12 Calon Kepala Daerah dari Dinasti Politik Ramaikan Pilkada 2017

Andika sebelumnya menjabat sebagai anggota DPR 2014-2019 dicalonkan DPD Partai Golkar Banten yang diketuai Tatu Chasanah, adik kandung Atut.

oleh Liputan6 diperbarui 15 Jan 2017, 06:13 WIB
Diterbitkan 15 Jan 2017, 06:13 WIB
20161218-Sosialisasi Pilkada Serentak Tahun 2017 di Terminal Senen-Jakarta
Seorang warga membaca poster yang dibagikan oleh KPU saat sosialisasi Pilkada DKI 2017 di Terminal Senen, Jakarta, Minggu (18/12). Sosialisasi pesta demokrasi ini guna mencegah banyaknya pemilih yang golongan putih atau golput. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Koalisi Pilkada bersih menemukan setidaknya 12 calon kepala daerah di 11 daerah berasal dari dinasti politik dan akan mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2017.

"Fenomena politik dinasti akan terjadi dalam Pilkada serentak pada 15 Februari 2017. Sebanyak 12 calon kepala daerah di 11 daerah diketahui, berasal dari dinasti politik yang telah terbangun di daerahnya masing-masing," kata Almas Sjafrina dalam keterangan tertulis, Sabtu (14/1/2017), seperti dikutip dari Antara.

Kedua belas calon pemimpin daerah itu adalah Andika Hazrumy (calon Wakil Gubernur Banten), Hana Hasanah Fadel (calon Gubernur Gorontalo), Dodi Reza Alex Noerdin (calon Bupati Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan), Adam Ishak (calon Wakil Bupati Mesuji, Lampung), Parosil Mabsus (calon Bupati Lampung Barat).

Selanjutnya Atty Suharti (calon Wali Kota Cimahi, Jawa Barat), Siti Rahma (calon Bupati Pringsewu, Lampung), Dewanti Rumpoko (calon Wali Kota Batu, Jawa Timur), Karolin Margret Natasa (calon Bupati Landak, Kalimantan Barat), Noormiliyani A. S. (calon Bupati Barito Kuala, Kalimantan Selantan).

Kemudian Rahmadian Noor (calon Wakil Bupati Barito Kuala) dan Tuasikal Abua (calon Bupati Maluku Tengah).

"Andika Hazrumy bahkan memiliki hubungan kekerabatan dengan terpidana kasus korupsi yang saat ini masih menjalani masa tahanan, yaitu Atut Chosiyah," ungkap Almas.

Jejak Calon

Andika sebelumnya menjabat sebagai anggota DPR 2014-2019 dicalonkan DPD Partai Golkar Banten yang diketuai Tatu Chasanah, adik kandung Atut Chosiyah.

Sementara di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, pasangan Noormiliyani dan Rahmadian Noor merupakan kerabat dari Hassanudin Murad, Bupati Barito Kuala yang sudah tidak dapat mencalonkan diri kembali karena telah menjabat dua periode jabatan.

Noormiliyani merupakan istri Hasanuddin Murad yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua DPRD Kalimantan Selatan, sedangkan Rahmadian Noor merupakan keponakan Hasanuddin Murad yang sebelumnya menjabat sebagai anggota DPRD Barito Kuala. Keduanya dicalonkan Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Selanjutnya Atty Suharti adalah petahana calon Wali Kota Cimahi yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas kasus penerimaan suap sebesar Rp 500 juta terkait proyek pembangunan tahap dua Pasar Atas Baru Cimahi.

Atty merupakan istri dari Wali Kota Cimahi 2002-2007 itu dicalonkan Partai Nasdem, Golkar, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

"Persoalan utama dari dinasti politik adalah penguasaan sumber daya dan dampaknya yang dapat melemahkan check and balance dalam pemerintahan terutama bila dinasti telah mencengkeram eksekutif dan legislatif. Persoalan tersebutlah yang membuat dinasti dekat dengan korupsi," tambah Almas.

Memutus Dinasti Politik

Apalagi dinasti politik baik sebagai kepala daerah maupun anggota DPR atau DPRD membuat posisi tersebut dengan segala kewenangannya menjadi alat bagi dinasti untuk mengakses sumber daya ekonomi.

"Dinasti politik pun membutuhkan dana besar untuk merawat kekuasaan dan jaringan di partai, ormas keagamaan, ormas kepemudaan dan simpul-simpul politik lainnya. Dua ini memicu potensi korupsi yang lebih besar untuk dilakukan anggota dinasti politik," tegas Almas.

Menurut Almas, satu-satunya cara untuk memutus dinasti politik adalah peran pemilih (voters) agar selektif dan cerdas dalam menentukan pilihannya dalam pilkada mendatang.

"Pemilih harus melihat rekam jejak kandidat dan termasuk rekam jejak keluarga yang terafiliasi dengan kandidat. Langkah ini dilakukan untuk melihat apakah dinasti politik yang maju dalam pemilu memiliki persoalan atau potensi untuk melakukan kejahatan korupsi atau tidak," jelas Almas.

Jika ada keluarga dari dinasti politik pernah atau sedang terlibat dengan kasus korupsi, maka sudah sepatutnya masyarakat untuk tidak memilihnya demi menyelamatkan demokrasi dan kepentingan publik yang lebih luas agar persoalan korupsi di daerahnya tidak lagi terulang.

"Selain itu, untuk meminimalisasi dinasti politik pada pemilu selanjutnya, pencalonan oleh partai politik seharusnya tidak berada di tangan ketua umum tetapi diputuskan melalui rapat pengurus anggota melalui mekanisme yang demokratis serta mempertimbangkan kemampuan dan integritas calon," ungkap Almas.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya