Liputan6.com, Jakarta - Di balik gemerlap sirkus, ada kisah kelam yang luput dari pandangan. Hari ini, sejumlah perempuan yang merupakan mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI), akhirnya bersuara ke publik, setelah hampir tiga dekade menjalani hidup sebagai korban eksploitasi dan penyiksaan.
Fifi Nur Hidayah, kini berumur setengah abad, duduk di hadapan wartawan dengan raut wajah yang sedih. Dia bercerita dengan suara lirih di salah satu ruangan kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
"Saya intinya minta keadilan. Keadilan pengin tahu orang tua. Asal usul, masalah eksploitasi. Pokoknya saya minta keadilan buat saya dan rekan-rekan," kata Fifi memulai pembincangan kepada Liputan6.com (10/4/2025).
Advertisement
Di usia balita, Fifi dipisahkan dari orang tua dan dibawa masuk ke Oriental Circus Indonesia (OCI). Di sanalah hidupnya mulai dikurung. Ia dilatih di Taman Safari Indonesia. Tapi tak pernah menerima upah, bahkan tak jarang malah mendapat siksaan dan terisolasi dari dunia luar.
Tak kuasa menahan itu semua, Fifi menyelinap dari kamarnya berlari menembus hutan hingga sampailah di Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
"Di sana saya yang sering dipukulin, latihan-latihan sering dipukulin. Akhirnya saya enggak kuat," ujar dia.
Fifi yang baru berusia belasan tahun melarikan diri dari Taman Safari Indonesia. Tiga hari ia menginap di rumah orang yang menolongnya. Tapi ditemukan lagi, lalu dibawa kembali ke Taman Safari. Akibat tindakannya itu, ia menerima siksaan lebih parah.
"Pas saya keluar dari rumah itu 3 hari kemudian, saya ditangkap lagi sama sekuriti. Dari itu saya dibawa ke pos, ke Taman Safari. Dibawa pulang. Saya disiksa, disetrumin sampai saya lemes, jatuh. Saya nangis-nangis, minta ampun," ujar dia.
"Dipukulin pakai sendal bakiak gitu. Dia ditamparin terus," dia menambahkan.
Fifi dipasung selama dua minggu. Ia tidak bisa keluar dari kamar, tidak bisa bergerak leluasa.
"Terus akhirnya dilepas, udah dibebasin. Ya, seperti biasa saya disiksa lagi. Saya di sana tuh tertekan banget, pengin pergi lagi dari sana," ucap dia.
Keputusasaan itu akhirnya membawanya kembali kabur. Kali ini ia dibantu oleh mantan kekasihnya. Ia berhasil keluar dari Taman Safari, lalu dibawa ke Semarang, Jawa Tengah.
"Tadinya saya dicari-cari tuh. Sampai keluarganya diancem-ancem. Saya takut dibawa pulang lagi. Daripada saya dibawa pulang lagi, mendingan dinikahin gitu, biar enggak dibawa pulang lagi akhirnya saya dinikahin," ujar mantan pemain sirkus perempuan tersebut.
Lapor Komnas HAM Sejak 1997
Tahun 1997, Fifi memberanikan diri melaporkan semua ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Saat itu posisinya sudah menikah. Tapi tak kunjung ada penyelesaian.
"Saya langsung lapor ke Komnas HAM itu tahun 1997. Katanya mau diselesaikan secara kekeluargaan, terus ternyata enggak ada penyelesaiannya," ucap dia.
Padahal, Komnas HAM pernah menyelidiki kasus ini pada 1997. Hasilnya ditemukan pelanggaran hak asasi manusia. Rekomendasi pun dilayangkan ke Taman Safari Indonesia. Di mana, rekomendasi agar OCI mempertemukan korban dengan orang tua, memberikan identitas hukum yang sah, dan membayar hak-hak mereka. Tapi tak satu pun dijalankan.
Dia kembali datang ke Komnas HAM pada 2002, lalu 2004. Tapi setiap kali datang, tak ada jawaban yang menyejukkan hati.
"Terus 2002 saya sempat datang lagi ke Komnas HAM menanyakan 'ini kok enggak ada kabarnya'. Terus katanya 'Tunggu aja nanti juga ada katanya dari Komnas HAM," ucap dia.
Baru pada 2024, Fifi bertemu lagi dengan teman-teman seangkatannya di media sosial Facebook. Dari sanalah kisah mereka kembali disatukan.
Kini, bersama korban lainnya, Fifi tidak lagi sendiri. Mereka melapor ke Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan instansi lainnya. Namun, hingga 2025, rekomendasi pun tak ada yang dilaksanakan.
"Akhirnya tahun 2024 bisa ketemu lagi sama ini semua dari media sosial. Jadi ketemu lagi kita," ucap dia.
Advertisement
Menteri PPPA Dorong Penyelesaian Kekeluargaan
Sementara itu, pengacara Heppy Sebayang mengatakan, jumlah korban dugaan eksploitasi OCI sebenarnya jauh lebih banyak.
"Sebetulnya mereka ada sekitar 60-an, tapi yang sekarang baru terkoordinir ini 17. Jadi intinya teman-teman ini selama ini, selama di Oriental Circus Indonesia (OCI). Mereka itu mengalami perlakuan-perlakuan yang tidak semestinya," ucap dia.
Hari ini, Kementerian PPA memfasilitasi pertemuan dengan Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Mabes Polri. Tapi hasilnya belum membawa titik terang.
"Jadi Bu Menteri dari Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak itu punya inisiatif untuk mempertemukan beberapa stakeholder yang punya kewenangan dan tugas kaitan dengan isu ini. Mereka mengumpulkan dari Komnas Perempuan, Komnas HAM, Mabes Polri," ungkap dia.
Dalam pertemuan itu, Kementerian PPA meminta agar upaya penyelesaian secara kekeluargaan didahulukan. Jika tidak ada itikad baik dari pihak Taman Safari Indonesia, baru ditempuh lewat jalur hukum.
"Dan tadi beberapa poin sudah disampaikan, termasuk bagaimana agar masalah ini bisa tersolusi di luar proses hukum. Tapi kalau tidak tersolusi tentu proses hukum menjadi pilihan terakhir," ucap dia.
Menurut Heppy, Taman Safari Indonesia telah disurati, baik secara institusional maupun personal, namun tidak pernah memberikan respons.
"Jadi, teradu tidak punya itikad baik untuk melaksanakan kewajiban sampai sekarang," ujar dia.
Respons Taman Safari Indonesia
Saat dikonfirmasi, Kepala Media dan Digital Taman Safari Indonesia Finky Santika menegaskan, Taman Safari Indonesia Group tidak memiliki keterkaitan, hubungan bisnis, maupun keterlibatan hukum dengan para mantan pemain sirkus yang disebutkan dalam video tersebut.
"Perlu kami sampaikan bahwa Taman Safari Indonesia Group adalah badan usaha berbadan hukum yang berdiri secara independen dan tidak terafiliasi dengan pihak yang dimaksud," ujar dia.
Finky menegaskan, permasalahan tersebut bersifat pribadi dan tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia Group secara kelembagaan.
"Namun kami berharap agar nama dan reputasi Taman Safari Indonesia Group tidak disangkutpautkan dalam permasalahan yang bukan menjadi bagian dari tanggung jawab kami terutama tanpa bukti yang jelas karena dapat berimplikasi kepada pertanggung jawaban hukum, ucap dia.
Taman Safari Indonesia Group selalu berkomitmen untuk menjalankan kegiatan usaha dengan mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG), kepatuhan hukum, serta etika bisnis yang bertanggung jawab.
"Selama lebih dari 40 tahun, kami senantiasa mengutamakan. konservasi, edukasi, dan pelayanan terbaik bagi masyarakat Indonesia dan mancanegara," ucap dia.
Finky mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital.
"Dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan yang jelas," tandas dia.
Advertisement
