Liputan6.com, Jakarta - Dokter spesialis anak Dian Sulistya Ekaputri mengungkapkan Triple Burden Malnutrition menjadi tantangan yang masih harus dihadapi pemerintah saat ini.
"Triple Burden Malnutrition mencakup kekurangan gizi, gizi berlebih, dan kekurangan mikronutrien," ujar Dian melalui keterangan tertulis, Kamis (10/10/2024).
Baca Juga
Ia menyebut kekurangan gizi seringkali terlihat pada anak-anak dengan stunting atau wasting (berat badan sangat rendah).
Advertisement
Selain masalah fisik, kata Dian, anak-anak yang mengalami kekurangan gizi dapat menghadapi risiko perkembangan mental yang terhambat, serta masalah kesehatan yang serius.
Sementara, lanjut dia, gizi berlebih akibat dari konsumsi makanan tinggi kalori tetapi rendah gizi ini sering mengarah pada obesitas, diabetes, dan berbagai penyakit tidak menular lainnya.
"Hal ini tidak terlepas dari perubahan gaya hidup dan pola makan yang lebih terfokus pada makanan cepat saji dan rendah nutrisi," papar Dian.
Mengatasi hal itu, lanjut dia, diperlukan sumber asupan yang dapat memenuhi gizi yang dibutuhkan untuk mengatasi persoalan nutrisi tersebut. Salah satu asupan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi tersebut adalah susu.
Dian mengatakan, susu memiliki sejumlah manfaat. Dia mencontohkan susu formula dan pertumbuhan yang mengandung banyak nutrisi yang dibutuhkan anak untuk tumbuh kembang secara optimal seperti zat besi dan vitamin C.
"Susu pertumbuhan ada juga yang dilengkapi dengan IronC, yaitu kombinasi unik zat besi dan vitamin C, yang dapat mendukung penyerapan zat besi hingga 2 kali lipat," kata Dian.
Â
Manfaat Susu Formula
Dian menjelasakan manfaat susu formula juga dapat mendukung perkembangan intelegensi yang dibutuhkan di masa pertumbuhan seperti kemampuan belajar, kreativitas, hingga kemampuan dalam memecahkan masalah.
"Nutrisi yang terkandung dalam susu formula dapat memberikan dukungan yang dibutuhkan untuk kemampuan belajar, kreativitas, dan pemecahan masalah," jelas Dian.
Sebelumnya, antibiotik sering dianggap sebagai 'penyelamat' saat tubuh terserang infeksi bakteri. Namun, tahukah kamu bahwa mengonsumsi antibiotik sembarangan tanpa resep dokter dapat memicu masalah kesehatan yang lebih serius?
Salah satu dampak paling berbahaya dari minum antibiotik sembarangan dan tidak tepat adalah munculnya bakteri yang resisten atau kebal terhadap obat. Ketika hal ini terjadi, pengobatan menjadi lebih sulit dan infeksi semakin berbahaya.
Â
Advertisement
Apa yang Dimaksud Resistensi Antibiotik?
Resistensi antibiotik adalah kondisi ketika bakteri dalam tubuh tidak lagi bisa diatasi oleh antibiotik yang biasanya digunakan untuk membunuhnya.
Menurut Juru Bicara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH, salah satu penyebabnya adalah penggunaan antibiotik yang tidak sesuai aturan.
Contohnya, mengonsumsi antibiotik tanpa resep dokter, salah dosis, atau tidak menghabiskan obat sesuai anjuran. "Ada orang yang minum obat antibiotika-nya hanya sehari sekali.
Padahal, dosis yang seharusnya diminum itu tiga kali sehari. Maka, bakterinya jadi resisten, kebal," kata Syahril seperti dikutip dari Sehat Negerikupada Senin, 7 Oktober 2024.
Ketika bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik, tubuh tidak bisa lagi melawan infeksi dengan cara yang sama. Bakteri dapat berkembang biak, menyebar, dan menjadi lebih ganas.
Salah satu contoh nyata adalah tuberkulosis resisten obat, yang dikenal sebagai Multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB).
Â
Lini Pertama yang Biasanya Digunakan
MDR-TB terjadi ketika bakteri penyebab tuberkulosis (TB) menjadi kebal terhadap obat-obatan lini pertama yang biasanya digunakan. Lalu, apakah TB yang resistan terhadap obat masih bisa disembuhkan?
MDR-TB muncul saat bakteri tuberkulosis tidak lagi dapat dibunuh oleh obat-obatan lini pertama seperti rifampisin, isoniazid (INH), etambutol, dan pirazinamid. Pengobatan TB standar biasanya berlangsung selama enam bulan dan terdiri dari dua tahap.
Pada tahap awal, yaitu dua bulan pertama, pasien harus mengonsumsi empat jenis obat tersebut setiap hari. Selanjutnya, selama empat bulan berikutnya, pengobatan dilanjutkan dengan dua jenis obat saja. Namun, resistensi terjadi jika pasien tidak disiplin dalam mengonsumsi obat sesuai petunjuk.
Jika obat hanya diminum selama satu bulan, atau bahkan hanya dua minggu, Syahril menegaskan bahwa bakteri TB dapat menjadi kebal, sehingga pengobatannya menjadi jauh lebih sulit.
Meski terdengar mengkhawatirkan, kabar baiknya adalah TB yang resistan terhadap obat masih bisa disembuhkan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), MDR-TB dapat diatasi dengan menggunakan obat-obatan lini kedua.
Namun, pengobatan ini lebih rumit karena melibatkan obat-obatan yang lebih mahal dan sering kali memiliki efek samping yang lebih berat dibandingkan dengan pengobatan lini pertama.
Advertisement