Sinar matahari terik menyengat Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, saat sekelompok anggota geng motor bergerak menembus kota menuju sebuah bengkel. Mereka bukan geng motor yang bertampang garang, cadas, dan urakan.
Kawanan geng motor ini juga bukan untuk memperbaiki atau mempercantik motor mereka di bengkel. Tapi mereka hendak menyempurnakan sebuah inovasi tepat guna kompor bio gas. Sosok motor penggerak di balik kelompok ini seorang warga kupang berusia 35 tahun, Noverius Nggili.
"Daripada hanya nongkrong lebih baik berbagi ilmu. Ilmu yang yang tidak dimiliki orang lain namun bermanfaat. Atau daripada ilmu yang dibuat mahal lebih baik kita bagikan ke masyarakat," Noverius dalam tayangan Liputan 6 SCTV, Minggu (30/6/2013).
Langkah inovatif Noverius bermula di tahun 2005. Alumnus Fakultas Peternakan itu prihatin karena banyak masalah di bidang peternakan di NTT jarang dicari jalan keluarnya. Sementara banyak lulusan fakultas peternakan justru bergerak di jalur lain mulai dari jadi PNS hingga jadi anggota partai politik.
Noverius-pun membentuk kelompok diskusi dengan anggota, terutama alumni fakultas peternakan. Selain berdiskusi, Noverius selalu mencoba menerapkan solusi yang muncul dalam diskusi.
"Potensi lingkungan apa yang bisa diutak-atik untuk membawa manfaat bagi masyarakat," ujar Juergen, anggota kelompok diskusi yang juga geng motor.
Noverius menyadari perubahan akan lebih mudah dilaksanakan dengan gerakan bersama. Maka ia mencetuskan berdirinya sebuah geng motor. "Melakukan perjalanan sambil berbagi ilmu ini adalah sekolah alternatif," kata Noverius yang menjadi inovator peduli lingkungan.
Ia bersama anggota geng kerap berkeliling ke pedalaman NTT untuk berbagi ilmu tentang peternakan. Mereka berupaya mengembangkan berbagai inovasi tepat guna untuk membantu masyarakat. Karya terbaru kelompok ini adalah sebuah desalinator atau alat untuk mengubah air laut menjadi air tawar.
Alat ini memanfaatkan sinar matahari yang di NTT tersedia berlimpah. Hampir sepanjang tahun, uap air yang tidak lagi mengandung garam ditampung di sebuah wadah. Hasilnya, sekitar 1 liter air tawar sehari. Teknologi ini tidak baru, tapi Noverius mengembangkannya hingga mudah digunakan dan murah. Biaya membuatnya kurang dari Rp 500 ribu.
"Air tawar yang dihasilkan cukup murah jadi tidak perlu cari air tawar lagi, beli atau ke sumur yang cukup jauh," kata warga Ibrahim.
Selain desalinator, Noverius dan geng motornya membuat kompor biogas untuk warga. Kompor biogas itu berbahan bakar kotoran ternak yang dibuat dari bahan-bahan yang mudah diperoleh seperti drum dan ban bekas. Dengan kompor ini seorang ibu rumah tangga di Kupang bisa menghemat sekitar 230 liter minyak tanah sebulan.
"Bisa hemat 30 liter minyak tanah. Dulu saya pakai dispenser listrik setelah pakai biogas saya tidak pakai lagi," kata Ibu Heni.
Semangat Noverius berbagi ilmu tidak pernah surut. Ayah 3 anak ini rutin setiap minggu memperkenalkan teknologi sederhana kepada anak-anak sekolah di sekitar rumah.
Istri Noverius, Silvia Fangidae berharap teman-teman yang satu visi dengan dia bisa terus mengembangkan teknologi ramah lingkungan yang tepat guna. (Adi/Ism)
Kawanan geng motor ini juga bukan untuk memperbaiki atau mempercantik motor mereka di bengkel. Tapi mereka hendak menyempurnakan sebuah inovasi tepat guna kompor bio gas. Sosok motor penggerak di balik kelompok ini seorang warga kupang berusia 35 tahun, Noverius Nggili.
"Daripada hanya nongkrong lebih baik berbagi ilmu. Ilmu yang yang tidak dimiliki orang lain namun bermanfaat. Atau daripada ilmu yang dibuat mahal lebih baik kita bagikan ke masyarakat," Noverius dalam tayangan Liputan 6 SCTV, Minggu (30/6/2013).
Langkah inovatif Noverius bermula di tahun 2005. Alumnus Fakultas Peternakan itu prihatin karena banyak masalah di bidang peternakan di NTT jarang dicari jalan keluarnya. Sementara banyak lulusan fakultas peternakan justru bergerak di jalur lain mulai dari jadi PNS hingga jadi anggota partai politik.
Noverius-pun membentuk kelompok diskusi dengan anggota, terutama alumni fakultas peternakan. Selain berdiskusi, Noverius selalu mencoba menerapkan solusi yang muncul dalam diskusi.
"Potensi lingkungan apa yang bisa diutak-atik untuk membawa manfaat bagi masyarakat," ujar Juergen, anggota kelompok diskusi yang juga geng motor.
Noverius menyadari perubahan akan lebih mudah dilaksanakan dengan gerakan bersama. Maka ia mencetuskan berdirinya sebuah geng motor. "Melakukan perjalanan sambil berbagi ilmu ini adalah sekolah alternatif," kata Noverius yang menjadi inovator peduli lingkungan.
Ia bersama anggota geng kerap berkeliling ke pedalaman NTT untuk berbagi ilmu tentang peternakan. Mereka berupaya mengembangkan berbagai inovasi tepat guna untuk membantu masyarakat. Karya terbaru kelompok ini adalah sebuah desalinator atau alat untuk mengubah air laut menjadi air tawar.
Alat ini memanfaatkan sinar matahari yang di NTT tersedia berlimpah. Hampir sepanjang tahun, uap air yang tidak lagi mengandung garam ditampung di sebuah wadah. Hasilnya, sekitar 1 liter air tawar sehari. Teknologi ini tidak baru, tapi Noverius mengembangkannya hingga mudah digunakan dan murah. Biaya membuatnya kurang dari Rp 500 ribu.
"Air tawar yang dihasilkan cukup murah jadi tidak perlu cari air tawar lagi, beli atau ke sumur yang cukup jauh," kata warga Ibrahim.
Selain desalinator, Noverius dan geng motornya membuat kompor biogas untuk warga. Kompor biogas itu berbahan bakar kotoran ternak yang dibuat dari bahan-bahan yang mudah diperoleh seperti drum dan ban bekas. Dengan kompor ini seorang ibu rumah tangga di Kupang bisa menghemat sekitar 230 liter minyak tanah sebulan.
"Bisa hemat 30 liter minyak tanah. Dulu saya pakai dispenser listrik setelah pakai biogas saya tidak pakai lagi," kata Ibu Heni.
Semangat Noverius berbagi ilmu tidak pernah surut. Ayah 3 anak ini rutin setiap minggu memperkenalkan teknologi sederhana kepada anak-anak sekolah di sekitar rumah.
Istri Noverius, Silvia Fangidae berharap teman-teman yang satu visi dengan dia bisa terus mengembangkan teknologi ramah lingkungan yang tepat guna. (Adi/Ism)