Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan dalam gugatan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024 yang dilayangkan Anies Baswedan- Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Salah satu yang dibahas adalah perihal dugaan politik uang yang dilakukan Gus Miftah, dalam rangka mendukung Prabowo-Gibran.
Ketua MK Suhartoyo menyampaikan, pihaknya telah mendalami bukti video yang diberikan, berupa tayangan berita memuat kegiatan bagi-bagi uang Gus Miftah di daerah Pamekasan.
Baca Juga
"Tayangan video yang dijadikan bukti merupakan rekaman berita Metro TV yang memberitakan Gus Miftah yang membagikan uang dengan gambar Prabowo terbentang di belakang Gus Miftah,” tutur Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta, Senin (22/4/2024).
Advertisement
Dalam tayangan video itu juga terdapat klarifikasi dari Sekretaris TKN Prabowo-Gibran, Nusron Wahid yang menjelaskan bahwa Gus Miftah bukanlah relawan, anggota, pengurus politik, atau pun tim kampanye. Sehingga aktivitas bagi-bagi uang itu dinilai sebagai kegiatan pribadi.
Menurut Suhartoyo, bukti video yang diajukan tidak cukup meyakinkan telah terjadi politik uang.
"Tayangan video yang dijadikan bukti pemohon menurut mahkamah tidak cukup meyakinkan mahkamah bahwa benar tayangan video dimaksud merupakan politik uang yang mengajak orang untuk memilih Prabowo hanya karena ada orang yang membentangkan baju bergambar Prabowo," jelas dia Suhartoyo.
Selain itu, hasil kajian dari Bawaslu Pamekasan pun menyebut bahwa dugaan pelanggaran pemilu Gus Miftah tidak dapat ditindaklanjuti. MK pun turut mencermati pendalaman dari lembaga tersebut.
"Hasilnya adalah dugaan pelanggaran oleh Gus Miftah tidak dapat ditindaklanjuti karena kegiatan di rumah Chairul Umum bukan termasuk kegiatan kampanye yang dimaksud UU Pemilu dan Gus Miftah bukan merupakan tim kampanye pasangan calon nomor urut 2," katanya.
"Berdasarkan fakta-fakta hukum di atas, menurut Mahkamah dalil pemohon terkait dengan politik uang yang dilakukan oleh Gus Miftah di Kabupaten Pamekasan tidak ada relavansinya dengan kegiatan kampanye sebagaimana dimaksud UU Pemilu, dengan demikian menurut mahkamah dalil Pemohon terjadi politik uang yang dilakukan Gus Miftah tidak beralasan menurut hukum," sambung Suhartoyo.
Beda Pendapat Hakim Arief Hidayat
Sementara itu, hakim konstitusi Arief Hidayat menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024. Menurutnya, telah terjadi pelanggaran Pemilu secara terstruktur dan sistematis yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi beserta seluruh elemen pemerintah lainnya demi memenangkan salah satu paslon di Pilpres 2024.
“Apa yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi dengan dengan segenap struktur politik kementerian dan lembaga dari tingkat pusat hingga level daerah telah bertindak partisan dan memihak calon pasangan tertentu,” tutur Arief di Gedung MK, Jakarta, Senin (22/4/2024).
Arief mengingatkan, dalam menjalankan fungsi pemerintah, seluruh organ negara haruslah tunduk pada prinsip konstiusionalisme yang ditentukan dalam konstitusi, dan dipagari oleh prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi alias checks and balances) antar cabang kekuasaan negara.
Seluruhnya demi memastikan bahwa setiap tindakan, prosedur, dan keputusan yang terkait dengan proses pemilu telah sejalan dengan hukum dan undang-undang, sehingga tercipta tujuan bernegara sebagaimana alinea keempat pembukaan UUD 1945.
“Tak boleh ada peluang sedikit pun bagi cabang kekuasaan tertentu untuk cawe-cawe dan memihak dalam proses Permilu Serentak 2024. Sebab, dia dibatasi oleh paham konstitusionalisme dan dipagari oleh rambu-rambu hukum positif, moral, dan etika,” jelas dia.
Advertisement
Jokowi Cederai Pilpres dan Pemilu 2024
Yang telah dilakukan pemerintahan Jokowi, sambung Arief, telah mencederai Pilpres dan Pemilu 2024. Hal itu berpotensi berdampak pada sikap abuse of power dan abuse of ethics di kemudian hari.
“Tindakan ini secara jelas telah menciderai sistem keadilan Pemilu (electoral justice) yang termuat tidak hanya di dalam berbagai instrumen hukum internasional, tetapi juga diadopsi di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mensyaratkan bahwa penyelenggaraan Pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil,” ungkapnya.
“Pada titik inilah pemerintah telah melakukan pelanggaran Pemilu secara terstruktur dan sistematis,” Arief menandaskan.