Peneliti Ungkap Tingkat Depresi Naik Berkali Lipat saat Pandemi, Cara Kenali Gejala dan Solusi

Depresi menjadi hal yang kerap terjadi selama pandemi.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Okt 2021, 08:00 WIB
Diterbitkan 12 Okt 2021, 08:00 WIB
Depresi (iStock)
Ilustrasi depresi. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Bukan menjadi hal yang baru ketika semua orang harus mendadak berhenti dari segala aktivitas dan rutinitasnya semenjak kemunculan pandemi secara global. Masyarakat dari seluruh belahan bumi dipaksa secara tidak langsung harus mampu beradaptasi.

Namun, tidak hanya beradaptasi saja, tetapi juga harus menyesuaikan mental dan pikiran kita agar bisa terus mencapai tujuan yang sudah ditargetkan sebelumnya. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan.

Pola pikir, latar belakang sosial, hingga prioritas hidup yang dimiliki setiap orang sangatlah beragam dan tidak diatur dalam aturan tertulis. Melihat fenomena seperti ini, beberapa ilmuwan dari Universitas Boston dalam jurnal medis The Lancet Regional Health memulai penelitiannya.

Hasil dari penelitian tersebut menemukan bahwa tingkat depresi meningkat tiga kali lipat selama setahun pertama pandemi. Sementara itu, sebelum pandemi hanya sekitar 8 persen orang dewasa mengalami depresi di AS.

Apabila dibandingkan dengan satu dua tahun belakangan ini, lonjakan tersebut mencapai angka 28 persen yang melibatkan 1.161 responden dari periode Maret hingga April 2020. Lalu, pada 2021, lonjakan terjadi lagi hingga bertambah menjadi 32 persen.

Menurut dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Boston Sandro Galea, orang memiliki kecenderungan untuk mengalami peningkatan depresi setelah menghadapi peristiwa traumatis. Faktor penyebab tersebut antara lain bencana alam, serangan teroris, atau bisa juga pandemi.

“Biasanya, tingkat depresi meningkat selama peristiwa berlangsung, lalu meningkat seiring berjalannya waktu. Namun, itu tidak terjadi dengan COVID-19,” jelas Galea.

Melihat perkembangan tingkat depresi selama pandemi menjadi hal yang tidak lumrah dalam sudut pandang medis. Selama 12 bulan berturut-turut kenaikan tersebut terjadi sangat signifikan. Pandemi COVID-19 memiliki sifat yang unik karena dapat tetap berlanjut.

Terlepas dari hal tersebut, ada kabar baik yang dinyatakan oleh para ahli. Anda dapat beberapa langkah atau solusi untuk memperbaiki kesehatan mental Anda. Kemudian, cari tahu apa saja gejala depresi yang dialami, jenis depresi apa yang Anda hadapi, hingga solusinya.

 

 

Enam Tanda Depresi

[Fimela] Depresi
Ilustrasi Depresi | unsplash.com/@anthonytran

Melansir dari CNBC Make It, mengalami depresi berbeda dengan merasa sedih atau kecewa. Profesor psikiatri Fakultas Kedokteran Feinberg Universitas Northwestern Michael Ziffra menyatakan hal yang harus diwaspadai adalah sejauh mana pengaruhnya terhadap fungsi seseorang.

Adapun American Psychological Association mengungkapkan gejala dan tanda-tanda dari depresi umumnya berasal dari kombinasi beberapa perasaan atau mood tertentu, yakni:

  1. Minat dan kesenangan dalam keseharian yang menurun
  2. Susah tidur
  3. Mudah lemas dan energi yang sedikit
  4. Tidak mampu berkonsentrasi
  5. Merasa tidak berharga
  6. Seringkali memikirkan tentang kematian/bunuh diri

“Semua orang merasa tidak enak selama pandemi. Itu diharapkan dan normal,” jelas Ziffra.

Seseorang yang mengalami depresi di satu sisi mungkin merasakan tingkat kelelahan yang tidak biasa, lalu mengalami perubahan yang cukup signifikan terkait makan, tidur atau merasa banyak kesulitan dalam melakukan tugas keseharian, seperti mandi, dandan, membayar tagihan, dan lainnya.

Dalam studi tersebut mengidentifikasikan pemicu stres paling umum yang menyebabkan depresi selama pandemi adalah kehilangan pekerjaan, kematian orang yang dicintai/disayangi akibat COVID-19, merasa sendirian, dan kurang pengasuhan anak.

Kemudian, para peneliti mencatat bahwa depresi pandemi secara tidak proporsional memengaruhi populasi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah. 

Jika melihat dari aspek pemasukan, orang yang memiliki pemasukan kurang dari Rp284.1 juta setahun atau (USD 20 ribu) mengalami 2,3 kali lebih besar untuk mengalami depresi. Tahun ini, 2021, studi mencatat kemungkinan tersebut dapat naik tujuh kali lipat.

 

Solusi Menangani Depresi

ilustrasi depresi persisten/unsplash
ilustrasi depresi persisten/unsplash

Depresi merupakan menjadi sebuah gejala yang membuat Anda tidak memiliki semangat atau konsistensi dalam mengejar strategi yang membantu Anda untuk mencari solusinya. Misalnya, ketika merasa sedih, mungkin membuat diri jadi tidak semangat melakukan aktivitas.

Rasa tidak bersemangat itu yang membuat Anda tetap berada pada siklus depresi. Padahal dengan mencoba mencari kegiatan atau solusi lain dapat memberikan rasa senang dan stimulasi yang akan membantu mengatasi depresi.

Menjadi proaktif dan merencanakan kegiatan terlebih dahulu bisa menjadi salah satu solusi sehingga Anda bisa lebih mengurangi tekanan yang dirasakan. Nantinya, jika dilakukan secara berkala, suasana hati Anda akan meningkat dan kembali normal.

“Setiap kali Anda bangun di pagi hari, setidaknya ada satu hal dalam jadwal Anda yang memberi Anda alasan dan dorongan untuk bangun dan keluar dari kamar,” tambah Ziffra.

Apabila Anda mengalami depresi atau memiliki pikiran-pikiran yang menghambat pekerjaan utama Anda, pertimbangkan kembali untuk mencari bantuan melalui seorang profesional, seperti terapis, konselor, atau berkonsultasi secara daring berdasarkan spesialisasi tertentu.

“Kebanyakan dokter perawatan primer saat ini memiliki pengetahuan yang cukup masuk akal tentang perawatan untuk depresi. Setidaknya bisa membantumu memulai," jelas Ziffra.

Reporter: Caroline Saskia

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya