Akademisi Bedah Teori Denny JA Tentang Agama dan Pembangunan Berkelanjutan

Ia menyoroti bagaimana teori agama Denny JA mampu mengakomodasi perubahan sosial akibat globalisasi dan revolusi digital.

oleh Jonathan Pandapotan Purba Diperbarui 17 Feb 2025, 21:41 WIB
Diterbitkan 17 Feb 2025, 01:37 WIB
Pendiri Lembaga Survei LSI yang juga Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, Denny JA (Istimewa)
Pendiri Lembaga Survei LSI yang juga Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, Denny JA (Istimewa)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Budhy Munawar Rachman, Direktur Paramadina Center for Religion and Philosophy (PCRP) Universitas Paramadina menyoroti pemikiran inovatif Denny JA tentang “Agama sebagai Warisan Kultural Milik Bersama” dalam sebuah refleksi mendalam.

Dalam pandangan Budhy, pendekatan ini menawarkan cara baru dalam memahami agama, dengan menekankan bahwa agama bukan hanya doktrin eksklusif, tetapi hasil dari evolusi budaya yang terus berkembang. Pemikiran ini dituangkan dalam buku terbaru berjudul Teori Denny JA Soal Agama dan Spiritualitas di Era AI: Agama Sebagai Warisan Budaya Milik Kita Semua, yang ditulis oleh Budhy dan Ahmad Gaus.

Buku ini akan menjadi sumber utama dalam modul kuliah di berbagai kampus, membawa gagasan Denny JA ke ruang akademik. Budhy menilai bahwa teori ini memiliki relevansi strategis, terutama dalam mendukung pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan agenda Sustainable Development Goals (SDGs) PBB.

“SDGs adalah upaya kolektif global untuk menciptakan dunia yang lebih adil, sejahtera, dan demokratis. Dengan memahami agama sebagai bagian dari budaya yang hidup dan berkembang, kita dapat lebih efektif menggerakkan komunitas keagamaan dalam mendukung program-program pembangunan berkelanjutan,” ujar Budhy dalam keterangan diterima.

Budhy menyoroti bagaimana teori agama Denny JA mampu mengakomodasi perubahan sosial akibat globalisasi dan revolusi digital. Internet dan media sosial telah mengubah cara masyarakat mengakses dan mendiskusikan nilai-nilai keagamaan.

Dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan inklusif, agama tidak lagi menjadi sumber eksklusivitas yang membatasi, tetapi justru dapat menjadi jembatan bagi solidaritas sosial yang lebih kuat.

Selain itu, Budhy melihat teori ini sebagai solusi untuk memberdayakan komunitas keagamaan dalam bidang sosial dan ekonomi. Sejarah telah menunjukkan bahwa komunitas keagamaan memiliki peran strategis dalam layanan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan lingkungan.

“Jika agama dipahami sebagai bagian dari dinamika budaya, maka ajaran moralnya dapat diterjemahkan ke dalam aksi nyata yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas,” jelas Budhy.

Relevan dengan Tantangan Zaman

Dalam analisisnya, Budhy menilai Denny JA telah mengembangkan dan menafsirkan ulang wawasan inklusif dari pemikir besar seperti Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi. Namun, pendekatan Denny JA lebih berbasis data empiris dan survei opini publik, menjadikannya relevan dengan tantangan zaman.

“Denny JA bukan hanya meneruskan pemikiran para guru kami, tetapi juga memperluasnya dengan memadukan analisis keagamaan dan kajian empiris berbasis data. Ini pendekatan yang inovatif,” tambah Budhy.

Pemahaman agama yang inklusif dan dinamis, menurut Budhy, dapat menjadi pilar dalam menciptakan dunia yang lebih harmonis dan berkelanjutan.

“Jika kita mampu melihat agama sebagai warisan kultural milik bersama, maka kita dapat membangun masa depan yang lebih adil, damai, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama,” pungkasnya.

infografis journal
infografis Kebiasaan Saat Puasa Ramadan di Indonesia. (Liputan6.com/Abdillah).... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya