Polemik PPDB, DPR Wacanakan Kembali Gunakan Hasil Ujian Akhir Sekolah Terakhir

Komisi X DPR RI mendorong Pemerintah mengefektifkan satuan tugas (Satgas) Pemantauan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Kemendikbud Ristek, menyusul banyaknya masalah dan protes terkait sistem tersebut.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 26 Jul 2023, 11:18 WIB
Diterbitkan 26 Jul 2023, 11:18 WIB
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)
Petugas menyampaikan penjelasan kepada orangtua calon peserta didik terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Posko Pelayanan PPDB 2023 di SMA Negeri 70 Jakarta, Kamis (25/5/2023). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membuka Posko Pelayanan PPDB 2023 mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Komisi X DPR RI mendorong Pemerintah mengefektifkan satuan tugas (Satgas) Pemantauan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Kemendikbud Ristek, menyusul banyaknya masalah dan protes terkait sistem tersebut.

"Masalah terbesar yang kita hadapi dalam dunia pendidikan adalah sistem zonasi. Di mana-mana orang berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah dengan berbagai cara yang kurang baik, seperti hanya numpang tinggal sementara dan juga persoalan data yang kurang signifikan,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf dalam keterangannya, Rabu (26/7/2023).

Terkait manipulasi jalur zonasi, Kemendikbudristek banyak menemukan upaya memasukkan anak ke kartu keluarga yang alamat rumahnya dekat dengan sekolah yang dituju. Bahkan Kemendikbudristek menemukan ada yang di dalam satu KK terdapat 10 hingga 20 anak.

Menyoroti hal tersebut, Dede menilai perlu ada pengawasan yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk melakukan pemantauan karena berkaitan dengan data kependudukan.

“Persoalan ini harus melibatkan Kementerian lain. Terutama Kemendagri soal kewenangan pengawasan daerah. Karena diduga banyak kecurangan penerimaan murid baru dengan menggunakan perpindahan domisili,” jelasnya.

Dede menyebut, Satgas PPDB yang dibuat Kemendikbudristek juga harus berkoordinasi dengan dinas pendidikan (disdik) dan Ombudsman wilayah setempat yang di daerahnya terdapat masalah.

Ombudsman dilibatkan karena banyak pejabat daerah yang turut memanfaatkan proses PPDB demi kepentingan pribadi, dengan melakukan sejumlah pelanggaran.

"Kami minta dikuatkan Satgas PPDB bersama dengan Ombudsman terutama di daerah-daerah untuk melakukan fungsi pemantauan dan pengecekan atas penyimpangan-penyimpangan, termasuk memberikan sanksi kepada pejabat-pejabat berwenang yang mana justru banyak menjadikan PPDB ini semakin lebih bermasalah, seperti minta uang, titipan dan sebagainya," papar Dede.

Dede menyampaikan, rekomendasi lain dari Komisi X DPR RI kepada Kemendikbudristek adalah terkait perbaikan sistem PPDB jalur prestasi.

“Dalam rekomendasi, Komisi X DPR juga mendesak Kemendikbudristek untuk memperjelas mekanisme, definisi dan kriteria pada jalur prestasi. Karena kriteria yang tidak jelas banyak dijadikan kesempatan pihak-pihak tertentu untuk melakukan manipulasi,” ucapnya

Dalam rekomendasinya, Komisi X DPR tegas meminta Kemendikbudristek untuk mengevaluasi total sistem PPDB. Komisi di DPR yang membidangi urusan pendidikan itu memberi tenggat waktu kepada Kemendikbudristek untuk melaporkan hasil evaluasi selambat-lambatnya pada akhir oktober 2023.

Apabila belum ada perbaikan, Komisi X DPR meminta Kemendikbudristek mengubah sistem PPDB zonasi. Mengingat persoalan mengenai PPDB zonasi selalu muncul di setiap tahun ajaran baru sejak sistem tersebut diberlakukan.

"Kalau setiap tahun permasalahan ini selalu terjadi, perlu ada perbaikan. Dan kami beri waktu sampai Oktober ini, jika masih belum ketemu solusi, maka ubah sistemnya," tegas Dede.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Dikembalikan Sistem yang Lama

Dede pun mengusulkan penerimaan siswa baru dikembalikan seperti sistem pendaftaran sekolah terdahulu, yakni seleksi berdasarkan nilai hasil ujian akhir sekolah seperti saat masih ada NEM (Nilai EBTANAS Murni). Namun sistem seperti ini diseleraskan dengan kebutuhan di masing-masing daerah.

"Maka kita akan minta segera membuat sistem baru yang lebih mengedepankan azas dan hak ke testing (ujian), misalnya bisa kembali kepada sistem ‘NEM’, namun testing-nya itu hanya buat pendaftar-pendaftar yang non-zonasi,” sebut Dede.

“Jadi sistem zonasi-nya masih tetap ada, ya zonasi bisa berkurang lah menjadi 20%, lalu ada sistem prestasi, itu non-akademik,” imbuhnya.

Selain pengembalian sistem, Pemerintah juga diminta mempertimbangkan untuk mengambil-alih tanggung jawab terhadap siswa-siswa yang tidak diterima di sekolah negeri. Seperti dengan memberi bantuan dana atau subsidi untuk siswa yang akhirnya terpaksa bersekolah di sekolah swasta, khususnya bagi anak dari keluarga kurang mampu.

“Karena banyak sekali keluarga yang terjebak pada masalah biaya pendidikan setelah anaknya tidak diterima di sekolah negeri. Jadi boleh bersekolah di swasta tapi dibiayai oleh negara, itu opsi yang lebih kuat lagi, tetapi nanti ujung-ujungnya adalah kemampuan anggaran negara harus siap," tutur Dede.

Melihat kompleksnya persoalan penerimaan siswa baru, Komisi X DPR tengah mempertimbangkan dibentuknya panitia kerja (Panja) PPDB. Selain untuk mencari solusi terkait sistem penerimaan siswa baru, menurut Dede, Panja PPDB juga bisa bekerja menangani banyaknya temuan pelanggaran yang dilakukan oknum-oknum tertentu.

"Sekarang tugas pemerintah merespons apabila temuan Ombudsman merujuk adanya pelanggaran administratif oleh guru dan pejabat-pejabat terkait. Kita pantau, kalau perlu sehabis reses bikin Panja PPDB," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya