Anggota DPR dari Fraksi PKS Akan Konsultasi ke MK Terkait Putusan Batasan Umur Capres-Cawapres

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Habib Aboe Bakar Alhabsyi mengatakan, pihaknya akan berkonsultasi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait putusan batasan umur calon presiden dan calon wakil presiden di Undang-Undang Pemilu.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 18 Okt 2023, 13:37 WIB
Diterbitkan 18 Okt 2023, 13:37 WIB
Gedung MK
Personil Brimob berjalan melintasi halaman depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (13/6/2019). Mahkamah Konstitusi akan menggelar sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden/Wakil Presiden Pemilu 2019 pada, Jumat (14/6). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Habib Aboe Bakar Alhabsyi mengatakan, pihaknya akan berkonsultasi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait putusan batasan umur calon presiden dan calon wakil presiden di Undang-Undang Pemilu.

“Kita ke MK itu sifatnya konsultasi jadi kami kalau itu bukan MK kita datang, kita datang ke MK itu DPR,” kata dia, di Jakarta, Rabu (18/10/2023).

Aboe menuturkan, hal ini dilakukannya karena menimbulkan pro dan kontra. Dirinya pun berjanji Komisi III DPR bakal memikirkan bagaimana memperbaiki kinerja MK ke depan.

“Adapun ada permasalahan di MK sendiri itu, nanti tugas Komisi III sebagai mitra harus memikirkan bagaimana kerja MK yang terbaik,” kata Sekjen PKS ini.

Meski demikian, dia mengutarakan ini baru bersifat wacana. Semuanya akan dibahas dulu di Komisi III DPR RI secara internal.

“Rapat aja belum, udah nanya kapan,” kilahnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Almas.

MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun, kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

MK menyatakan, bila permohonan sebelumnya seperti Partai Garuda berbeda dengan permohonan yang diajukan mahasiswa UNS ini. Perbedaannya ada pada norma pasal yang dimohonkan.

"Terhadap petitum permohonan dalam perkara-perkara dimaksud dapat dikatakan mengandung makna yang bersifat 'ambiguitas' dikarenakan sifat jabatan sebagai penyelenggara negara tata cara perolehannya dapat dilakukan dengan cara diangkat/ditunjuk maupun dipilih dalam pemilihan umum. Hal ini berbeda dengan yang secara tegas dimohonkan dalam petitum permohonan a quo di mana pemohon memohon ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 17 Tahun 2017 dimaknai 'Berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota'," kata hakim MK.

Saldi Isra Merasa Jengkel

Sebelumnya, Hakim Konstitusi Saldi Isra meluapkan rasa jengkelnya lewat penyampaian perbedaan pendapat atau dissenting opinion dalam sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dikabulkannya uji materil Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu), yakni isi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang berubah frasa menjadi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'.

Saldi Isra kemudian membandingkan amar Putusan a quo dengan petitum yang dimohonkan dalam Perkara Nomor 90/PUU- XXI/2023. Sebagaimana termaktub dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang menyatakan, "Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun", dimaknai menjadi "Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."

Sementara itu, petitum permohonan a quo hanya memohon, "Menyatakan Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 berusia paling rendah 40 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai dengan atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota."

"Secara tekstual, yang dimohonkan bersyarat adalah berusia paling rendah 40 tahun untuk dibuat alternatif atau dipadankan dengan, atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Lalu, mengapa amarnya bergeser menjadi 'atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah?'," ujar Saldi di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023). 

Ada Catatan Tebal

Dalam hal ini, menurut Saldi, adalah benar bahwa frasa "kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota", sebagaimana amar permohonan adalah jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum alias elected official.

Tetapi perlu diberi catatan tebal, lanjut Saldi, tidak semua jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum adalah kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota.

"Berkenaan dengan hal tersebut, pertanyaan mendasar yang tidak boleh tidak harus dimunculkan: bisakah lompatan nalar tersebut dibenarkan dengan bersandar pada hukum acara, yang secara prinsip hakim harus terikat dan mengikatkan dirinya dengan hukum acara?," ucap dia.

"Sependek yang bisa dipahami, hakim dapat sedikit bergeser dari petitum untuk mengakomodasi permohonan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Sepahaman saya, celah untuk sedikit bergeser hanya dapat dilakukan sepanjang masih memiliki ketersambungan dengan petitum alasan-alasan permohonan,”" sambung Saldi.

Hanya saja, kata Saldi, setelah membaca secara menyeluruh Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, alasan permohonan atau petitum pemohon nyatanya jelas hanya bertumpu pada frasa “berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota”. 

 

 

 

Mempertanyakan Mahkamah

Saldi pun mempertanyakan alasan para hakim MK bergerak sejauh itu, lantaran hanya berdasarkan pengalaman Gibran.

"Bahkan, secara kasat mata, permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menggunakan pengalaman sekaligus keberhasilan Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai acuan. Artinya, permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak menyandarkan alasan-alasan permohonannya pada pejabat yang dipilih atau elected official. Dengan adanya lompatan kesimpulan seperti termaktub dalam amar Putusan a quo, tidak salah dan tidak terlalu berlebihan munculnya pertanyaan lanjutan: haruskah Mahkamah bergerak sejauh itu?," Saldi menandaskan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya