Liputan6.com, Jakarta - Kewajiban transaksi menggunakan rupiah berdampak terhadap sektor properti. Aturan ini mewajibkan semua jenis properti dijual atau disewakan dalam Rupiah.
Ferry Salanto, Associate Director Research Colliers International Indonesia menuturkan, di sektor perkantoran, pengembang lebih memilih membangun gedung perkantoran dengan pinjaman dolar Amerika Serikat (AS) karena bunga lebih rendah. Gedung yang dibangun biasanya juga menerapkan tarif sewa dalam dolar AS.
Baca Juga
"Dengan kebijakan ini, developer tidak bisa mendapat income dalam Dolar. Sementara itu, investasinya dalam bentuk dolar. Meski pinjamannya berbunga rendah, namun risiko lain nilai mata uang Rupiah yang naik turun membuat risiko lebih besar bagi developer. Dengan demikian membangun gedung perkantoran jadi tak menarik lagi," kata Ferry seperti dikutip dari laman www.rumah.com, Rabu (8/7/2015).
Advertisement
Di sektor residensial, yang hampir semua transaksi menggunakan Rupiah, kebijakan ini tidak banyak berdampak. Sementara itu, pengembang diperkirakan terus membangun proyek hunian baru, menyusul dilonggarkannya aturan loan to value (LTV).
Akan tetapi, Ferry mengatakan, peraturan baru ini agaknya belum terlihat di sektor serviced apartment yang masih menggunakan dolar AS. Demikian pula dengan beberapa hunian ekspatriat yang masih enggan mengutip bayaran dalam Rupiah.
Di sektor ritel, dampak regulasi ini tergolong kecil. Lantaran, dua pusat perbelanjaan besar yaitu Plaza Indonesia dan Plaza Senayang telah mematok angka Rp 13.000 per dolar AS.
Sedangkan sektor properti industrial, tarif sewa, dan harga jual akan dikonversikan dalam waktu dekat. Pemerintah melalui Bank Indonesia, menerbitkan Surat Edaran BI (SEBI) Nomor 17/11/DKSP tentang kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ahm/)