Liputan6.com, Jakarta - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan pemerintah telah mencapai kesepakatan mengenai daftar inventarisasi masalah (DIM) 31 untuk Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ).
DIM RUU DKJ ini berisi konsep aglomerasi yang menarik untuk Jakarta dan wilayah sekitarnya, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur). Konsep ini mendapat persetujuan oleh anggota DPR dan pemerintah yang hadir dalam rapat.
Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Suhajar Diantoro, yang mewakili pemerintah, menjelaskan bahwa kawasan aglomerasi adalah kawasan yang saling terkait fungsional dan terhubung dengan prasarana yang terintegrasi. Meskipun demikian, wilayah administrasinya tetap berbeda atau otonom.
Advertisement
"Sekalipun berbeda dari segi administrasi, kawasan ini merupakan pusat pertumbuhan ekonomi nasional dengan skala global," ungkapnya.
Sebelumnya, anggota Baleg DPR, Johan Budi Sapto Pribowo, memberikan sorotan terhadap konsep aglomerasi untuk Jabodetabekjur. Ia mengingatkan bahwa daerah-daerah ini berada dalam provinsi yang berbeda-beda.
"Kita harus memilih konsep yang mana ini? Jadi, jika kita memilih yang pertama, maka kita memaknai aglomerasi sebagai hubungan antara Jakarta dengan Depok, Bekasi, dan lain-lain tanpa menghilangkan kewenangan daerah lain," ujar Johan.
Tito Usul Aglomerasi DKJ di Bawah Wewenang Wapres
Sebelumnya, Menteri Dalam Negri (Mendagri) Tito Karnavian mengungkapkan bahwa Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) akan membahas aglomerasi Jakarta dan wilayah sekitarnya. Menurutnya, hal ini perlu dijelaskan dengan lebih terperinci agar tidak terjadi banyak kesalahpahaman.
"Pemerintah telah mengambil langkah awal secara proaktif dengan menjelaskan isu aglomerasi ini sejak bulan April, agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berlebihan. Namun, sayangnya, kami melihat bahwa masih banyak kesalahpahaman yang terjadi. Akhirnya, saat itu disepakati untuk menyebutnya sebagai kawasan aglomerasi," ujar Tito Karnavian dalam rapat kerja Komisi II DPR, Rabu (13/2/2024).
Tito menjelaskan bahwa harmonisasi kawasan aglomerasi perlu dilakukan mengingat adanya banyak masalah dan program yang saling berkaitan, salah satunya adalah banjir.
"Prinsip dari kawasan ini adalah adanya harmonisasi dalam perencanaan dan evaluasi program secara teratur, agar tetap berjalan sesuai dengan rencana. Namun, untuk mencapai hal ini, perlu ada pihak yang bertanggung jawab dalam melakukan sinkronisasi ini. Tidak cukup hanya satu menteri, misalnya Bappenas, atau satu Menteri Koordinator, ini melibatkan berbagai sektor," kata Mendagri.
Oleh karena itu, Tito mengusulkan agar wewenang program harmonisasi aglomerasi Jakarta atau DKJ berada di bawah tanggung jawab Wakil Presiden (Wapres), karena tugas Presiden sudah sangat banyak.
"Presiden memiliki tanggung jawab nasional yang sangat luas, maka perlu ditangani secara lebih spesifik oleh Wapres. Hal ini mirip dengan apa yang kita lakukan di Papua, di mana Badan Percepatan Pembangunan Papua dibentuk," tambahnya.
Advertisement
Jakarta Tak Bisa Sendiri, Butuh Aglomerasi
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, menjelaskan mengapa Dewan Aglomerasi yang akan dipimpin oleh Wakil Presiden menjadi penting dalam usulan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ).
Menurutnya, Jakarta perlu menjadi provinsi yang memiliki nilai tambah yang tinggi agar dapat bersaing sebagai kota global.
Mardani menjelaskan bahwa Jakarta harus melakukan perbaikan dan berkoordinasi dengan wilayah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi agar dapat bersaing dengan kota-kota metropolitan lainnya.
Kondisi Jakarta saat ini sangat kompleks, oleh karena itu kerjasama dengan wilayah penyangga Jabodetabek diperlukan untuk menangani masalah banjir, sampah, dan kemacetan transportasi.
Alasan Aglomerasi Jakarta di Bawah Wapres
Kebijakan di setiap daerah otonom sering kali terhambat oleh aturan dan batasan-batasan. Akibatnya, diperlukan koordinasi yang lebih tinggi dari tingkat Pemerintah Daerah (Pemda).
"Hasilnya seperti yang terjadi sekarang, TransJakarta hanya sampai di Cakung dan tidak bisa mencapai Bekasi. Orang-orang di Bekasi tetap menggunakan mobil, sedangkan di selatan, TransJakarta hanya sampai di Lebak Bulus dan tidak bisa mencapai Ciputat," ujar dia.
"Oleh karena itu, diperlukan aturan yang menciptakan koordinasi, sehingga terbentuklah kawasan aglomerasi. Ketika koordinasi dimulai, diperlukan struktur yang lebih tinggi untuk membantu menjembatani permasalahan tersebut," lanjutnya.
Sementara itu, terkait alasan Wakil Presiden yang akan memimpin Dewan Kawasan Aglomerasi, menurutnya hal itu disebabkan oleh adanya masalah yang melibatkan berbagai sektor kementerian.
"Kenapa Wakil Presiden? Karena banyak kementerian yang terlibat, seperti Kementerian PUPR, Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, dan juga Menko," tegas Mardani Ali Sera.
Advertisement