REI Tolak Rencana Pengenaan Pajak Properti Rp 2 Miliar

Ketua Umum REI, Eddy Hussy menuturkan pihaknya sedang dalam proses mendetilkan kebijakan deregulasi.

oleh Agustina Melani diperbarui 16 Sep 2015, 22:05 WIB
Diterbitkan 16 Sep 2015, 22:05 WIB
Ilustrasi investasi Properti 4
Ilustrasi investasi Properti (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Real Estate Indonesia (REI) menilai kebijakan pemerintah terkait pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang dikenakan pada properti senilai Rp 2 miliar ke atas prematur.

"Rencana ini sangat bertentangan dengan paket kebijakan deregulasi ekonomi yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo," ujar Eddy Hussy, Ketua Umum REI, seperti dikutip dari www.rumah.com, Rabu (16/9/2015).

Ia mengatakan, saat ini pelaku industri properti sedang dalam proses mendetilkan kebijakan deregulasi, jadi tidak perlu ada sosialisasi prematur atas kebijakan yang berpotensi meresahkan pelaku pasar.

"Kami sangat mengapresiasi pemerintah menjadikan industri properti sebagai salah satu lokomotif ekonomi dalam paket deregulasi ekonomi tapi wacana prematur soal PPnBM ini bisa meresahkan pasar," kata Eddy.

Eddy berharap ada pembahasan lebih lanjut antara pemerintah, pengembang, dan pemangku kepentingan industri properti untuk mendetilkan kebijakan. "Kami sudah melakukan kajian dan siap untuk berdiskusi dengan pemerintah," tutur Eddy.

Dia menyadari keinginan Pemerintah untuk menerapkan kebijakan baru tersebut adalah demi memenuhi target penerimaan negara dari sektor pajak untuk tahun 2015. Namun, menyikapi rencana perubahan aturan perpajakan itu, REI berpendapat perlunya sejumlah pertimbangan agar revisi aturan perpajakan bagi subsektor properti yang berkategori mewah dan sangat mewah dapat diimplementasikan dengan baik, dan mampu menjaga sektor properti dapat bertumbuh dengan baik.

"Jika properti dengan harga di atas Rp 2 miliar dikenakan PPnBM, maka sektor properti akan terbebani pajak penjualan sebesar 45 persen. Rinciannya PPN 10 persen, PPh 5 persen, PPnBM 20 persen, Pajak Sangat Mewah 5 persen, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5 persen. Belum lagi pajak-pajak yang harus ditanggung oleh pengembang sebelumnya, seperti pajak kontraktor (PPN maupun PPh), akuisisi lahan, sertifikat induk, dan sebagainya," ujar Eddy.

Eddy mengatakan, pihaknya menyadari pentingnya kebijakan Pemerintah dalam mendorong peningkatan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Namun, penerapan target penerimaan negara itu tentunya jangan sampai justru melemahkan sektor properti. Sebab, kalangan pengembang sudah merasakan adanya perlambatan pertumbuhan penjualan pada 2014 dan kemungkinan akan terus berlanjut pada tahun ini.

"Kami memprediksi, jika rumah seharga Rp 2 miliar terkena PPnBM, maka konsumen akan menahan diri untuk membeli properti. Penjualan properti pengembang menjadi terhambat yang berpotensi mengganggu sektor industri lainnya baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan sektor properti," kata Eddy.

Eddy mengatakan, apabila pelemahan ini terus berlanjut akan berdampak terhadap sektor industri lainnya, termasuk perbankan selaku sektor penunjang properti dan akan mengurangi penyerapan tenaga kerja yang jumlahnya sangat besar. (Ahm/Igw)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya