Liputan6.com, Jakarta - Pengembangan bioetanol sebagai alternatif energi yang ramah lingkungan dinilai sebagai langkah strategis untuk mewujudkan energi terbarukan di Indonesia. Bioethanol juga dianggap sebagai pilihan tepat untuk digunakan pada kendaraan berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT) agar menekan emisi karbon.
"Untuk menjaga stabilitas kebutuhan bahan bakar dan mengurangi emisi, kita perlu beralih ke EBT dengan siklus lebih cepat, salah satunya bioetanol," ujar Ahli Proses Konversi Biomassa Institut Teknologi Bandung (ITB), Ronny Purwadi, di Karawang, Kamis (6/8/2024).
Baca Juga
Menurutnya sektor transportasi masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, padahal EBT seperti geotermal, energi nuklir, dan surya telah tersedia. Pemerintah Indonesia pun telah mendorong penggunaan biodiesel, namun Rony menekankan bahwa bioetanol lebih relevan mengingat mayoritas kebutuhan bahan bakar adalah bensin.
Advertisement
"Jika kita ingin beralih ke kendaraan listrik (EV), kita harus mengganti semua mobil dengan yang baru, yang tentu membutuhkan waktu dan biaya besar," imbuhnya.
Ronny mengungkap, penggunaan bioetanol menawarkan berbagai keuntungan, termasuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, emisi gas rumah kaca, dan mendorong ketahanan energi nasional. Kelebihan lainnya adalah bioetanol masih dapat digunakan pada kendaraan yang biasa menggunakan bensin dan dapat memanfaatkan limbah organik.
"Bioetanol juga berpotensi menciptakan lapangan kerja baru, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi," kata  Ronny.
Meskipun bioetanol dapat diproduksi dari bahan baku pangan dan non-pangan seperti jagung dan singkong, produksinya masih terbatas. Saat ini, bioetanol hanya digunakan sebagai campuran E05 di Jakarta dan Surabaya. Sementara kebutuhan bensin nasional mencapai 29 juta kiloliter per tahun, dan produksi bioetanol baru mencapai 34.500 kiloliter.
"Perlu percepatan pengembangan bioetanol untuk memenuhi target bauran energi terbarukan yang ditetapkan pemerintah,"Â Ronny memungkasi.
Solusi Menurunkan Emisi di 2030
Selain mobil listrik berbasis baterai, kendaraan ramah lingkungan lain seperti hybrid dan bioetanol dapat membantu Indonesia mencapai target menurunkan emisi pada 2030. Terlebih, Indonesia merupakan negara yang kaya energi dan berpotensi tinggi mengembangkan bioetanol.
"Mobil hybrid dan bioetanol, salah satunya, dapat menjadi solusi menurunkan emisi di 2030," ujar Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).
Menurutnya, banyak tantangan yang dihadapi Indonesia untuk dapat memenuhi target dunia mencapai emisi nol bersih (Net Zero Emission) pada 2060. Namun untuk target yang lebih dekat, yakni pengurangan emisi karbon sebanyak 41 persen pada 2030, dapat didorong dengan kendaraan yang menggunakan energi ramah lingkungan lain, yakni hybrid dan bioetanol.
Untuk itu, Bob menegaskan, insentif terhadap mobil hybrid juga perlu diberikan pemerintah untuk mendorong masyarakat mengadopsi kendaraan kombinasi bensin dan listrik tersebut. Terlebih di tengah daya beli masyarakat yang terus menurun.
Ia menyatakan, pihak produsen maupun industri akan selalu siap untuk mengembangkan penggunaan opsi energi ramah lingkungan pada kendaraan di Indonesia. Seperti Toyota yang telah menunjukkan kesiapan dalam menyediakan opsi kendaraan ramah lingkungan lain di Indonesia dengan menghadirkan Fortuner dan Innova Zenix Flexi Fuel bertenaga bioetanol.
Advertisement
Emisi Rendah, Petani Sejatera
Dalam upaya mengejar target utilisasi energi baru terbarukan (EBT) yang ditetapkan Pemerintah sebesar 23% pada tahun 2025 dan ditingkatkan hingga 31% pada tahun 2050, berbagai inisiatif diimplementasikan untuk mencapai tujuan tersebut. Penggunaan EBT seperti bioenergi dapat membantu mengurangi ketergantungan konsumsi bahan bakar fosil di semua sektor terkait seperti pembangkit listrik, domestik, industri, dan sektor transportasi. Bioenergi, termasuk Biofuel, memainkan peranan utama dalam mendukung Indonesia untuk menuju transisi energi serta mereduksi emisi.Â
Salah satu strategi optimalisasi potensi EBT di Indonesia yakni melalui inisiatif program bioetanol. Bioetanol dapat dihasilkan dari tanaman tebu, sorgum, jagung, singkong, dan sebagainya tergantung pada ketersediaan sumber daya di negara setempat. Sehingga tidak hanya menekan emisi saja, namun peningkatan penggunaan tanaman-tanaman tersebut akan membantu kesejahteraan para petani Indonesia.Â
Bahan bakar etanol sendiri memiliki performa unggul dan emisi lebih rendah dibandingkan bahan bakar fosil. Campuran etanol di dalam bahan bakar fosil bertujuan untuk mendukung pengurangan emisi dan impor gasoline nasional serta menciptakan pekerjaan baru di sektor perkebunan dan pengolahan bahan baku bioetanol. Hal ini tentunya sejalan dengan semangat menuju era transisi energi.Â
Etanol menjadi bahan bakar masa depan yang dapat membangun positive cycle, dengan peningkatan penggunaan bioetanol menggunakan tanaman yang diolah oleh para petani tentunya dapat meningkatkan taraf ekonomi serta kesejahteraan mereka. Jika petani sejahtera maka mereka akan mampu membeli mobil lagi, hal itulah yang dinamakan positif cycle. Penjualan dan konsumsi naik sementara import bahan bakar fosil akan menurun.
Akan tetapi yang terjadi saat ini adalah, ketika kinerja otomotif meningkat, maka impor bahan bakar fosil akan naik, sementara bahan bakar bioenergi yang dihasilkan petani tidak dapat maksimal diutilisasi. Inilah yang dinamakan negative cycle, yang juga dapat menimbulkan efek domino berupa meningkatnya subsidi import bahan bakar bagi kendaraan.
Berbagai manfaat positif dapat diperoleh dari optimalisasi bahan bakar etanol diantaranya :
- Memenuhi komitmen pengurangan emisi karbon
- Mengejar target utilisasi EBT di tahun 2030
- Meningkatkan kontribusi EBT dalam bauran energi nasional
- Meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi
- Mengurangi konsumsi dan impor BBM High-quality engine performance
- Meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi industri pertanian nasional
- Diproduksi dari green renewable resources, non-toxic, dan biodegradable
Bahan bakar etanol saat ini sudah digunakan hampir di seluruh dunia. Banyak negara yang sudah mencampur bensin dengan etanol. Komposisinya ada yang dicampur dengan 5Â persen, ada juga yang 10 persen. Di Indonesia, bahan bakar etanol saat ini memang baru 5 persen, namun ke depannya bisa semakin tinggi.Â
Kerjasama Toyota Indonesia Bersama Pertamina
Saat ini Toyota Indonesia sudah bisa memproduksi mesin yang mampu menggunakan Bioetanol. Mesin yang diproduksi juga sudah mampu menggunakan bahan bakar campuran etanol tanpa mengubah mesin yang ada. Toyota Indonesia sudah mengembangkan kendaraan dengan bahan bakar bioetanol baik di kendaraan berteknologi ICE pada Fortuner Flexy Fuel Vehicle (FFV), maupun digunakan di kendaraan berteknologi elektrifikasi pada Kijang Innova Zenix Hybrid FFV.
Pada GIIAS 2024, Toyota Indonesia berkolaborasi bersama Pertamina melakukan uji coba bahan bakar alternatif bioetanol pada unit Fortuner FFV dan Kijang Innova Hybrid FFV. Pengisian perdana dan test drive kedua produk Toyota ini menggunakan bioetanol yang bersumber dari batang tanaman sorgum. Proses produksi bahan bakar nabati tersebut menggunakan peralatan distilasi dan dehidrasi yang terdapat di fasilitas Laboratorium Technology Innovation milik Pertamina. Nira sorgum didapatkan melalui kerja sama dengan universitas setempat yang sudah melakukan uji penanaman di beberapa lahan. Setelah itu nira yang dihasilkan difermentasi menjadi bioetanol dan kemudian dimurnikan.
Semua usaha untuk mengurangi emisi melalui pemanfaatan EBT harus digencarkan, khususnya pada industri otomotif nasional. Dengan pengembangan industri otomotif yang mensejahterakan petani, akan berkontribusi dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Sehingga roadmap emisi, energi, dan otomotif mampu menjadi solusi mobilitas sekaligus mensejahterakan masyarakat. Sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan etanol, Pemerintah juga bisa melakukan trade off yaitu menukar barang-barang yang diekspor dengan impor etanol, sambil menyiapkan perkebunan untuk melakukan substitusi.
Advertisement