Liputan6.com, Jakarta Perubahan merupakan suatu keniscayaan. Landskap ekonomi global mengalami transformasi yang dipicu oleh perubahan lingkungan ekonomi pada kawasan ekonomi dunia dan yurisdiksi terutama ke-4 pilar ekonomi dunia yaitu Amerika Serikat, China, Uni Eropa dan Jepang.
Semakin globalnya ekonomi dunia mengakibatkan makin elastisnya ketergantungan antar yurisdiksi dan kawasan ekonomi. Bila suatu yurisdiksi mengeluarkan kebijakan ekonomi seperti paket insentif dan kemudahan untuk menarik investasi, maka hal tersebut secara langsung atau tidak akan berdampak pada yurisdiksi-yurisdiksi lainnya. Kemudian, akan timbul respon berupa perlawanan atau counter attact dari yurisdiksi-yurisdiksi lainnya sehingga menimbulkan harmful competition dan bila tidak diselesaikan akan menimbulkan distorsi ekonomi.
Baca Juga
Dalam beberapa dekade terakhir ini terutama pada periode Pandemi Covid-19 hingga sekarang, pertumbuhan ekonomi dunia mengalami tekan dari berbagai sudut (angels) seperti dampak disruprif dari Covid-19 yang masih berlanjut dan belum tuntas pemulihannya, geo politik, harga komoditas internasional yang terus bergerak menuju titik keseimbangan yang baru sehingga menimbulkan ketidakpastian, inflasi yang masih tinggi walau sudah mulai terkoreksi, tingkat suku bunga yang masih mahal sehingga menimbulkan gangguan (noise) pada kegiatan produksi dan ekspansi serta perubahan iklim (climate change) yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup seperti kekeringan, kebakaran hutan, munculnya hama yang dapat mengakibatkan gagal panen yang berakibat berkurangnya stock pangan dunia.
Advertisement
Dalam situasi ekonomi global yang kurang kondusif ini, masing-masing yurisdiksi memerlukan dana segar dalam jumlah yang besar untuk melakukan pembenahan ekonominya. Kebijakan stimulus ekonomi baik fiskal dan moneter, memerlukan dana untuk menjalankan program pemulihan ekonomi (economic recovery). Salah satu sumber pembiayaannya (source of financing) adalah penerimaan pajak. Misalnya Indonesia, penerimaan perpajakan (tax revenues) merupakan sumber utama pembiayaan APBN sejak tahun 1980-an.
Instrumen pajak merupakan hal yang lazim digunakan sebagai mesin pengumpul penerimaan (budgetair), kemudian dana pajak tersebut dialokasikan (distribution) kedalam berbagai program ekonomi dan kesejahteraan untuk menjamin stabilitas (stabilization) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) .
Bila setiap yurisdiksi mengeksploitasi instrumen pajak (misalnya kebijakan tax holidays dan investment allowance) guna mengisi pundi-pundi penerimaannya, hal tersebut langsung atau tidak dapat menimbulkan harmful tax competition yaitu persaingan tidak sehat antar yurisdiksi dengan menggunakan instrumen pajak untuk mendapatkan dana global yang terbatas.
Tantangan dan permasalahan pajak (tax matter and challenges) lainnya yang timbul dari dampak disruptif teknologi informasi dan komunikasi (Information Communication and Technology-ICT) yaitu timbulnya kekosongam hukum pajak internasional (Multilateral Convention) terkait dengan pembagian hak pemajakan (division of taxing rights) antar yurisdiksi atas penghasilan global dari aktivitas ekonomi digital. Masing-masing yurisdiksi sumber (source jurisdiction) mengenakan pajak (digital service tax) atas penghasilan yang timbul dari transaksi ekonomi digital wilayah teritorinya, sering disebut unilateral measures. Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan perang dagang (trade war) dan mendistorsi perekonomian global.
Selain itu, ICT mendorong lahirnya model dan skema bisnis baru yang berbeda dengan yang konvensional, seperti eCommerce, start-up, gig and sharing economy, financial technology, virtual currency, bitcoin dan blockchain technology yang tidak memerlukan kehadirannya secara fisik dan jangkauan usahanya sangat luas dan dapat mencakup banyak yurisdiksi. Sehingga hal tersebut membebani biaya administrasi (administrative burden) bagi otoritas pajak.
Tantangan dan permasalahan pajak lainnya yang dipicu oleh aktivitas underground economy (seperti cash econony, illicit fund, bitcoin, human trafficking, corruption) yang terjadi hampir disemua yurisdiksi dan diprakirakan jumlahnya 1% sd 20% dari PDB masing-masing yurisdiksi.
Rule of thumb-nya, semakin besar dampak disruptif underground economy pada suatu yurisdiksi (misalnya less developing jurisdictions) maka tingkat kepatuhan dan kepercayaan (level of trust and compliance) pembayar pajak atas sistem perpajakan dan otoritas pajak-nya semakin rendah.
Tantangan dan permasalahan pajak selanjutnya adalah perencanaan pajak yang agresif dengan mengalihkan profit-nya ke perusahaan afiliasinya (associate enterprise) atau mendirikan perusahaan cangkang (special purpose vehicle-SPV) pada low tax jurisdictions sebagai tax shelter melalui skema-skema penghindaran pajak (tax avoidance) seperti treaty abuse and shopping, transfer pricing, fragmentation of permanent establihment, thin capitalization, controlled foreign company, mismatch arrangements.
Berbekal dari pembahasan di atas, penyelesaian permasalahan pajak global tidak akan efektif bila diselesaikan secara unilateral ataupun bilateral. Permasalahan perpajakan global yang complicated dan berdampak luas harus diselesaikan secara multilateral dalam bentuk perjanjian, kerja sama dan kolaborasi sehingga diperoleh konsensus atas permasalahan pajak global yang sangat bermanfaat bagi proses pemulihan ekonomi dunia.
Oleh: John Hutagaol, Guru Besar Perpajakan dan bekerja pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sebagai Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan dan Penertiban SDM. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.