Bodoh dan Miskin Tidak Diwariskan, Gus Baha Ungkap Buktinya

Menurut Gus Baha, banyak orang yang berasal dari latar belakang kurang beruntung, namun anak-anak mereka berhasil meraih kesuksesan. Seorang ayah yang tidak tamat sekolah bisa memiliki anak yang menjadi dosen atau bahkan dekan.

oleh Liputan6.com Diperbarui 28 Mar 2025, 14:30 WIB
Diterbitkan 28 Mar 2025, 14:30 WIB
Gus Baha 1
KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha. (SS TikTok)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Kehidupan manusia selalu diwarnai dengan berbagai tantangan. Namun, ada satu hal yang patut disyukuri, yaitu kesempatan untuk bertaubat. Kesempatan ini menjadi pintu bagi siapa saja untuk memperbaiki diri dan meninggalkan keburukan di masa lalu, walau dia pelaku maksiat atau jahat sekalipun.

Di Indonesia, tidak jarang ditemukan seorang ayah dengan masa lalu kelam, namun anak-anaknya justru tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa kebodohan dan kemaksiatan bukan sesuatu yang diwariskan. Seorang ayah yang pernah melakukan kesalahan bisa mendidik anaknya agar tidak mengulangi jejak yang sama.

Ulama ahli tafsir asal Rembang KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha, menjelaskan bahwa keberkahan dalam hidup adalah ketika seseorang mampu mengajarkan nilai-nilai kebaikan kepada anak-anaknya. Orang tua yang tidak memiliki kesempatan menuntut ilmu bisa berusaha agar keturunannya memiliki pendidikan yang lebih baik.

"Dalam Islam, kebodohan itu tidak diwariskan. Kalau seorang bapak bodoh, dia bisa berpesan kepada anaknya: ‘Wis le, Bapak tok sing bodoh, koe ojo bodoh.’ Begitu juga dengan orang miskin, dia akan berusaha agar anaknya tidak mengalami nasib yang sama," ujar Gus Baha dalam ceramahnya yang dikutip dari tayangan video di kanal YouTube @MuhammadNurBinYusuf.

Dalam video itu, Gus Baha menjelaskan bagaimana Islam mengajarkan seseorang untuk selalu bersyukur atas segala nikmat, meskipun dalam keterbatasan.

Menurut Gus Baha, banyak orang yang berasal dari latar belakang kurang beruntung, namun anak-anak mereka berhasil meraih kesuksesan. Seorang ayah yang tidak tamat sekolah bisa memiliki anak yang menjadi dosen atau bahkan dekan. Ini terjadi karena manusia selalu memiliki keinginan untuk memperbaiki keturunannya.

 

Promosi 1

Mengukur Keberkahan Hidup

Ilustrasi bersyukur, Islami
Ilustrasi bersyukur, Islami. (Photo by ekrem osmanoglu on Unsplash)... Selengkapnya

Ia juga menekankan bahwa keberkahan hidup tidak diukur dari seberapa kaya atau sukses seseorang, melainkan dari kesadaran untuk selalu bersyukur dan berusaha memperbaiki keadaan. Orang yang bekerja sebagai pengemudi ojek online, misalnya, masih memiliki banyak hal yang bisa disyukuri dibanding mereka yang kehilangan anggota tubuh atau mengalami keterbatasan fisik.

"Kalau kita punya kaki dua, tangan dua, lalu melihat orang lain yang tidak memiliki itu, kita akan merasa bersyukur. Meskipun hidup sederhana, kita masih diberikan nikmat yang luar biasa," lanjut Gus Baha.

Begitu juga dalam hal melihat orang yang hidup dalam kemaksiatan. Seorang Muslim diajarkan untuk bersyukur karena dirinya terselamatkan dari perbuatan yang dilarang oleh agama. Ini menjadi salah satu bentuk kebahagiaan dalam Islam yang seringkali diabaikan oleh banyak orang.

Dalam Islam, seseorang tidak boleh merasa rendah diri hanya karena pekerjaannya sederhana atau hidupnya tidak semewah orang lain. Sebaliknya, seseorang harus selalu melihat ke arah yang lebih rendah agar bisa lebih bersyukur.

Gus Baha mengingatkan bahwa Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk melihat sisi nikmat dalam kehidupan, bukan hanya fokus pada kekurangan atau kesulitan yang dihadapi. Dengan cara ini, seseorang bisa menjalani hidup dengan penuh rasa syukur dan kebahagiaan.

Ia juga mencontohkan bagaimana Rasulullah SAW selalu memberikan motivasi kepada para sahabatnya untuk terus memperbaiki keadaan mereka. Tidak ada dalam ajaran Islam yang menyebutkan bahwa nasib buruk seseorang harus diwariskan ke anak cucunya.

 

Lihat Hidup Lebih Positif

Ilustrasi bersyukur, Islami
Ilustrasi bersyukur, Islami. (Photo by Junior REIS on Unsplash)... Selengkapnya

Sebaliknya, Islam mendorong setiap orang untuk menjadi lebih baik dan meninggalkan jejak kebaikan bagi generasi berikutnya. Seorang ayah yang dulunya tidak bisa mengaji, misalnya, bisa mengajarkan anaknya untuk menjadi penghafal Al-Qur'an agar generasi selanjutnya lebih dekat dengan agama.

Konsep ini telah diterapkan oleh banyak keluarga Muslim. Tidak sedikit orang yang dulunya hidup dalam kemiskinan, tetapi anak-anaknya mampu meraih pendidikan tinggi dan mencapai kesuksesan. Semua itu terjadi karena adanya usaha dan doa dari orang tua mereka.

Gus Baha menegaskan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperbaiki diri. Islam tidak mengenal istilah "garis keturunan buruk" yang tidak bisa diubah. Selama seseorang berusaha, maka Allah akan memberikan jalan keluar terbaik baginya.

Ia juga menambahkan bahwa seseorang tidak boleh berputus asa dalam hidup. Tidak peduli seberapa sulit masa lalunya, selalu ada peluang untuk menjadi lebih baik dan memperbaiki keturunan agar mereka tidak mengulang kesalahan yang sama.

Dengan pemahaman ini, setiap Muslim diharapkan bisa melihat hidup dengan cara yang lebih positif. Tidak perlu iri dengan keberhasilan orang lain, tetapi fokus pada usaha untuk memperbaiki diri dan memberikan yang terbaik bagi keluarga.

"Jangan sampai kita merasa tidak punya harapan. Setiap orang punya kesempatan untuk berubah dan membawa keturunannya menuju kehidupan yang lebih baik," pungkas Gus Baha.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya