DPR RI Minta Bawas MA dan Komisi Yudisial Usut Tuntas Kejanggalan Kasus Alex Denni

Pengusutan kejanggalan prosedural kasus Alex Deni ini terutama terkait hakim yang telah meninggal dunia namun tercatat menandatangani putusan kasasi.

oleh Tim News Diperbarui 24 Feb 2025, 20:02 WIB
Diterbitkan 24 Feb 2025, 16:33 WIB
DPR meminta Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial untuk mengusut tuntas kejanggalan prosedural dalam kasus Alex Denni. (Istimewa)
DPR meminta Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial untuk mengusut tuntas kejanggalan prosedural dalam kasus Alex Denni. (Istimewa)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) akan meminta Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial untuk mengusut tuntas kejanggalan prosedural dalam kasus Alex Denni, mantan Deputi Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB).

Hal ini merupakan salah satu kesimpulan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR bersama Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) dan Keluarga Alex Denni yang digelar di Komisi III DPR RI, Senin (24/2/2025).

Pengusutan kejanggalan prosedural kasus Alex Deni ini terutama terkait hakim yang telah meninggal dunia namun tercatat menandatangani putusan kasasi. Komisi III juga akan mendorong dilakukannya evaluasi menyeluruh agar tidak terjadi kembali disparitas putusan seperti yang terjadi pada Alex Denni.

"Ada dugaan pemalsuan putusan karena orang sudah meninggal bisa tanda tangan. Itu, kan, tidak mungkin,” ujar Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman yang memimpin RDPU di Jakarta, Senin (24/2/2025). 

Dalam keputusannya, Komisi III DPR RI juga akan memberikan masukan terhadap MA agar memberikan atensi terhadap permohonan Peninjauan Kembali (PK) Alex Denni dengan mempertimbangkan jaminan Business Jusgment Rules (BJR) serta mengevaluasi pemberlakuan Pasal 55 KUHP terhadap Alex Denni terkait putusan bebas atas nama Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah sesuai prinsip keadilan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya.

"Yang melakukan saja tidak dihukum. Bagaimana mungkin ada orang yang dihukum karena membujuk untuk melakukan atau membantu untuk melakukan. Ini agak-agak ajaib," tambah Habiburokhman yang memimpin RDPU. 

Dalam RDPU tersebut, Ketua Badan Pengurus PBHI Julius Ibrani mengatakan, terdapat sejumlah kejanggalan dalam perkara Alex Denni baik secara prosedural maupun secara substansi. Salah satu temuannya adalah pencantuman nama hakim yang sudah meninggal dunia dalam putusan kasasi Alex Denni. 

 

Dinyatakan Bebas

DPR meminta Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial untuk mengusut tuntas kejanggalan prosedural dalam kasus Alex Denni. (Istimewa)
DPR meminta Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial untuk mengusut tuntas kejanggalan prosedural dalam kasus Alex Denni. (Istimewa)... Selengkapnya

Julius mengungkapkan, salah satu hakim yang memeriksa perkara Alex Denni di tingkat kasasi sudah meninggal sebelum tanggal putusan. Namun, namanya tetap tercantum dalam putusan.

Tanggal putusannya itu pada 14 November 2013. Namun, salah satu hakimnya sudah meninggal pada 7 September 2013. Jadi, jedanya lumayan itu,” ungkapnya. 

Kejanggalan yang paling mendasar, putusan terhadap Alex Denni, baik di tingkat banding maupun kasasi bertolak belakang dengan putusan terhadap Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah.

Berdasarkan eksaminasi yang dilakukan PBHI bersama tiga ahli hukum pidana, ditemukan kejanggalan baik di level administrasi pengadilan, hukum acara dan pemeriksaan perkara yang berujung pada terjadinya disparitas putusan. 

Di tingkat banding, dua pejabat Telkom tersebut dinyatakan bebas, tidak bersalah karena terbukti tidak melakukan penyalahgunaan wewenang dan tidak ada kerugian negara. Namun, dengan alat bukti yang sama, Alex Denni yang merupakan pihak swasta dan tidak punya kewenangan dalam membuat keputusan tetap dinyatakan bersalah.

Julius menegaskan, vonis bersalah terhadap Alex Denni jelas bertentangan dan melanggar penerapan hukum terhadap Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mensyaratkan pihak penyelenggara negara harus divonis bersalah terlebih dahulu baru kemudian pihak swasta dapat dinyatakan bersalah. 

 

Sistem Peradilan Harus Diperbaiki

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Bimantoro Wiyono mengatakan, Komisi III DPR RI merupakan rumah bagi pencari keadilan.  Menurutnya, sistem peradilan di Indonesia memang harus diperbaiki secara masif. Itu sebabnya, Komisi III saat ini sedang merancang KUHP yang baru. 

"Untuk perkara ini memang kami tidak bisa masuk kepada substansi. Tapi kami akan terus mengawal. Saya sangat mendorong penguatan sistem peradilan, terutama pemberkasan perkara di MA yang sudah dari dulu menjadi problematika,” tegas Bimantoro. 

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan berharap, Alex Denni tidak sekadar mendapatkan haknya atas kebenaran yang diyakininya. Namun, Alex Denni juga bisa menjadi energi baru untuk memperbaiki KUHP. 

"Saya sampaikan Ibu kepada Pak Alex Denni, hormat kami. Jangan berhenti berjuang. Saya memberikan dukungan penuh untuk keluarga Alex Denni, juga teman-teman PBHI. Teruslah berjuang,” ujar Hinca kepada Ernitasari, istri Alex Denni yang menghadiri RDPU.

Infografis Perbandingan Skor Indeks Persepsi Korupsi di Asia Tenggara dan Dunia. (Liputan6.com/Trieyasni
Infografis Perbandingan Skor Indeks Persepsi Korupsi di Asia Tenggara dan Dunia. (Liputan6.com/Trieyasni... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya