Liputan6.com, Jayapura - "Hello Porro, Corn? Or cigarette?"
Porro dalam sapaan keseharian diartikan sebagai 'saudara' atau 'sahabat', yang berasal dari bahasa Papua Nugini.
Kata-kata itu terus diucapkan oleh Alwi kepada calon pembeli yang rata-rata warga Papua Nugini di Pasar Marketing Point di Wutung, perbatasan Papua dan Papua Nugini, Selasa (14/3/2016).
Lelaki asal Makassar berusia 40 tahun itu sudah hampir 15 tahun berdagang di sana. Dia fasih menawarkan sejumlah barang dagangannya siang itu dengan bahasa Inggris Fiji, bahasa keseharian yang digunakan oleh masyarakat Papua Nugini.
"Corn and cigarette, one kina. Water two kina and three egg," kata Alwi lagi. Lantas saja sang pembeli langsung mengeluarkan dua kina untuk harga tiga buah telur yang siap santap.
Alwi menyebutkan rata-rata pembeli di saat hari pasar adalah warga Papua Nugini yang berada di sekitar perbatasan, yakni dari Kampung Skow atau dari Vanimo. Tak jarang masyarakat dari Port Moresby, ibu kota Papua Nugini, membeli kebutuhannya di pasar yang terletak di wilayah Indonesia ini.
Di dalam transaksi jual-beli di pasar perbatasan itu, tak jarang warga Papua Nugini, khususnya yang berasal dari Kampung Skow, juga menggunakan bahasa Indonesia.
"Saya hari ini membeli beras dan mi instan. Satu karung beras 10 kilogram seharga 50 kina," kata Johanes, seorang warga Skow.
Baca Juga
Johanes yang warga negara Papua Nugini sedikit memahami dan dapat menggunakan bahasa Indonesia, walaupun pengucapannya juga terbata-bata.
Menurut Johanes, hampir segala kebutuhan masyarakat yang berdekatan dengan perbatasan membeli segala kebutuhan hariannya di pasar ini.
Advertisement
"Harganya lebih murah. Satu dus mi instan bisa dihargai Rp 86 ribu. Jika sudah berada di wilayah Papua Nugini, harganya bisa mencapai dua kali lipat. Kualitas dan harganya bisa dijamin," ucap Johanes yang di kampungnya membuka kios kelontongan.
Saat ini harga 1 kina setara dengan Rp 3800. Proses jual-beli di pasar itu juga menggunakan harga kelipatan. Misalnya saja dengan 1 kina, biasa pembeli mendapatkan satu buah jagung yang sudah masak dan satu batang buah rokok.
"Kami tak ada uang kembalian, sehingga pembeli selalu memberikan uang dalam kelipatan 1 kina, 2 kina, atau jumlah yang lebih besar lainnya," ucap Alwi lagi yang selalu menjajakan dagangannya pukul 09.00 WIT hingga 16.00 WIT.
Sulit mendirikan tempat penukaran uang
Kesulitan menggunakan mata uang rupiah di pasar perbatasan juga menjadi sorotan dari Kepala Bank Indonesia Perwakilan Papua, Joko Supratikto. Pihaknya masih berusaha untuk mendirikan tempat penukaran uang. Apalagi peraturan mewajibkan menggunakan transaksi rupiah di seluruh wilayah negara RI.
"Keberadaan penukaran uang di perbatasan minim. Kita masih mengupayakan untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah atau pihak swasta lainnya, agar dapat melakukan penukaran kina dengan rupiah," kata Joko, ketika ditemui Liputan6.com.
Kesulitan dalam pendirian penukaran uang juga tak lepas dari faktor keamanan. Saat ini penukaran uang hanya disediakan oleh perorangan di pasar tersebut.
"Kami akan meminta perorangan itu untuk membuat penukaran uang secara resmi karena izin untuk pendirian penukaran uang itu sangat mudah dan tidak membutuhkan biaya," ia menjelaskan.
Hari Pasar
Hari pasar di Pasar Marketing Point hanya berlaku setiap Selasa-Kamis dan Sabtu. Pasar tersebut menyediakan segala kebutuhan pokok, mulai dari sembako hingga pakaian dan alat kelengkapan lainnya.
Pada setiap hari pasar, biasanya dikunjungi hingga 200-300-an orang. Pagar pelintas batas di Wutung menjadi satu-satunya pintu masuk menuju ke wilayah Indonesia.
Siang itu, pagar berwarna kuning sengaja dibuka sekitar 1 meter untuk memudahkan warga PNG keluar-masuk wilayah Indonesia.
“Ini adalah hari pasar bagi warga dua negara di pasar perbatasan RI-PNG. Kebanyakan warga PNG yang melakukan transaksi jual beli adalah warga yang bermukim di Wutung dan Vanimo,” kata Ahmad, salah satu anggota Batalion 411/Raider Kostrad.
Warga yang datang dari seberang, kata Ahmad, biasanya datang secara berkelompok. Di pos pengamanan itu, pihaknya memeriksa surat lintas batas yang dikeluarkan oleh personel keamanan PNG dan kembali diperiksa di pos pengamanan di Indonesia.
Warga dari Vanimo diberikan lembaran surat berwarna putih yang berisi jumlah orang yang melintas batas itu. Namun untuk warga di Wutung biasanya menggunakan ID card berwarna kuning.