Indonesia Coruption Watch (ICW) menduga masih banyak ruang gelap yang memungkinkan terjadinya korupsi di tubuh BP Migas yang sekarang bernama SKK Migas. Sebagai, contoh soal sewa gedung BP Migas selama 5 tahun yang diperkirakan menelan anggaran sebesar Rp 347,2 miliar.
Peneliti ICW, Firdaus Ilyas menilai harga sewa itu lebih mahal 2 kali lipat dari rencana pembangunan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebesar Rp 168 miliar. Membengkaknya anggaran yang terjadi saat BP Migas masih dipimpin Raden Priyono itu dianggap tidak efisien.
"Ini kalau dilihat, terlalu banyak ruang gelap. Belanja-belanja BP Migas memang patut diduga boros dan tidak efisien," ujar Peneliti ICW, Firdaus Ilyas, di Jakarta, Selasa (3/9/2013).
Firdaus menilai besarnya anggaran sewa gedung itu, lantaran keuangan negara belum dilakukan seluruhnya oleh BP migas saat dipegang Raden Priyono cs, sebelum berubah nama menjadi SKK Migas. Menurutnya KPK seakan menutup mata atas sejumlah indikasi korupsi yang terjadi jauh sebelum kasus Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini terungkap. KPK seperti kehilangan arah dalam mengusut sejumlah kasus korupsi pada era itu.
"KPK seperti kesulitan untuk masuk lewat mana," ungkap Firdaus.
Padahal, menurutnya, untuk mengungkap kasus ini. KPK harus mengabaikan prinsip anggaran BP Migas tidak berasal dari keuangan negara.
"KPK sih itu harusnya yakin saja, bahwa itu keuangan negara. Pengelolaannya pun negara. Aparaturnya juga aparatur negara," imbuh Firdaus.
Seperti diketahui, sejumlah kasus yang melibatkan BP migas di KPK terkesan mangkrak maupun tidak ditindaklanjuti ke proses penyidikan. Seperti pada laporan Indonesia Coruption Watch (ICW) tahun 2008, atas dugaan penyimpangan penerimaan minyak selama 2000-2007 senilai Rp 194 triliun. Belakangan, diketahui kasus itu cuma dijadikan bahan kajian oleh KPK. (Adi)
Peneliti ICW, Firdaus Ilyas menilai harga sewa itu lebih mahal 2 kali lipat dari rencana pembangunan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebesar Rp 168 miliar. Membengkaknya anggaran yang terjadi saat BP Migas masih dipimpin Raden Priyono itu dianggap tidak efisien.
"Ini kalau dilihat, terlalu banyak ruang gelap. Belanja-belanja BP Migas memang patut diduga boros dan tidak efisien," ujar Peneliti ICW, Firdaus Ilyas, di Jakarta, Selasa (3/9/2013).
Firdaus menilai besarnya anggaran sewa gedung itu, lantaran keuangan negara belum dilakukan seluruhnya oleh BP migas saat dipegang Raden Priyono cs, sebelum berubah nama menjadi SKK Migas. Menurutnya KPK seakan menutup mata atas sejumlah indikasi korupsi yang terjadi jauh sebelum kasus Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini terungkap. KPK seperti kehilangan arah dalam mengusut sejumlah kasus korupsi pada era itu.
"KPK seperti kesulitan untuk masuk lewat mana," ungkap Firdaus.
Padahal, menurutnya, untuk mengungkap kasus ini. KPK harus mengabaikan prinsip anggaran BP Migas tidak berasal dari keuangan negara.
"KPK sih itu harusnya yakin saja, bahwa itu keuangan negara. Pengelolaannya pun negara. Aparaturnya juga aparatur negara," imbuh Firdaus.
Seperti diketahui, sejumlah kasus yang melibatkan BP migas di KPK terkesan mangkrak maupun tidak ditindaklanjuti ke proses penyidikan. Seperti pada laporan Indonesia Coruption Watch (ICW) tahun 2008, atas dugaan penyimpangan penerimaan minyak selama 2000-2007 senilai Rp 194 triliun. Belakangan, diketahui kasus itu cuma dijadikan bahan kajian oleh KPK. (Adi)