Begini Keterpilihan 3 Cagub DKI Bila Pilkada 2 Putaran ala LSI

Survei menyebutkan, bila pilkada dilakukan 2 putaran, pemilih Agus-Sylviana akan lebih banyak beralih ke Anies-Sandi dibanding Ahok-Djarot.

oleh Ahmad Romadoni diperbarui 07 Okt 2016, 22:02 WIB
Diterbitkan 07 Okt 2016, 22:02 WIB
20160921-Jas Merah Untuk Ahok dari Megawati-Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) didampingi Djarot Saiful Hidayat dan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri memberi keterangan usai resmi mendaftar maju pada Pilkada DKI Jakarta 2017, di KPUD DKI Jakarta, Rabu (21/9). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Posisi bakal calon gubernur petahana DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mulai terancam. Kehadiran Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono di Pilkada DKI 2017 cukup mempengaruhi elektabilitasnya.

Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network menyebut Ahok-Djarot tak akan menang di putaran kedua, baik melawan pasangan Anies-Sandiaga maupun Agus-Sylviana. Beberapa faktor cukup mempengaruhi persepsi publik pada Ahok-Djarot.

Survei itu menyebutkan, bila Pilkada dilakukan 2 putaran, para pemilih Agus-Sylviana akan lebih banyak beralih ke Anies-Sandi dibanding Ahok-Djarot. Tambahan suara untuk Anies-Sandi bisa mencapai 64,3 persen sedangkan untuk Ahok-Djarot hanya sekitar 14,3 persen.

Hal itu juga berlaku saat pasangan Agus-Sylviana yang maju putaran kedua. Suara Anies-Sandi 59,1 persen beralih ke Agus-Sylviana. Sedangkan 8,6 persen suara Anies-Sandi beralih ke Ahok.

"Kedua, pemilih Muslim. Pasangan Anies-Sandi dan Agus-Sylvi unggul di pemilih muslim yang basis pemilihnya lebih dari 90 persen. Ditambah dengan tidak inginnya nonmuslim menjadi gubernur DKI Jakarta terus meningkat dari 40 persen pada Maret menjadi 55 persen pada Oktober 2016," jelas peneliti LSI Network Adrian Sopa di kantornya, Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta, Jumat (7/10/2016).

Faktor pemilih nonetnis Tionghoa juga memiliki andil. Hal itu ditambah dengan meningkatnya keinginan masyarakat tidak memilih gubernur beretnis Tionghoa dari 30 persen menjadi 50 persen pada Oktober 2016.

"Lalu sentimen Anti Ahok. Sentimen ini juga semakin besar meski di luar isu agama dan primordialisme, terutama kebijakan dan personality Ahok. Masyarakat yang tidak setuju dengan kebijakan dan personality Ahok juga meningkat dari 25 persen menjadi 38,6 persen pada Oktober 2016," papar Adrian.

Beberapa faktor itu belum termasuk mobilisasi aktif dari para tokoh agama dan organisasi seperti istighosah di Istiqlal yang melahirkan Risalah Istiqlal, demo aliansi peduli umat dan bangsa, imbauan Ketua MUI dan Ketua NU Jakarta.

"Ini potret bila Pilkada dilakukan akhir September 2016. Ahok selalu mungkin bangkit kembali jika dia bisa mengurangi meluasnya sentimen Anti Ahok," pungkas Adrian.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya