OPINI: Paradoks Over Connected, Hilangnya Relasi di Dunia yang Makin Terhubung

Dunia yang semakin terhubung ternyata membawa pada sebuah paradoks. Keterhubungan yang dianggap nyata, ternyata tidak terasa bermakna.

Dr. Firman Kurniawan S
Direview oleh: Dr. Firman Kurniawan S

Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, Pendiri LITEROS.org

oleh Tim Tekno diperbarui 30 Okt 2024, 08:30 WIB
Diterbitkan 30 Okt 2024, 08:30 WIB
Dr. Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, Pendiri LITEROS.org, Dr. Firman Kurniawan S.

Liputan6.com, Jakarta - Seorang pejabat publik yang baru dilantik, sudah lazim mendapat apresiasi. Ini tak jarang jadi ajang penyampaian harapan: Sang Pejabat bekerja baik, lancar dan tak menyalahgunakan kuasanya.

Momentumnya biasa dilakukan pasca upacara pelantikan. Diadakannya sesi pemberian selamat.

Dalam hitungan satu hingga puluhan simpatisan yang menyalami, memori di otak dapat mengenali dengan detil, kerabat yang menyapa. Tindakan ~menyambut dan membalas simpati~ dilakukan penuh kesadaran.

Seiring hitungannya yang bertambah~ratusan telah hampir tercapai~ kesadaran mulai luntur. Pengenalan jadi kendur. Sosok yang diberi ucapan, tak selalu ingat dengan yang ada di hadapannya.

Bisa jadi memang karena tak kenal. Tapi terutama akibat memori yang tak berhasil dibangkitkan. Ini juga sering terjadi pada resepsi pernikahan, dengan jumlah undangan yang berlimpah.

Tindakan ramah-tamah tanpa sadar, berubah jadi mekanis. Bergerak rutin layaknya mesin yang bertugas. Bersalaman, tersenyum, berlalu, salam, senyum, ganti orang. Demikian terus.

Rangkaiannya berulang, tanpa sepenuhnya ditopang kesadaran.

Keadaan ini yang mungkin yang disebut Christopher Schimming, 2022, dalam “Cognitive Overload: When Processing Information Becomes a Problem”, sebagai cognitive overload. Kejenuhan kognisi.

Yang jika digambarkan secara awam: tampil dalam keadaan terjaga, tapi setengah sadar. Respons tetap diberikan proporsional, namun diragukan dengan landasan kesadaran.

Seluruh keadaan di atas, salah satu penyebabnya: berjejalannya informasi yang datang. Kekerapan yang tak memberi keleluasaan mengenali informasi, seraya mencernanya. Refleks mekanis mengambil alih kuasa kesadaran.

Hari ini, keadaan manusia yang terus-menerus dibanjiri informasi, tak beda dari keadaan itu. Informasi rutin sehari-hari ~semacam: target penyelesaian pekerjaan yang makin dekat, rapat di kantor di jam tertentu, jadwal pertemuan dengan pelanggan yang telah disepakati.

Juga anak atau Istri yang minta diantar ke dokter. Ini pun ditambah janji, pertemuan dengan alumni sekolah di malam harinya~ yang seluruhnya tak berhenti sebagai informasi di sekitar diri.

Turut membebani pula, informasi bersumber luar. Wujudnya sebagai notifikasi berbagai media sosial, aneka aplikasi belanja dan pelancar hidup, tawaran konsumsi produk yang terselip saat membaca berita online.

Juga yang berbentuk analog: spanduk maupun baliho pengenalan kandidat politik, maupun himbauan pemerintah. Seluruhnya menuntut untuk dicerna, namun tak memberi waktu bagi perhatian, menelaah dengan seksama.

Dalam kerja otak yang harus memproses semua informasi itu. Juga respons yang diharapkan segera, implikasinya tak sebatas bertubi-tubinya stimulus. Memori tersimpan dan terkait informasi yang datang, turut terstimulasi jadi aktif.

 

Keterhubungan

Seseorang yang mendapat informasi soal diangkatnya ilmuwan cognitive science ~sebagai menteri dalam kabinet yang baru dilantik~ segera teraktifkan memorinya: beberapa bulan lampau, telah membeli buku yang mengulas mekanisme kognitif, berikut cara kerja otak. Tapi buku itu belum sempat dibacanya.

Demikian juga informasi yang datang berikutnya, terus mengaktifkan memori-memori terpendam lainnya. Ibarat sebatang pohon yang dicabut dari tanah, akar dan cabang-cabang akarnya, turut terangkat.

Dalam gambaran awam, otak sekan meletup-letup. Sibuk dalam jaringan keterhubungan. Keterhubungan infomasi sekitar diri, informasi dari luar, maupun informasi yang telah lama tersimpan.

Di zaman digital, jumlahnya dilipatgandakan. Relevan dengan itu, Amie K, 2013, dalam “What Does it Mean to be Connected” in Today’s Digital World?”, mengemukakan pandangannya.

Kurang lebih disebutkannya, “(keterhubungan itu) berteman di Facebook, terhubung di LinkedIn, saling berkirim pesan di SnapChat, dan lainnya.

Dalam beberapa kasus, relasi digital bahkan jadi petunjuk untuk memvalidasi hubungan offline. Ini misalnya lewat penyataan: Anda tak benar-benar berkencan dengan pasangan Anda, kecuali jika itu "resmi di Facebook".  

Uraian di atas dapat diartikan: ketika keterhubungan dalam konteks bukan media digital hanya terjadi dengan orang-orang yang telah jadi bagian hidup ~setidaknya telah dikenal~ hari ini, syarat itu absen.

Keterhubungan dapat dilakukan dengan siapa pun. Juga mencakup jumlah dan wilayah yang tak terbatas. Karenanya over-connected jadi keniscayaan.

Apa implikasi over-connected? Keterhubungan justru menghadirkan kesepian dan absennya kesadaran. Terdengar paradoks, namun faktual. Ini terjadi akibat relasi yang intensif, namun tak bermakna.

Argumentasinya, bagaimana mungkin relasi dengan siapa saja, dan dalam jangkauan jarak terjauh pun. Juga, relasi dalam keadaan perhatian yang sebagian besar dialokasikan pada orang-orang yang tak sepenuhnya dikenal dapat menghasilkan relasi bermakna?

Ini pun di tengah realitas: relasi digital kerap terbentuk lantaran kesamaan algoritma minat maupun perhatian. Orang lain hadir, lantaran saran algoritma platform digital.

Bukan relasi yang dikembangkan dari lintasan yang bergerak urut: dari keadaan tak saling kenal, ke keadaan yang intim.

Relevan dengan argumentasi di atas, Curt Steinhorst, 2024, dalam “Rekindling Humanity: Finding Personal Connection in A Digital World” memperjelasnya. Menurutnya, dunia digital memang menawarkan peluang keterhubungan yang tak terbatas.

Ini dapat dilakukan dengan menggunakan media sosial, aplikasi pengiriman pesan, perangkat konferensi video. Seluruhnya telah jadi realitas umum. Juga menjanjikan keterhubungan yang serba cepat.

Ini terjadi dengan teman, keluarga, dan kerabat. Tak peduli jarak fisiknya. Namun, keterhubungan digital dengan orang dikenal ini, harus bersaing dengan bentuk-bentuk keterhubungan digital tak dikenal lainnya.

Relasi yang lebih berkarakteristik impersonal.

 

Cognitive Overload

Relasi impersonal macam di atas, tak jarang diwarnai distraksi digital yang bersaing berebut perhatian. Akibatnya membangun hubungan yang bermakna, jadi sulit.

Alih-alih terjalinnya hubungan yang erat, kekerapan notifikasi, email, peringatan media sosial, maupun aplikasi lainnya, menyerobot kesadaran.

Seluruhnya sekadar membentuk keterlibatan yang dangkal, interaksinya bersifat permukaan. Tak ada tendensi yang melibatkan kuasa kesadaran.

Sebagai ilustrasi keadaan di atas, pengguna media digital yang intensif tak keberatan mengakui: komentar yang diberikannya pada konten, tak jarang sekedar penanda “belum berakhirnya relasi” dengan Sang Penggungah konten.

Juga like, diberikan untuk menyatakan “saya melihat unggahannmu”. Tak benar-benar suka atau kagum. Hal terburuknya, like juga bisa tersemat, lantaran tak sengaja mengetuk tombol suka atau tanda hati. 

Dalam keadaan sejenis, jawaban pada WhatsApp pun sering bertujuan membungkam notifikasi yang terus menggema. Kehadirannya menimbulkan gangguan. Karenanya, relasi yang terbentuk tak lain relasi kosong bukan? Sepi dalam keriuhan.

Dalam implikasi berikutnya, cognitive overload ~yang kemudian dipahami sebagai akar hadirnya relasi kosong~ disebut Cristopher Schimming, melahirkan empat hal.

Pertama, kelumpuhan. Ini akibat otak tak mampu menangani suatu topik atau isu, karena kejenuhan akibat kelebihan beban. Otak melihat suatu peristiwa, seakan lebih rumit dibanding ketika otak tak jenuh.

Kedua, kemarahan. Ini terjadi ketika informasi tak sesuai dengan cara berpikir atau perasaan penerimanya. Seluruhnya dapat terjadi, akibat relasi impersonal yang dilatarbelakangi kebiasaan berbeda, dan belum ditoleransi.

Sebuah keadaan yang memicu kemarahan. Perasaan atau keyakinan diri ditentang. Berulangkalinya pembahasan suatu topik, justru menimbulkan kekesalan atau kecemasan.

Ini dapat dilustrasikan, adanya produk yang tak sesuai selera, namun iklannya hadir terus menerus. Juga jargon-jargon kosong pengundang dukungan politik.

Selanjutnya yang ketiga, kepasifan. Dalam keadaan jenuh, akhirnya otak mengurangi beban, dengan mengikuti pendapat orang lain saja.

Mengalihkan pemberian opini yang terasa berat ~jadi ikut arahan orang lain~ adalah mekanisme termudah mengatasinya.

Maka yang terjadi, daripada sibuk mempersoalkan perselisihan yang sengit berlangsung, pilih saja pendapat yang banyak pengikutnya.

Ini pada akhirnya, keempat, terbentuknya pemahaman. Kepasifan yang mengurangi kejenuhan informasi, memberi ruang mengenali informasi lebih baik.

Pemrosesan informasi dapat dilakukan dengan mengandalkan masukan dari sumber terpercaya. Ini mengakumulasi pengetahuan.

Seluruhnya jadi hal yang mengasyikkan dan membangun keutuhan. Terlebih, jika validitas informasinya meyakinkan.

 

Jalan Keluar

Mengembalikan diri pada cara dan gaya mengumpulkan detail visual, auditori, maupun tertulis dengan keluasaan yang memadai, lanjut Schimming, jadi jalan keluar mengatasi kejenuhan informasi.

Seluruh langkah di atas pada akhirnya, mereduksi keadaan over-connected. Paradoks over-connected berupa tiadanya keterhubungan yang bermakna, jadi realitas yang melelahkan.

Jumlah screntime yang tinggi, juga teralihkannya perhatian dari hal-hal yang analog, berujung pada kematian relasi.

Yang kalaupun relasi itu ada, tak sepenuhnya ditopang kesadaran. Ditambah pula, tinggi peran algoritma. Karenanya, hidup singkat ini mestinya tak berakhir sebagai over-connected.

Yang sudah pasti ada di ujung, tak lain hanya kekosongan bukan? 

Infografis 4 Rekomendasi Chatbot AI Terbaik. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis 4 Rekomendasi Chatbot AI Terbaik. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya