira-kira. Sehingga dari dulu saya ingin masuk Arsitek ITB. Bapak saya Teknik Sipil, saya ingin ke Arsiteknya. Tapi itu harus kandas, saya harus melupakan.
Kenapa, Pak?
Ada satu masalah dan itu terjadi di akhir kelas 2 SMA. Bayangin begitu lama saya ingin masuk ITB harus kandas. Intinya ya biayalah. Saya anak keempat, berarti kami 8 bersaudara. Kalau dari Ibu saya, saya nomor empat tapi dari Bapak saya, saya nomor satu.
Kesimpulannya saya harus melupakan masuk ITB. Saya harus cari sekolah yang gratis. Nah, jadi pilihannya cuma tiga waktu itu, Akabri atau Akademi Ilmu Pelayaran atau Akademi Pemerintah Dalam Negeri, APDN. Akhirnya saya memilih yang Akabri..
Dan ternyata malah berawal dari mengubur impian yang dulu memang menjadi kerinduan Bapak?
Betul. Dan itu adalah sebuah nilai bagi saya. Saya sering juga sharing ke adik-adik maupun prajurit-prajurit, termasuk anak-anak saya. Tidak terlalu penting apa yang kita kerjakan selama kita fokus, bisa kok. Walaupun itu bukan cita-cita kita.
Kan ada saja tuh orang yang kerja ini, wah ini bukan passion saya, keluar. Kerja nyoba lagi, bukan passion, keluar. Akhirnya nggak akan pernah ketemu. Jadi nilai yang saya dapat tadi, ternyata walaupun ini bukan passion saya, tapi kalau kita serius, bisa.
Bagaimana untuk memberitahu generasi sekarang Millennial dan Gen Z khususnya seperti tadi yang di-mention Bapak untuk fokus dan mencintai pekerjaan sekarang meskipun itu bukan passion kita?
Ya itu memang realita, jadi adik-adik Gen Z maupun Millennial yang mungkin belum banyak ini ya, belum banyak karena usia, belum banyak mengalami naik turunnya hidup. Memang dalam hidup kita ini tidak selalu kita dapat yang kita inginkan kok.
Betul, bukan hanya kerjaan. Misalnya nanti suatu saat adik-adik berumah tangga. Kalau yang laki beristri, yang perempuan bersuami, sama. Kita juga mungkin dulu punya bayangan, saya ingin punya istri yang begini, begitu dapat tidak selalu seperti yang kita inginkan.
Advertisement
Siap Terjun ke Dunia Politik
Nah, ngomong-ngomong soal passion nih, Pak. Sekarang setelah pensiun, kira-kira Bapak tertarik nggak sih untuk masuk ke dunia politik?
Dunia apa pun saya open. Karena dari sisi usia saya kan masih produktiflah, 59 tahun. Masih banyak yang bisa saya lakukan. Terutama dengan kondisi kesehatan juga yang masih bagus. Jadi saya open sebetulnya untuk apa saja, termasuk politik.
Saya tidak kemudian rule out itu dalam dalam hidup saya, nggak juga. Tapi yang penting saya selalu terbuka di depan. Misalnya, ya saya ini gini aja nih. Saya nggak punya banyak ingredient yang mungkin diperlukan untuk masuk politik.
Salah satunya misalnya logistik. Logistik kan juga salah satu faktor, saya apa adanya di depan. Jadi kalau ada yang mengajak bicara soal politik, ya secara terang-terangan di depan saya begini. Kalau ternyata saya tidak pas ya sebaiknya nggak usah. Tapi kalau dengan kondisi saya ini masih ada yang menerima, ya saya pun siap.
Tapi ketika nama Bapak disebut dan diberitakan di mana-mana, apakah memang sudah ada yang mengajak untuk bergabung?
Saya belum bisa ngomong.
Biasanya kalau belum bisa ngomong itu pertanda sudah ada yang mengajak?
Oh iya, ada. Saya harus akui ada, tapi saat ini karena memang sesuai dengan komitmen waktu itu, belum boleh diungkap ya, saya mohon maaf belum bisa jawab.
Meskipun tak lama menjabat sebagai Panglima TNI, sudah banyak yang Bapak lakukan, boleh diceritakan, Pak?
Harus. Karena bagi saya, sejak awal saya menjabat saya sudah aware. Karena apa? Waktu saya terbatas dan ini pun juga Presiden sendiri yang sering bilang juga. Jadi jangan sampai kita terjebak rutinitas.
Nah, yang terjadi sebetulnya banyak terjebak, karena rutinitas itu memang benar-benar menyita waktu kalau diikutin. Tapi kalau kita terjebak, akhirnya kita tidak bisa membuahkan sesuatu yang selain rutin. Makanya begitu saya mendapatkan jabatan, langsung saya berpikir harus melakukan ini, ini dan ini.
Bucket list-nya memang banyak yang harus dikerjakan?
Iya betul, banyak ya, khususnya bagi saya karena kan semuanya juga berdasarkan anggaran atau uang yang saya punya. Jadi berdasarkan anggaran, apa yang harus saya lakukan, apa yang bisa saya hemat, saya kumpulin sehingga bisa lebih nendang.
Kalau ngikutin perencanaan sebelumnya, anggaran ini kan dibagi-bagi. Nah, itu yang saya kemudian ambil alih. Saya filter lagi, mana yang tidak terlalu perlu saya ambil, kumpulin. Nah, ini kemudian jadi sesuatu, hanya jadi beberapa tetapi lebih nendang. Itu yang saya lakukan.
Misalnya, Pak?
Misalnya kebutuhan kendaraan, mobil motor. Itu kelihatannya sederhana, tapi memang itu adalah salah satu yang hampir tidak terdukung. Karena memang mobil motor ini kan saya melihatnya sebagai kebutuhan, tetapi begitu pimpinan punya anggaran, kita jadi kadang-kadang lupa. Lupa karena ada yang banyak lagi lebih penting.
Tapi karena saya merasakan, tanpa kendaraan dan karena memang kondisi kendaraan di bawah ini begitu kurang. Misalnya sebagai Pangkostrad saya waktu itu, Kostrad itu kan harus bisa digerakkan secara cepat, kemudian kita harus bisa menduduki atau berada di daerah penugasan dalam kurun waktu minimal seminggu.
Itu teorinya. Begitu batalyon ini, misalnya kita beri tugas, teng... teng... teng, ayo alarm, ada tugas harus berangkat ke sana. Mereka kumpul, berangkat. Yang berangkat tetap saja hanya bisa satu kompi alias sepertiga atau seperempat. Karena apa? Truknya cuma cukup untuk tadi satu kompi, kompi-kompi yang lain sudah siap, tetap saja nggak bisa berangkat.
Akhirnya kita nggak bisa mewujudkan apa yang sebetulnya dituntut kepada Kostrad, misalnya gitu. Bayangin, mobil truk saja nggak bisa, nggak punya, belum yang lain-lain. Belum perumahan prajurit, belum kantor, fasilitas umum, banyak sekali.
Dan itu semua dibenahi karena menjadi concern Bapak?
Ya, saya nggak banyak, tapi ada pasti saya lakukan. Mobil motor saya beli, perumahan prajurit saya bangun. Termasuk untuk di daerah operasi. Saya bangun 5 pos, cuma 5 dari begitu banyak. Mba lihatlah publikasi saya, menyedihkan di sana, sebelumnya ya. Jadi saya punya anggaran cuma untuk merenovasi membangun 5, tapi itu sudah something bagi saya.
Pentingnya Kerja Sama Militer dengan Negara Tetangga
Beberapa waktu lalu Bapak juga dapat penghargaan militer tertinggi dari Singapura, bisa diceritain, Pak?
Ya, itu bagi saya adalah suatu kehormatan. Bukan hanya dari Singapura, tapi juga dari Malaysia, dari Brunei, dari Australia juga dapat, dari Amerika juga saya dapat dari Prancis saya dapat. Bagi saya itu suatu kepuasan karena itu kan recognition atau pengakuan mereka.
Apa yang Bapak lakukan dalam hubungan kita dengan militer Singapura sehingga berbuah penghargaan?
Hubungan kita sebenarnya sudah panjang. Bukan hanya dengan Singapura, dengan Malaysia juga, Malaysia itu hubungan kita maksudnya dalam bentuk latihan pendidikan sudah 40 tahun lho. Jadi lama-lama dengan Amerika, dengan Australia banyak sekali.
Tapi apakah kita kemudian bisa memberi warna yang beda? Karena kan business as usual. Jadi misalnya ya tiap tahun cuma begitu-begitu saja. Nah, yang saya lakukan tidak biasa. Itu yang mungkin membuat mereka memberikan nilai tersendiri.
Menurut Bapak seberapa penting kerja sama di bidang militer dan keamanan di tingkat regional dan internasional dalam kondisi geopolitik global saat ini?
Sangat penting. Karena pada saat yang bersamaan uang kita nggak cukup atau anggaran pertahanan kita nggak cukup. Sangat penting. Karena kita memang memiliki atau diberikan kondisi geografis yang memang seperti ini.
Misalnya orang dari Sumatera ke Papua saja nggak bisa lewat daratan. Jadi itu kan membuat lebih kompleks, lebih mahal dalam hal logistik. Sehingga bagi saya, kita mempertahankan kedaulatan NKRI ini dengan tugas pokok kita ya. Itu kita harus smart.
Kita nggak mungkin kok bisa mengusulkan oh idealnya kita itu harus punya A B C D, pesawat tempur kita idealnya harus sekian, kapal kita sekian, tank kita sekian, realitanya nggak bisa. Dan bukan kita doang lho, banyak negara di dunia ini juga yang nggak akan pernah dapat idealnya bagaimana.
Tapi kan kita juga tetap harus mengemban tugas ini, menegakkan kedaulatan di negara kita. Bagaimana caranya? Bagi saya adalah dengan mengajak teman-teman, gitu lho. Jadi kalau kita dengan luas wilayah perairan kita yang begitu luas, kita bisa patroli sama-sama Singapura, patroli laut ya, dengan Malaysia, dengan Australia, dengan semua tetangga kita, kan lebih ringan. Lebih banyak yang ter-cover akhirnya, dibandingkan kalau kita sendiri.
Apakah itu pula yang menjadi alasan ketika Bapak menggagas Super Garuda Shield yang dikuti 14 negara?
Betul, karena memang kita nggak mungkin bisa sendirian. Contoh ginilah, misalnya Tsunami 2004. Terus yang baru-baru saja misalnya gempa bumi itu yang di Poso, terus di Mamuju juga. Buktinya, langsung banyak negara yang membantu. Kan lebih ringan daripada kita sendiri.
Saat ini pemerintah lagi mencanangkan visi Indonesia Emas 2045, salah satunya RI harus punya kepemimpinan dan pengaruh yang kuat untuk dunia internasional. Menurut Bapak, apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan hal itu?
Kalau kita berbicara dunia internasional, pertama kita harus menjadi bagian dari dunia internasional itu sendiri. Ini bagi saya ya. Kelihatannya memang abstrak ini. Tapi bagi yang sering menghadiri pertemuan multilateral, konteks apa pun gitu ya tapi kan militer, ini harus.
Dan di situ kan kelihatan. Misalnya untuk Asia Pasifik, di situ kelihatan mana yang dekat. Jadi hanya karena kita hadir, belum tentu kita tuh dekat, beneran ini. Begitu kumpul kelihatan yang dekat dia dengan dia, dengan dia, yang dia kagak ada yang ajak ngomong.
Bener nih, saya melihat ada yang nggak diajak ngomong sama sekali. Ya memang dia bagian dari Asia Pasifik, tapi berarti dia kan sama sekali nggak diperhitungkan, maksud saya begitu.
Nah bagi saya, kalau kita ingin menjadi apa ya, pemainlah yang lebih diperhitungkan, kita sendiri harus menunjukkan, kita harus care, kita harus mau. Harus ada take and give-nya di dunia internasional.
Advertisement
Jangan Minder, Kita Pasti Bisa
Indonesia diperkirakan mencapai puncak bonus demografi tahun 2030-an, di mana sekitar 68,3 persen populasi adalah generasi muda, Millennial dan Gen Z tadi. Menurut Bapak, bagaimana caranya biar jadi peluang bukannya bencana, yang mana kita tahu dan banyak yang mengatakan kalau mental-mental anak-anak zaman sekarang itu kan beda sama orang dulu?
Kalau bagi saya itu suatu, satu anugerahlah. Tapi bagi mereka yang nggak punya bonus demografi pun, mereka juga nggak boleh putus asa kan? Kan itu bukan pilihan. Negara yang nggak punya bonus demografi, bayangin saja.
Seperti sekarang pun, kita negara dengan sumber daya alam yang banyak. Negara yang nggak punya sumber daya alam punya pilihan nggak? Nggak ada pilihan, tapi harus survive, apalagi kita. Jadi kalau saya sangat optimis, kita bisa dengan apa yang kita punya, dengan kekurangan yang kita punya pun bisa.
Salah satunya tadi, konsep saya dalam menegakkan kedaulatan di negara kita ini. Padahal alutsista kita kurang. Apakah bisa? Bisa, yakin saya. Dan saya ingin generasi muda kita juga yakin bahwa kita bisa.
Kita bisa kok ternyata diperhatikan sama negara-negara besar. Bisa satu level kita sama mereka. Nggak minder kita, gitu lho.
Tapi menurut Bapak, bekal pendidikan apa yang harusnya generasi muda Indonesia khususnya punya agar kita bisa bersaing dengan negara-negara lain?
Banyak. Yang jelas mereka harus produktif. Yang jelas bagi saya produktif, tapi juga menuju ke peningkatan. Misalnya begini, kita sangat kurang engineer, sangat kurang. Lihatlah negara-negara maju, yang sudah maju ini kan berarti sudah membuktikan, mereka tidak terlalu tergantung kepada yang lain-lain.
Karena dari produktivitas engineering-nya sendiri sudah menjadi independen. Tapi kalau kita belum, akhirnya kita selalu tergantung kepada tadi, negara-negara yang misalnya punya kemampuan untuk melakukan sebuah produksi.
Jadi salah satunya adalah dengan cara menurut saya membuat mereka generasi muda kita ini lebih produktif. Apa? Harus ada arahan dari kita, nggak bisa semaunya masing-masing, nggak bisa juga. Paling nggak harus ada arahan, supaya mereka ini lho. Semua pilihan itu bagus, sesuai passion-mu masing-masing, bagus.
Tapi kalau kita mau lebih produktif, kita perlu meningkatkan kemampuan produksi kita. Berarti jurusan-jurusan yang sifatnya tadi lebih specialized, bukan yang hanya generalized, itu perlu diperbanyak, bukan hanya engineer maksud saya, tapi tadi kedokteran, kemudian ya yang begitu-begitulah. Tapi yang generalized-generalized ini mungkin lebih dikurangin.
Semua Punya Hak yang Sama Masuk TNI
Apakah itu juga yang menjadi landasan Bapak mencabut larangan keturunan PKI masuk TNI? Agar semua generasi muda bisa bersaing tanpa diskriminasi?
Bagi saya seluruh warga negara Indonesia, siapa pun orangtuanya atau siapa pun saudaranya, mempunyai hak yang sama. Misalnya ada anak Indonesia orangtuanya misalnya, misalnya koruptor atau pembunuh, terus dia nggak punya hak? Kan nggak juga.
Itu adalah tindakan orangtua atau siapa di keluarganya. Tapi selama dia tidak melakukan apa pun, apalagi kriminal, maka dia punya hak yang sama seluas-luasnya. Jadi bagi saya, generasi muda kita juga harus punya kesempatan itu, apa pun tadi orangtuanya.
Dan khususnya isu tadi kan memang secara hukum nggak ada yang mengatur itu. Makanya saya patuh pada peraturan perundangan, oleh karena itu setiap warga negara harus punya kesempatan masuk TNI.
Menurut Bapak, apa yang harus dilakukan agar generasi muda Millennial dan Gen Z, harus sadar bahwa Indonesia seluar biasa itu dan kita harus bangga sama Indonesia?
Saya kebetulan kan sudah pernah berdinas atau perjalanan ke luar negeri. Jadi sebetulnya begitu banyak kok yang sudah dicapai oleh individu-individu masyarakat Indonesia. Kita punya masyarakat Indonesia yang sekarang bekerja di kantor Wali Kota New York dan Facebook, misalnya.
Jadi saya ingin generasi muda kita tahu, kita itu kalau kita push potensi kita semaksimal mungkin, kita masih bisa, bisa. Makanya harus percaya itu. Percayalah bahwa generasi-generasi yang lebih tua pun apa yang mereka punya, kan nggak seperti kita. Kita ini sudah menikmati lebih banyak fasilitas, kualitas pendidikan sekarang dengan waktu itu, waduh jauh dong.
Tapi Presiden pertama kita, Soekarno, bisa pengaruhnya besar sekali, padahal kekayaan kita waktu itu kan nggak sebanding dengan kekayaan sekarang, kok bisa? Jadi kita harus yakin bahwa kita bisa dengan yang ada, yang kita punya sekarang saja.
Nggak usah nanti berandai-andai, saya pasti bisa. Asal push, drive sekeras-kerasnya, selalu bilang dalam hati, I can do this, we can do this together juga, pasti bisa.
Mindset ya, Pak? Yakin yang harus kita tanamkan dalam hati. Meskipun kadang-kadang suka minder?
Betul, betul. Dan sekarang kan bagi saya kesempatan untuk mengisi diri jauh lebih murah. Karena apa? Nggak perlu sekolah, karena segala sesuatu sudah bisa kita cari di YouTube. Nggak seperti zaman kita-kita dulu atau generasi orangtua kita.
Bayangkan lebih murah, lebih gampang segalanya. Jadi asal kita mau saja, itu yang harus ada, kita harus mengingatkan satu sama lain. Eh, lu bisa, lu harus bisa, nggak ada yang nggak mungkin dalam hidup ini, begitulah.
Advertisement
Berkaca dari Masa Lalu Keluarga
Karena bersama kita juga ada istri Bapak, Ibu Hetty dan anak bungsu Bapak, Andrew, mungkin menarik kalau kita juga membahas tentang keluarga. Nah, arti keluarga buat Bapak seperti apa?
Waduh. Keluarga bagi saya adalah utama. Karena saya melihat dalam keluarga saya sendiri, adik kakak ada yang nggak berhasil, ada yang berhasil. Dan itu bukan hal yang kecil karena kalau begitu orang nggak berhasil, waduh.
Ini bukan hanya bagi yang bersangkutan, kakak atau adik saya, tapi juga buat anak-anaknya. Dia tidak akan mempunyai akses, kesempatan, seperti yang orangtuanya lebih berhasil. Kita bukannya diskriminatif, tapi itu kan sesuatu yang bisa kita kawal lah, walaupun juga bukan kewenangan kita seratus persen.
Itu juga banyak variabel lain lah yang menentukan berhasil tidak. Tapi minimal kita harus bisa memastikan yang bisa kita capai itu harus tercapai. Misalnya dalam hal keluarga, karena kami, saya melihat di dalam keluarga saya sendiri. Orangtua saya, ibu saya bukan pernikahan yang pertama, itu pernikahan kedua dengan Bapak saya.
Sehingga dari pernikahan pertama ada tiga anak dan Ibu saya waktu itu ditinggal karena suaminya punya istri kedua, istri ketiga sehingga Ibu saya pergi. Tapi kan dalam perjalanannya tidak bisa dari nol lagi. Ada variabel anak sehingga begitu dapat suami baru juga tidak begitu mudah menyatukan.
Bapak saya mungkin belum bisa menerima, sementara anak-anak Ibu saya ini juga kan tidak minta dilahirkan. Mereka sebagai anak kecil harus tinggal bersama neneknya. Mungkin juga kepengen lihat teman-temannya dijemput sama ibunya sama bapaknya, dia nggak bisa.
Jadi begitu banyak variabel dan begitu banyak kepedihan yang saya dengar, saya lihat sendiri sebagai anak kecil. Dan itu tidak ringan, Mba. Ibu saya nangis terus, kakak-kakak saya juga yang dari Bapak yang berbeda juga kasihan, korban intinya. Jadi makanya saya dari awal begitu saya menikah, yang saya katakan sama Hetty, ini adalah pernikahan saya yang pertama dan terakhir.
Itu Bapak tegaskan kepada Ibu Hetty ya?
Jadi, kalau saya bilang ini pernikahan saya pertama dan terakhir, harus bisa. Itu sebuah janji, sebuah keyakinan dan komitmen. Tapi keyakinan itu harus ada dulu. Jadi adik-adik juga pasti bisa, selama tadi kita niatin tadi.
Jadi keutuhan keluarga yang saya pegang ini karena memang saya melihat korban-korban tadi yang tidak lain adalah kakak saya sendiri, Ibu saya sendiri. Sedangkan pendidikan juga begitu. Kita memang harus tekun, karena saya juga pernah jadi anak waktu SD, waduh raport saya merah terus. Saya ingat hampir nggak naik kelas.
Ya kelas 2 SMP saya hampir nggak naik kelas. Yang saya ingat selalu merah dari SD sampai kelas 2 SMP itu apa? Berhitung. Dulu di raport itu tulisannya berhitung, bukan matematika. Nggak pernah biru, nggak ngerti-ngerti.
Tapi kemudian begitu saya hampir nggak naik tadi, kelas 2 SMP kuartal ke-3, jadi tinggal satu kuartal lagi, tinggal satu quarter lagi tuh. Ibu saya keluar dari ruangan kelas, saya lihat wajahnya. Wah wajahnya sudah asem gini kan, pasti bad news ini kan?
Begitu dekat saya, 'Andik, kamu kalau nggak bisa memperbaiki nilai merahmu', ada 5 waktu itu, 'Kamu nggak naik. Kalau kamu nggak naik yang malu bukan Ibu, kamu'. Cuma gitu saja, nggak marah. Saya langsung runtuh. Waduh, saya langsung kalau saya nggak naik sama adik kelas yang mungkin ini malu banget sih rasanya gimana gitu.
Tapi kemudian Bapak bangkit?
Itu yang kemudian mengubah saya. Saya nggak pernah mau main lagi. Dulu kan waktu kita kecil, kan mainnya di depan rumah saja. Kan dipanggil-panggil tuh, 'Andik, Andik'. Jadi teman itu sudah menggoda manggil-manggil supaya kita keluar main, saya nggak mau lagi. Karena saya nggak mau lagi, saya spent more time untuk studi, akhirnya bisa, malah juara kelas.
Jadi, oh ternyata sebetulnya kita nggak bisa itu bukan berarti kita bodoh. Hanya kita mungkin perlu lebih banyak waktu untuk melihat tadi, belajar terus bisa. Makanya saya kawal semua nih, mereka sampai Alex itu. Sampai kemarin pun saya masih tahu Andrew ulangannya kapan? Paper-nya do-nya kapan? Do itu nyerahinnya kapan? Saya kawal terus.
Tapi Andrew bagaimana rasanya? Pressure apa nggak nih dikawal terus sama Papanya?
Andrew: Sepertinya nggah sih, nggak ada pressure sama sekali sebenarnya. Malah mereka lebih ke supportive.
Hetty: Enggak ke-pressure sih. Mas Andika hanya mengingatkan.
Andika: Ini Angela (anak kedua) sekarang ini, kan sudah internship, internship ini untuk mendapatkan SIP, Surat Izin Praktik. Ini bukan lagi sekolah, tapi kan tetap saja ada penugasan-penugasan. Ini saya kawal terus, jangan sampai lupa, Angela. Berapa minggu lagi, ayo mulai cicil. Gitu-gitu, itu perlu.
Bukan Pria Romantis
Tapi kalau melihat tahun-tahun kemarin pas masih dinas, kan Bapak sibuk. Bagaimana itu membagi waktunya antara keluarga sama pekerjaan?
Andika: Selama kita membuat itu prioritas, sama seperti olahraga. Orang begitu sibuk, bagi saya olahraga adalah prioritas saya. Saya enggak boleh terganggu jadwal saya.
Yang paling sulit pada saat saya jadi Komandan Paspampres. Itu satu tahun tujuh bulan tidak ada satu hari pun libur, tidak ada satu hari pun. Mau Lebaran apa Tahun Baru enggak ada. Jadi saya pasti dinas, pasti bersama, harus mengawal karena tanggung jawab saya.
Itu pun saya sempat olahraga, walaupun cuma 45 menit, karena itu bagian dari kebutuhan saya, nah gitu lho. Jadi Mba tanya tadi anak-anak gimana? Oh, saya enggak mau jadwal-jadwal yang kurang penting jangan dulu, ini lebih penting bagi saya.
Buat Ibu, barusan diceritain sama Bapak pas menjabat itu enggak ada libur, bahkan mau Tahun Baru mau Lebaran juga tetap dinas. Rasanya gimana ditinggal-tinggal, Bu?
Hetty: Sudah biasa ya. Alhamdulillah sampai Mas Andika pensiun kita belum pernah cuti.
Andika: Ya enggak pernah libur lah.
Bu, di media sosial dan di mana-mana, bahkan tadi saya melihat sendiri kemesraan Bapak dan Ibu ini bergandengan tangan, apakah Pak Andika ini sosok yang romantis enggak sih, Bu?
Andika: You speak the truth.
Hetty: Enggak.
Misalnya mungkin surprise ngajak candle light dinner?
Hetty: Enggak ada. Sama sekali enggak romantis.
Andika: Makanya orang tanya ya biasa saja. Saya biasa kok, enggak romantis.
Hetty: Boro-boro candle light dinner, pergi berdua saja malam mingguan enggak pernah. Mungkin karena kita lebih senang di rumah kali ya?
Andika: Tapi begitu kita jalan keluar ya, saya merasa I'm gonna protect you, gitu lho. Ya, tanggung jawab saya.
Advertisement
Meyakini Kesuksesan karena Dorongan Istri
Sosok Ibu Hetty sebagai seorang istri bagi Bapak seperti apa?
Andika: Waduh, itu benar yang dibilang orang. Every successful man is always the strong woman. Jadi bagi saya, Hetty ini memang seorang istri yang kuat, sehingga saya bisa sukses.
Bayangkan kalau breakdown dia, begitu cepat breakdown, begitu cepat nyerah. Waduh, mungkin kan kita enggak bisa mikir juga. Maksudnya kita kerja itu kan butuh konsentrasi. Begitu istri breakdown atau hancur, kita pasti terbagi dan kalau terbagi kerjanya pasti nggak keurus 100 persen.
Apa pengalaman paling berkesan Ibu selama mendampingi Bapak?
Hetty: Semua, setiap hari berkesan sih sama Daddy. Semua berkesan.
Andika: Jadi mungkin kuncinya gini. Kebanyakan kita take for granted. Kita biasanya enggak sadar bahwa kita ini beruntung, setelah kita kehilangan yang tadi kita punya.
Misalnya yang kecil-kecil sajalah. Misalnya sisir, biasanya enggak terlalu, ah ini penting atau enggak. Tapi begitu kehilangan sisir, waduh ternyata memang penting ya sisir, gitu lho.
Saya kan sering nasihatin ke Hetty dan anak-anak. Tadi cerita saya betapa broken home family itu waduh, begitu banyak korban. Jadi kita bersama gini, saya sering kasih tahu ke mereka, jarang lho, bukan jarang sih, Mami-Daddy bisa terus nungguin kamu berdua, sampai kamu usia segini sampai Alex sudah punya dua anak, itu enggak gampang. Enggak gampang.
Jadi anak-anak semua nggak ada yang ngikutin jejak Bapak ya?
Andika: Enggak ada.
Andrew, kamu kan sudah lulus sekarang, sudah master kan?
Andrew: Ya Master.
Mau balik ke Amerika atau tetap di Indonesia?
Andrew: Jadi saya rencananya cari kerja di Amerika dulu mungkin.
Yah, jauh dong nanti sama Mami sama Daddy?
Andrew: Ya emang, it's okay. Enggak apa-apa.
Andika: Itu ada maksudnya. Karena saya ingin dia punya fondasi. Kerja di sana, ya bukan hanya di sana, tapi di negara maju. Makanya saya selalu berbicara negara maju, karena apa? Kita harus punya target dong? Ya kita berjalan kan harus punya sasaran.
Tujuan kita ke mana? Kita jangan sampai kalah nih. Tujuan kita arahnya ke sana. Di negara maju itu, work ethic-nya sudah jauh lebih keras, jauh lebih keras. Misalnya kita Ishoma, itu kan mungkin aturannya loose lah ya, berapa lamanya itu mungkin loose. Kalau di sana 30 menit lunch break 30 menit bener.
Disiplin waktu ya?
Andika: Waduh sangat keras. Nah itu yang saya ingin mereka punya basic foundation dulu di sana. Nanti setelah itu kerja di mana pun termasuk di Indonesia kan pasti lebih sudah punya pegangan.
Dua Kali Gegar Otak, Trauma dengan Sepak Bola
Apakah di rumah anak-anak dibiasakan untuk terbuka?
Hetty: Terbuka. Saya tahu dia punya pacar atau nggak, gitu. Dari dulu Mas Andika ngajarin, mengajak saya dan anak-anak untuk terbuka. Bahkan handphone kita berdua, kita semua tahu nomornya, apa password-nya, dan anak-anak juga tahu. Jadi kita dari kecil nggak ada rahasia di antara kita semua.
Dan itu masih berlaku hingga sekarang?
Hetty: Sekarang saya sudah nggak pernah buka-buka handphone mereka sih. Sekarang saya sudah nggak pernah. Tapi mereka masih bebas buka handphone Mami and Daddy, karena nomor dan password-nya nggak pernah berubah.
Nah Bapak pas acara silaturahmi Lebaran bareng Pak Guntur Soekarnoputra di awal Mei lalu kan sempat nyanyi, Bapak memang hobinya nyanyi ya, Bu?
Andika: Waduh, nggak pernah. Kalau nggak Pak Guntur yang maksa wah nggak mungkin saya nyanyi.
Hetty: Itu pertama kali Mas Andika menyanyi selama saya 30 tahun mendampingi. Di rumah pun nggak pernah.
Selain ngegym apa, apa lagi olahraga yang Bapak suka, sepakbola, tenis misalnya?
Andika: Nggak, sama sekali nggak. Sepakbola tuh saya malah waduh karena trauma. Sebetulnya di Indonesia nggak suka sepakbola itu kan di luar normal lah. Normalnya orang senang sepakbola. Karena saya punya trauma. Jadi saya gegar otak 2 kali. Kelas 3 SD sama kelas 5.
Jatuh gara-gara bola itu, main bola di jalan depan rumah kita. Kalau kita dulu kan main bola di jalan saja, depan rumah gitu. Golnya pakai batu bata gitu 2 atau pakai batu 2 kiri kanan. Jatuh.
Bola ke sini, kita loncat pas mendarat, pas mendarat di bola, jadi geblak begitu, gegar otak, pingsan. Saya ingat saya tidur saja di rumah seminggu, nggak boleh bangun karena gegar otak ringan.
Dan itu dua kali terjadi?
Andika: Dua kali. Setelah itu nggak pernah lagi saya, nggak mau main bola lagi dan nggak suka.
Advertisement
Cinta Lama yang Bersemi Kembali
Kalau boleh tahu, bagaimana awal perkenalan hingga Ibu akhirnya menikah dengan Pak Andika?
Hetty: Panjang itu. Gimana tuh Dad?
Andika: Cerita saja, Mom. Cerita saja.
Hetty: Jadi waktu itu saya sedang sekolah di Amerika, Papa saya telepon, saya disuruh pulang ke Indonesia. Papa saya telepon, kamu harus pulang ke Indonesia kalau kamu mau berbakti sama Papa. Saya bilang saya berbakti sama Papa, tapi nanti tunggu saya selesai sekolah dulu gitu.
Papa saya bilang, ini saatnya kalau kamu mau berbakti sama Papa, pulang. Kamu mau Papa nikahkan sama tentara, Kopassus, Den 81, orangnya pintar sekali, juara 1 terus, gitu. Wah saya pikir, tentara gitu? Tentara Kopassus pasti modelnya kaya Papa, kaya Papa saya. Apalagi Den 81 juara 1 terus gitu kata Papa saya.
Saya nggak bisa bayangin kaya apa gitu. Jadi saya bilang sama Papa saya, oke saya pulang tapi kalau misalnya saya nggak cocok sama orang itu, Papa paksa saya menikah, saya boleh bercerai. Saya nggak mau, kan kalau di Indonesia tabu bercerai, begitu.
Kata Papa saya, kamu menikah saja belum sudah ngomongin bercerai. Tapi Papa mau saya rekam, kalau saya nggak cocok saya boleh pulang lagi ke Amerika gitu. Ya sudah saya pulang, ternyata orangnya ini. Alhamdulilah, terima kasih, Papa. Matanya Papa tidak pernah salah untuk Hetty. Jadi alhamdulillah.
Bagaimana perasaan Ibu ketika bertemu Bapak?
Hetty: Saya ketemu Mas Andika itu dikenalkan oleh Papa, saya kaget Mas Andika baru pulang dari Prancis waktu itu ya, jadi rambutnya masih panjang, karena sekolah intel kan rambutnya panjang. Dia datang ke rumah saya itu pas salaman dia bilang, Hetty masih ingat sama saya nggak? Saya pura-pura nggak ingat. Siapa ya?
Saya kaget karena 5 tahun sebelumnya saya si Hetty yang kecil ini pernah naksir tentara yang namanya Om Andika. Tapi tidak satu orang pun tahu, termasuk Mama saya tidak tahu, hanya saya sendiri. Tapi saya kan malu karena menurut saya kan semua tentara itu Om Om. Malu dong kalau sampai tahu naksir Om itu.
Saya dan Mas Andika beda 7 tahun. Nah begitu dikenalin gitu jadi saya kaget. Tapi saya gengsi dong bilang inget gitu.
Jadi di Kopassus itu dulu suka ada acara Malam Muda-Mudi. Nah, di Malam Muda-Mudi itu tentara-tentara yang bujangan-bujangan itu dengan gadis-gadis yang ada di kompleks Kopassus itu, anak-anak tentara juga itu kita ada Malam Muda-Mudi untuk berkenalan gitu.
Malam itu saya dan Mas Andika rupanya sudah saling taksir-taksiranlah begitu. Tapi dia diam, saya juga diam. Begitu Papa saya kenalin itu, saya kaget, Maha Baik Tuhan, ya.
Andika: Kita dalam hati saja. Karena nggak mungkinlah, gitu lho. Nggak mungkinlah. Kita siapa sih?
Hetty: Saya mau cerita satu, Mas Andika tadi kan pertanyaannya Mas Andika itu orangnya romantis atau nggak?
Salah satu waktu kita nge-date gitu ya. Di mobil itu saya kan flu ya, saya bersin-bersin. Terus saya tanya, punya tisu nggak di dalam mobil gitu. Nggak ada tisu, tapi dia keluarin sapu tangannya. Saya punya sapu tangan, gitu.
Terus saya pakai buang ingus gitu kan. Terus saya kembaliin. Om Andika ini bilang oh nggak usah, simpan saja sama Hetty, gitu. Saya simpan. Lalu kami menikahlah ya.
Singkat cerita kami menikah, pas ulang tahun pertama pernikahan dengan bangganya saya bilang ini, eh masih ingat nggak sapu tangan ini masih saya simpan, gitu. Kamu baik banget. Terus kata Mas Andika, ya iyalah masa saya ambil lagi, udah ada ingus kamu kok. Itulah dia, jadi dia itu nggak romantis.
Kalau tadi Bapak sempat memikirkan generasi Millennial, generasi muda ini, yang penting kita yakin kita pasti bisa. Kalau pesan Ibu untuk anak muda sekarang?
Hetty: Untuk anak-anak muda sekarang, sama seperti Mas Andika, harus yakin bisa disiplin dan pada saatnya kalian nanti bekerja, bekerjalah dengan hati dan hati-hati.