OPINI: Bom Waktu PHK, Quo Vadis Pekerja Indonesia?

Berdasar Data BPS Februari 2024, jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 150 juta jiwa, sekitar 95% terserap di dunia kerja dengan proporsi pekerja formal lebih sedikit dari pekerja informal.

oleh Liputan6dotcom diperbarui 26 Okt 2024, 20:32 WIB
Diterbitkan 26 Okt 2024, 18:52 WIB
Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja alias PHK. Foto: Freepik/master1305
Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja alias PHK. Foto: Freepik/master1305

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena cut off atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terus melanda Indonesia sungguh memprihatinkan. Gelombang PHK masih berlanjut. 

Belum lama Sritex Group dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang. Vonis pailit berarti tidak mampu membayar hutang sehingga ditindaklanjuti sita aset oleh kurator untuk pelunasan.

Putusan tersebut akan mempengaruhi nasib sekitar 50 ribu pekerja yang dalam waktu terakhir masih menggantungkan penghidupannya pada Sritex. Sekalipun pihak Sritex masih mencoba melakukan upaya hukum kasasi terkait putusan tersebut, namun terancamnya pekerja berupa dirumahkan tanpa pesangon atau hak-hak lain hingga PHK nampak semakin terbuka.

Peristiwa Sritex ini hanya bagian dari bola panas persoalan ketenagakerjaan Indonesia yang perlu dicarikan pemikiran strategis agar tidak meluas dan berdampak buruk terutama terhadap target Indonesia Emas 2045. Bahkan ancaman ini bermunculan di era bonus demografi 2030an yang seharusnya menjadi tonggak kemajuan bangsa.

Pemerintah diharapkan tidak abai terhadap masifnya PHK yang berdampak pada tingginya pengangguran, sehingga berkorelasi terhadap tingkat kemiskinan, kriminalitas, pendapatan dan produktivitas nasional, gini ratio, apatisme hingga bermunculannya gangguan kejiwaan.

Bahkan dalam jangka panjang, jika kondisi ini terus dibiarkan maka instabilitas sosial politik masyarakat berujung pada disintegrasi dan hilangnya kewibawaan pemerintah sebagai keniscayaan.

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan kekuatan utama dalam optimalisasi sumber daya nasional yang dimiliki suatu bangsa atau negara. Polemik SDM ini tidak hanya berkutat pada obstacle bernuansa material atau teknis.

Hal tersebut mengingat kecerdasan manusia bukan semata-mata andalan kemajuan, lebih dari itu nilai-nilai luhur yang berbasiskan ruh Pancasila mengandung makna daya adaptasi, gotong royong, keseimbangan dan kesinambungan ekosistem, karenanya kehadiran dan peran manusia tidak bisa serta digantikan oleh teknologi modern.

 

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (Depinas SOKSI), Dina Hidayana
Ketua Dewan Pimpinan Nasional Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (Depinas SOKSI), Dina Hidayana

Deindustrialisasi

Penduduk Indonesia tahun 2024 mencapai lebih 280 juta jiwa, terpadat keempat sedunia atau sekitar 3,5% dari populasi global. Sekitar 40% nya tinggal di daerah pedesaan. Artinya korban PHK Industri secara khusus akan berdampak sosial politik di wilayah perkotaan yang cenderung padat penduduk (60%).

Berdasar Data BPS Februari 2024, jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 150 juta jiwa, sekitar 95% terserap di dunia kerja dengan proporsi pekerja formal lebih sedikit dari pekerja informal. Hal tersebut mengindikasikan kondisi ketenagakerjaan Indonesia belum optimal, ujar Dina yang juga srikandi asli Soloraya ini.

Alih-alih ikhtiar strategis memperkuat industri nasional dan hilirisasi yang lebih bermakna dengan mengandalkan sumber daya nasional dan berorientasi ekspor, belakangan justru bertambah deret runtuhnya industri tanah air mempertahankan dirinya terutama di kurun waktu terakhir sejak Pandemi Covid-19.

Gempuran importasi dan minimnya keberpihakan pemerintah dalam melindungi produk lokal selalu menjadi alasan pembenar dalam menangkal tuduhan ketidakmampuan industri nasional bersaing di tengah arus deras globalisasi ekonom.

Deindustrialisasi dini telah berlangsung sejak tahun 2001. Salah satu penyebabnya karena Indonesia masih terlena dengan bertumpu pada sektor primer yang bersifat tradisional dan ekstraktif dalam mendulang pendapatan nasional.

Selain itu, mayoritas belum memiliki nilai tambah (added value), tanpa strategi industrialisasi dan hilirisasi komprehensif. Sifat industri kita masih statis tanpa roadmap jangka panjang yang terarah, ini memperparah turbulensi industri domestik sehingga tidak kompetitif ditengah persaingan manufaktur global yang masif, ujar Dina.

Untuk itu diperlukan redesign pembangunan yang menitikberatkan pada penguatan industrialisasi non ekstraktif dan hilirisasi padat karya yang bersumber dari potensi dalam negeri dengan mengerahkan kemampuan anak-anak bangsa dalam pengelolaan dan penciptaan nilai tambah produk/bahan baku.

Apabila pembangunan bertumpu pada penguatan industri, produktivitas nasional secara otomatis meningkat. Selain itu, terbuka lapangan pekerjaan sektor formal dengan dominasi tenaga kerja terdidik (high skill labour) dan kompetitif terhadap gempuran produk impor, artinya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat dapat signifikan membaik.

 

Penulis: Ketua Dewan Pimpinan Nasional Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (Depinas SOKSI) Dina Hidayana

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya