Liputan6.com, Gorontalo - Sebanyak 80 persen wilayah Cagar Alam Tanjung Panjang, di Kabupaten Pahuwato, Gorontalo, berubah menjadi tambak yang dikelola pribadi. Aktivis lingkungan setempat, Rahman Dako menyebut alih fungsi lahan itu tidak lepas dari kebijakan pemerintah di masa lalu. Saat itu, Gorontalo masih menjadi bagian dari Sulawesi Utara.
Dari hasil analisis citra, kerusakan mangrove (bakau) paling banyak adalah pada saat Pohuwato baru saja menjadi kabupaten baru antara tahun 2003-2010. Pada masa Bupati Pahuwato pertama, ribuan orang diberi peluang besar untuk menguasai lahan mangrove dan menjadikannya tambak.
"Selama 30 tahun terakhir, Pohuwato kehilangan mangrove 7.546 hektare atau setengah dari luasan yang ada. Cagar alam Tanjung Panjang seluas 3.400 ha, yang seharusnya tidak tersentuh oleh siapapun, sekitar 80 persen di antaranya telah berubah menjadi tambak," ujar Rahman seperti dilansir Antara, Senin (28/3/2016).
Baca Juga
Menurut dia, mangrove yang tersisa tinggal di pinggir sungai dan daerah yang sulit dijadikan tambak. Namun, alih fungsi besar-besaran lahan mangrove itu belum ada yang ditangani oleh kepolisian ataupun kejaksaan.
Ia bahkan mengatakan ada oknum anggota Polres Pohuwato yang terlibat jual beli lahan mangrove ke masyarakat.
"Caranya adalah dia membuka lahan mangrove di hutan lindung dan kemudian mencari pembeli di Sulawesi Selatan. Pembeli sudah menjual seluruh harta miliknya di Sulsel dan pindah mengelola tambak di hutan lindung Pohuwato," ujar Rahman.
Ia menegaskan perusakan mangrove di Pohuwato harus dihentikan dan ada solusi agar wilayah Cagar Alam dan hutan lindung yang telah dikuasai oleh warga masyarakat bisa dihijaukan kembali.
"Harus ada perlakuan memaksa dari pemerintah untuk intensifikasi tambak, bukan tambak tradisional seperti saat ini. Budidaya perikanan dan perikanan tangkap harus dihidupkan kembali supaya ada alternatif lain bagi buruh tambak yang tidak menguasai lahan," ucap Rahman.