Liputan6.com, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden atau revisi UU Wantimpres. Usulan ini pun sudah disahkan dalam rapat paripurna pada Kamis 11 Juli 2024 dipimpin Wakil Ketua DPR Lodewijk Freidrich Paulus.
Dalam revisi UU tersebut, akan mengubah nomenklatur yang semula merupakan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Selain itu, dalam RUU Wantimpres jumlah anggota yang dipilih Presiden nantinya tidak terbatas.Â
Baca Juga
Adapun keputusan revisi tersebut sebelumnya telah disepakati sembilan fraksi DPR dalam rapat pleno atau pengambilan keputusan yang digelar Badan Legislatif DPR pada Selasa, 9 Juli 2024. Penyusunan revisi UU Wantimpres hanya membutuhkan waktu satu hari di Baleg dan langsung dibawa ke paripurna sehingga terkesan kilat.
Advertisement
Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas memastikan bahwa poin-poin yang ada dalam RUU itu tidak akan mengubah fungsi dari Wantimpres atau yang kemudian menjadi Dewan Pertimbangan Agung.
Menurutnya usulan adanya RUU tersebut berasal dari fraksi-fraksi. "Perubahan yang ada di sini itu hanya terkait dengan perubahan nomenklatur, yang tadinya itu adalah Dewan Pertimbangan Presiden, sekarang menjadi Dewan Pertimbangan Agung," tutur dia.
Namun, kenyataannya tidak demikian. Selain Pasal 1 yang berisi soal perubahan dari Wantimpres menjadi DPA, ada pula perubahan pada Pasal 2 yang menjadikan DPA menjadi lembaga negara.
Pasal dalam draf RUU tersebut mengubah ketentuan pasal kedua UU Wantimpres yang menyebut Wantimpres berkedudukan di bawah presiden. "Dewan Pertimbangan Agung adalah lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," bunyi draf pasal tersebut.
Perubahan juga terjadi pada Pasal 7 bahwa DPA terdiri dari ketua yang merangkap anggota dan beberapa orang anggota yang jumlahnya ditetapkan presiden. Pasal tersebut mengubah ketentuan dalam UU Wantimpres yang saat ini berlaku yang mengatur Wantimpres beranggotakan delapan orang.
"Dewan Pertimbangan Agung terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota dan beberapa orang anggota yang jumlahnya ditetapkan sesuai dengan kebutuhan Presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan," demikian bunyi draf Pasal 7 Ayat 1 di RUU tersebut.
Revisi juga menghapus Pasal 12, ayat 1d, yang melarang anggota DPA merangkap pengurus partai politik, pemimpin ormas, lembaga swadaya masyarakat, yayasan, BUMN, atau swasta, dan pejabat struktural di perguruan tinggi.Â
Sementara, dalam UU Wantimpres yang masih berlaku hal tersebut tak diperbolehkan.
"Anggota Dewan Pertimbangan Agung tidak boleh merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. pejabat struktural pada instansi pemerintah; dan c. pejabat lain," demikian bunyi Pasal 12 Ayat (1) yang masih berlaku.
Revisi UU tersebut juga menghapus syarat anggotanya memiliki keahlian tertentu. Saat ini RUU tersebut hanya merinci tujuh syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota DPA.Â
Berikut ketujuh persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi DPA berdasarkan pasal 8 draf RUU Wantimpres tersebut:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
d. mempunyai sifat kenegarawanan;
e. sehat jasmani dan rohani;
f. jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
g. tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Isi dalam draf pasal itu berbeda dengan UU Wantimpres saat ini. Dalam UU Wantimpres yang masih berlaku seorang anggota Wantimpres harus memiliki keahlian tertentu di bidang pemerintahan.
Kemudian, ada kalimat tambahan dalam Pasal 9 ayat 4 RUU Wantimpres. Ayat tersebut mengatur status anggota DPA sebagai pejabat negara. Ayat keempat tersebut adalah tambahan ayat dari UU Wantimpres pasal 9 yang masih berlaku.
"Anggota Dewan Pertimbangan Agung merupakan pejabat negara," bunyi ayat tambahan dalam draf RUU tersebut.
Bukan Usulan Prabowo
Supratman membantah adanya perubahan UU Wantimpres karena adanya permintaan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
"Enggak ada (permintaan dari Prabowo), itu kita, kita berpikiran bahwa yang begini-begini tidak perlu ada limitasi, kita serahkan kepada presiden karena kita menganut sistem presidensial," kata Supratman.
Dia mengaku, pihaknya ingin mengembalikan sistem negara Indonesia dengan Revisi UU Wantimpres.
"Nah sekarang kalau dulu awal-awal reformasi itu kan parlemen heavy, semuanya parlemen harus ini, padahal sistem kita adalah sistem presidensial. Harusnya di presiden yang menjadi pusat segala sesuatunya sehingga lebih mudah untuk meminta pertanggungjawaban terkait pelaksanaan program pembangunan," tuturnya.
Lebih lanjut, ketika ditanya apakah nantinya ada aturan agar Dewan Pertimbangan Agung diisi oleh mantan Presiden, Supratman menjawab jika hal itu merupakan kewenangan presiden nantinya.
"Saya tidak tahu kalau itu. Sekali lagi kalau itu tanyakan ke presiden, saya buatnya membuat regulasi soal siapa dan kriterianya yang kami tentukan, orangnya siapa, latar belakangnya apa kami tidak tahu," pungkasnya.
DPA Jadi Setara Presiden
Revisi UU Wantimpres selain mengubah nomenklatur juga mengubah kedudukannya. Pasal 2 dalam draf revisi UU Wantimpres menyebutkan, DPA sejajar dengan lembaga negara lain sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sehingga menurut Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Yusril Ihza Mahendra, kedudukan DPA menjadi setara dengan presiden.Â
"Kedudukannya sejajar sebagai sesama lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 45 dan kewenangannya diberikan oleh UUD 45 tersebut," kata Yusril kepada Liputan6.com.
Namun Yusril mengatakan tak ada persoalan mendasar terkait perubahan nomenklatur Wantimpres menjadi DPA. Mulanya, Yusril menjelaskan sejarah pembentukan Wantimpres pada era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Tahun 2006, dalam posisi sebagai Menteri Sekretaris Negara, saya ditugasi Presiden SBY untuk mewakili Presiden membahas RUU tentang Wantimpres itu dengan DPR hingga selesai. Dalam teks UU Nomor 19 Tahun 2006 itu tercantum tanda tangan pengesahan dari Presiden SBY dan tanda tangan saya selaku Menteri Hukum dan HAM Ad Interim yang mengundangkan UU itu dalam Lembaran Negara," kata Yusril dalam keterangannya, Selasa (16/7/2024).
Menurut Yusril, polemik revisi UU Watimpres tidak substantif. Ia menyebut pembicaraan terkait revisi UU itu ialah soal pergantian nomenklatur dari Wantimpres kemudian kembali menjadi DPA menurutnya bukan hal yang perlu diperdebatkan.Â
"Perubahan dalam RUU yang diajukan DPR ini pada hemat saya memang tidak substansial jika dikaitkan hanya dengan nomenklatur dan berapa jumlah serta syarat untuk menjadi anggotanya. Apa yang substansial adalah perubahan kedudukan dewan pertimbangan itu dari semula berada di bawah Presiden sebagaimana disebutkan dalam UU Wantimpres menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya," ujar dia.
Menurut Yusril, DPA diatur dalam Bab IV UUD 1945 sebelum amandemen dan digolongkan sebagai lembaga tinggi negara. Namun, Bab IV yang mengatur DPA dalam konstitusi itu dihapus saat amandemen. Dengan begitu, Wantimpres yang ada saat ini berada di bawah presiden, bukan sebagai lembaga negara.
"Tetapi Pasal 16 yang mengatur tentang DPA dan berada di bawah Bab itu tetap ada namun diubah sehingga berbunyi, 'Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang'. Apa nama dewan pertimbangan yang dibentuk oleh presiden itu, tidak ada nomenklaturnya di dalam UUD 45 hasil amandemen," kata dia.
Yusril menjelaskan, UU Nomor 19 Tahun 2006 menamakannya 'Dewan Pertimbangan Presiden' dan menempatkan lembaga itu di bawah presiden.Â
"Itulah tafsir yang berkembang saat itu. Pemikirannya adalah karena DPA sebagai 'lembaga negara' dihapuskan oleh amandemen, maka kedudukan Wantimpres ditempatkan berada di bawah Presiden sebagai lembaga pemerintah," kata dia.
Terkait revisi UU Wantimpres saat ini yang menempatkan DPA sejajar dengan lembaga-lembaga negara lain, hal itulah perubahan substansial yang membedakan antara Wantimpres dengan DPA.
"Kewenangan presiden membentuk lembaga untuk memberikan pertimbangan dan nasihat kepadanya dengan tegas diberikan oleh Pasal 16 UUD 1945," pungkasnya.
Sementara Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Muzani, menyatakan bahwa revisi UU Wantimpres bertujuan untuk mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial. Ia menjelaskan bahwa perubahan nomenklatur menjadi Dewan Pertimbangan Presiden (DPA) dan penunjukan langsung anggota oleh Presiden, tanpa batasan, merupakan upaya penyempurnaan sistem pemerintahan yang berlaku.
"Ini bagian dari mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial," tegas Muzani di Kompleks Parlemen.
"Menguatkan sistem pemerintahan presidensial sebagai sistem pemerintahan yang sudah kita pilih maka sebagai lembaga yang dipilih langsung oleh rakyat, presiden merasa perlu untuk melakukan penyempurnaan atas sistem tersebut," tambahnya.
Muzani menegaskan bahwa revisi ini hanya bersifat nomenklatural, tanpa mengubah fungsi dan kedudukan lembaga. Sehingga tidak akan melemahkan fungsi pengawasan parlemen.
"Itu lebih ke merupakan kesan ada sebuah nomenklatur yang berubah, tapi fungsi dan kedudukannya hampir sama dengan Wantimpres atau sama dengan Wantimpres," jelasnya.
Terkait status dan kedudukan DPA, Muzani menyatakan bahwa hal ini masih dalam proses pembahasan di parlemen. "Nanti akan dikaji lagi. Kita tunggu pembahasan karena itu masih dalam proses pembahasan," katanya.
Berbahaya Bagi Presiden Terpilih?
Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai revisi UU Wantimpres ini berbahaya untuk Presiden terpilih Prabowo Subianto. Sebab ia berpotensi dikendalikan oleh DPA.Â
"Bagi presiden terpilih ini juga berbahaya karena presiden tidak lagi dimurnikan kekuasaannya. DPA berpotensial mengendalikan atau memberikan masukan yang sebenarnya lebih mirip pengarahan terhadap presiden terpilih," kata Feri kepada Liputan6.com.
Dia pun menegaskan, usulan Baleg DPR ini tak sesuai dengan UUD 1945 dan cenderung melanggar serta bertentangan terhadap konstitusi.
DPA sebelumnya pernah diatur dalam Bab IV UUD 1945 sebelum amandemen dan digolongkan sebagai lembaga tinggi negara. Namun, Bab IV yang mengatur DPA dalam konstitusi itu dihapus saat amandemen. Penghapusan ini untuk mengefisiensi dan mengefektifitaskan pemurnian sistem presidensial.
"Oleh karena itu DPA dihapuskan dan presiden melalui undang-undang akan diberikan wewenang untuk membentuk Wantimpres yang berada di bawah kuasa presiden atau bagian staf presiden di Istana Negara," kata dia.
Karena itu, Feri melihat adanyanya kejanggalan soal perubahan tersebut, terlebih mendekati akhir masa jabatan presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Apalagi, ada kecurigaan DPA menjadi Lembaga baru. "Melakukan perubahan yang menyebabkan tidak lagi DPA berada di bawah kewenangan presiden, tetapi ada di lembaga sendiri atau negara baru," jelas dia.
Sementara Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai menempatkan DPA sebagai lembaga negara tidak jadi persoalan secara konstitusi selama statusnya setara dengan kementerian, sehingga tetap berada dalam kendali Presiden.
"Meskipun, dari sisi efisiensi jelas ini tidak efisien dan potensial pemborosan, dari sisi anggaran sekaligus boros struktur. Sehingga, akan baik jika dikaji ulang atau ditutup diskusinya dengan tidak perlu menghadirkan DPA, tetapi cukup adanya Wantimpres," kata Dedi kepada Liputan6.com.
Namun, jika DPA menjadi lembaga negara selayaknya MK atau MA justru berbahaya bagi kedaulatan dan kekuasaan Presiden. DPA bisa saja akan membuat Presiden seolah sebagai perdana menteri yang sebatas kepala pemerintahan, bukan kepala negara.
"Wacana semacam ini miliki potensi membuat tata kelola pemerintah terganggu, jangan sampai ada campur tangan Presiden saat ini untuk mengatur pemerintahan di era Presiden mendatang," kata dia.
Ia menilai sejauh ini revisi UU Wantimpres lebih banyak motif kekuasaan Presiden Jokowi.
"Semisal menempatkan Jokowi pada posisi yang tetap berkuasa meskipun tidak lagi sebagai Presiden. Urgensi untuk bangsa cenderung nihil," kata Dedi.
Pengamat Politik dari Ethical Politics, Hasyibulloh Mulyawan menilai revisi UU Watimpres ini tidak ada perubahan fungsi yang fundamental, namun hanya perubahan nomenklatur saja, yang awalnya dewan pertimbangan presiden dan diposisikan di bawah presiden, menjadi Dewan Pertimbangan Agung sebagai sebuah lembaga negara.
Sehingga kedudukan DPA ini akan sejajar dengan DPR dan lembaga tinggi negara lainnya seperti presiden, dan Mahkamah Agung (MA).
"DPA kedepan akan berfungsi memberikan pertimbangan maupun usulan pada Pemerintah. Justru perlu dikaji urgensi mengubah nomenklatur jika fungsi masih sama dan tidak berubah," kata Hasyubulloh kepada Liputan6.com.
Menurut dia, masyarakat perlu tahu dan memperoleh manfaat lebih dengan adanya perubahan nomenklatur ini.
"Katakanlah anggota Dewan Pertimbangan Agung ke depan adalah mantan-mantan Presiden Republik Indonesia, dan akan membawa kemaslahatan lebih dari sisi masukan dan pengalaman maupun usulan pemerintahan ke depan, nomenklatur Dewan Pertimbangan Agung akan membawa marwah lembaga negara ini di mata publik," ujar dia.
Advertisement
Pro Kontra Revisi UU Wantimpres
Revisi UU Wantimpres ini menjadi pro-kontra. Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat, menilai sangat berbahaya jika RUU Wantimpres hanya untuk mengakomodir kepentingan bagi-bagi jabatan.
"Nanti masyarakat yang bisa menilai, dan berbahaya kalau seumpama memang betul itu digunakan untuk bagi-bagi jabatan dan tidak dilakukan secara merit sistem meritokrasi," kata dia di Jakarta.
Apalagi, lanjut Djarot, bila ada kepentingan bagi-bagi jabatan dibalik RUU Wantimpres, maka hal akan sangat membahayakan demokrasi.
"Jika demikian ini sangat berbahaya mengancam kehidupan demokrasi kita ke depan," ujar Djarot.
Sementara Wakil Ketua MPR Sjarifuddin Hasan tidak mempermasalahkan rencana DPR RI untuk mengubah nomenklatur Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Adapun mengenai jumlah anggota DPA dan siapa yang masuk dalam DPA, Syarief Hasan mengatakan diserahkan sepenuhnya kepada presiden terpilih, Prabowo Subianto.Â
"Kalau menurut RUU-nya seperti itu. Tetapi kembali lagi semuanya tergantung pada presiden terpilih karena DPA ini menjadi bagian dari pemerintahan," kata Syarief dalam keterangannya, Senin (15/7/2024).
Politikus senior Partai Demokrat itu menilai perubahan nomenklatur Wantimpres menjadi DPA tidak ada masalah, sebab merupakan bagian dari pemerintahan yang akan datang.
"Jadi berapa banyak anggota DPA dan siapa saja yang masuk menjadi anggota DPA tergantung presiden terpilih. Silakan saja karena ada undang-undang yang mengatur soal DPA ini," katanya.
Meski DPA memang pernah dipakai pada masa Orde Baru, tapi Syarief meyakini bahwa bukan berarti pemerintahan mendatang kembali ke pola Orba. "Perubahan nomenklatur dari Wantimpres menjadi DPA hanya soal institusi yang sudah diatur dengan undang-undang dan tidak dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan pada masa Orde Baru," jelasnya.
Terkait wacana keberadaan DPA akan diisi mantan-mantan presiden atau wakil presiden, Syarief Hasan kembali menyatakan semua tergantung pada presiden terpilih, Prabowo Subianto.
"Sekali lagi semua tergantung pada presiden terpilih karena DPA adalah lembaga yang berada di bawah presiden," pungkasnya.
Infografis Bedanya Wantimpres dengan DPA
Advertisement