Liputan6.com, Jakarta - Politisi Partai Golkar Meutya Hafid menyoroti tantangan pasangan di Indonesia yang bertarung melawan infertilitas. Menurutnya, ada 4,8 juta perempuan di Indonesia yang berjuang melawan kondisi tersebut.
Ketua Komisi I DPR itu mengungkapkan, dirinya termasuk salah satu wanita yang merasakan hal tersebut. Pengalamannya itu pun dituangkan dalam sebuah buku yang dirilisnya, berjudul 'LYORA: Keajaiban yang Dinanti'.
Baca Juga
Dalam buku itu, Ia menceritakan perjalanan pribadinya meraih keajaiban setelah sepuluh kali percobaan bayi tabung. Selain membagikan perasaan putus asa yang mengiringi setiap upaya bayi tabung yang gagal, Meutya juga menyoroti pentingnya perubahan dalam pendekatan masyarakat dan pemerintah terhadap infertilitas.
Advertisement
Perjalanan dimulai pada saat Meutya berumur 37 tahun menjalani program bayi tabung IVF bersama sang suami Noer Fajrieansyah yang sempat mengalami 3 kali hamil, tetapi keguguran dikarenakan janin dan embrio tidak berkembang dengan baik. Di tengah perjuangan pribadi ini, Ia bertemu Dr. dr. Ivan R. Sini, GDRM MMIS FRANZCOG Sp.OG selaku CEO Morula IVF Indonesia, yang memberikan panduan berharga dalam perjalanan ini.
Bersama Dr. Ivan, mereka memutuskan untuk tidak menyerah dan terus mencoba prosedur bayi tabung, diiringi dengan dukungan terus menerus dan pendekatan perawatan yang holistik yang berfokus tidak hanya pada kesehatan fisik tetapi juga pada kesehatan mental dan emosional.
“Alhamdulillah, akhirnya saya berhasil hamil pada usia 44 tahun dan dikarunia putri bernama Lyora Shaqueena Ansyah,” ungkap Meutya, dikutip Senin (13/11/2023).
Berbekal dengan pengalaman berharga tersebut, Ia menjadi lebih vocal tentang perjuangannya dan memutuskan untuk menggunakan pengalamannya untuk membantu banyak pasangan lain yang berharap memiliki buah hati. Ia menyerukan tindakan nyata dan perubahan sikap masyarakat dan pemerintah terhadap infertilitas.
“Masalah fertilitas atau kesuburan hingga saat ini belum termasuk masalah kesehatan yang ditanggung atau dibantu oleh Pemerintah, padahal infertilitas secara resmi telah diakui sebagai penyakit oleh WHO, dan kesehatan reproduksi merupakan hak setiap warga negara. Dengan demikian, sudah seharusnya negara seharusnya hadir untuk mendukung pengobatan infertilitas,” tuturnya.
Alasan Pemerintah Hadir dalam Masalah Infertilitas
Menurut Meutya, ada beberapa alasan mengapa pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit ini menjadi penting. Yang pertama, akses ke perawatan medis yang tepat. Dengan mengakui infertilitas sebagai penyakit, individu yang mengalami masalah kesuburan akan memiliki akses yang lebih baik ke perawatan medis yang tepat.
"Pengakuan ini dapat memastikan bahwa layanan kesehatan yang diperlukan, seperti diagnosis, pengobatan, dan perawatan reproduksi, tersedia dan dapat diakses dengan mudah," ujar dia.
Kedua, peningkatan dukungan psikologis. Infertilitas dapat memiliki dampak emosional yang signifikan pada individu dan pasangan yang mengalaminya. Pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit dapat membantu mengurangi stigma sosial dan meningkatkan dukungan psikologis bagi individu yang mengalami masalah kesuburan.
"Ini dapat melibatkan dukungan kelompok, konseling, dan sumber daya lainnya yang dapat membantu individu dan pasangan menghadapi tantangan emosional yang terkait dengan infertilitas," terang dia.
Advertisement
Dukungan Hukum dan Individu
Kemudian ketiga ialah Perlindungan hukum dan hak individu. Dia menjelaskan, pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit dapat memberikan perlindungan hukum dan hak-hak individu yang mengalami masalah kesuburan.
"Ini dapat mencakup hak untuk mendapatkan perawatan medis yang tepat, perlindungan dari diskriminasi di tempat kerja atau dalam asuransi kesehatan, dan hak untuk mengadopsi atau mengakses teknologi reproduksi seperti In Vitro Fertilization (IVF)".
Selanjutnya peningkatan kesadaran dan edukasi. Menurutnya, pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit dapat membantu meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang masalah kesuburan.
"Ini dapat mengurangi stigma dan kesalahpahaman yang terkait dengan infertilitas, serta meningkatkan pengetahuan tentang opsi perawatan dan dukungan yang tersedia bagi individu yang mengalami masalah kesuburan," kata dia.
Meutya juga mengajak semua pihak untuk bersama-sama memperjuangkan hak-hak pasangan yang sulit mendapatkan keturunan. Dengan memperhatikan isu ini, pemerintah diharapkan dapat lebih aktif dalam menyediakan akses terhadap perawatan infertilitas dan mengakui pentingnya kesehatan reproduksi sebagai hak asasi manusia. Meutya berharap agar bukunya dapat menjadi sumber inspirasi dan pemahaman yang lebih baik tentang perjuangan pasangan yang sulit mendapatkan keturunan di Indonesia.