Cerita Orangtua tentang Ima, Mantan TKI yang Pidato di AS

Orangtua Ima, mantan TKI yang bakal berpidato di konvensi Partai Demokrat AS itu, baru tahu mengenai pekerjaan anaknya semalam.

oleh Zainul Arifin diperbarui 27 Jul 2016, 11:32 WIB
Diterbitkan 27 Jul 2016, 11:32 WIB
Kisah Orangtua Tentang Ima, Mantan TKI yang Pidato di AS
Orangtua Ima, mantan TKI yang bakal berpidato di konvensi Partai Demokrat AS itu baru tahu mengenai pekerjaan anaknya semalam. (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Liputan6.com, Malang – Rumah berdinding warna cokelat di Dusun Krajan, Desa Kanigoro, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu tampak lengang lantaran hanya dihuni pasangan suami istri Turiyo dan Alimah.

Sore itu, keduanya sumringah mengabarkan putri sulungnya, Imamatul Maisaroh, dalam waktu dekat akan pulang ke Indonesia. Sudah 19 tahun ini Ima, panggilan akrab putrinya itu, bermukim di Amerika Serikat.

Nama Imamatul Maisaroh dalam dua hari terakhir ini menyita perhatian. Mantan TKI sektor domestik itu dijadwalkan akan berpidato di atas panggung konvensi nasional Partai Demokrat Amerika Serikat. Ima adalah perempuan asal Indonesia pertama yang berkesempatan pidato saat konvensi partai itu.

"Tadi malam Ima telepon, cerita panjang lebar menjelaskan aktivitasnya, termasuk undangan jadi pembicara di Partai Demokrat Amerika. Dia juga bilang akhir tahun ini akan pulang karena kebetulan ada pekerjaan di Kalimantan," ujar Turiyo ditemui di rumahnya, Selasa (26/7/2016).

Ima terakhir pulang pada 2014 silam. Saat itu, ia sekaligus mengajak dua anaknya, Aisyah dan Leonardo, yang sempat ditinggal setahun di kampung halaman untuk tinggal di Negeri Paman Sam. Padahal, kedua bocah hasil pernikahan Ima dengan seorang pria asal Meksiko itu baru duduk di kelas 3 dan 2 di SDN Kanigoro 1.

"Cucu saya baru belajar bahasa Indonesia, terus diajak ke Amerika lagi. Ya tak apalah, kan sama ibunya sendiri," tutur Turiyo.

Turiyo awalnya tak tahu sama sekali tentang pekerjaan anaknya di sebuah lembaga yang memerangi perdagangan manusia di Amerika Serikat. Di lembaga itu, Ima bakal menceritakan pengalaman hidupnya jadi korban perbudakan manusia dalam pidatonya.

"Selama ini, dia hanya cerita sering keliling ke berbagai negara untuk urusan pekerjaan. Baru tadi malam saya dijelaskan kerjanya. Saya doakan yang terbaik untuknya dan keluarganya," kata Turiyo.

Ima adalah seorang anak kampung biasa. Ia hanya mengenyam pendidikan formal sampai kelas I SMA Khairudin Gondanglegi Kabupaten Malang. Ia terpaksa putus sekolah lantaran dinikahkan dengan pria yang berusia 12 tahun lebih tua. Pernikahan itu hanya berusia seumur jagung lantaran Ima memilih bercerai.

Pada 1997, Ima mendaftar ke perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) untuk bekerja ke Hongkong. Bukannya berangkat ke negara tujuan, Ima dan saudara sepupunya, Sri Wahyuni, menerima tawaran dari pemilik PJTKI untuk bekerja ke Amerika Serikat. Turiyo pun harus merogoh kocek sebesar Rp 600 ribu sebagai ganti biaya administrasi batal ke Hongkong.

"Di Amerika, nasib Sri Wahyuni, keponakan saya, lebih beruntung tak dapat musibah. Justru Ima yang dapat musibah, dua tahun bekerja tak dibayar," kata Turiyo.

Selain tak digaji, selama dua tahun itu pula Ima mendapat siksaan fisik dari majikannya. Kekerasan yang dialaminya itu tak pernah diceritakan pada Turiyo. Ima kemudian berhasil kabur dan mendapat tempat kerja yang lebih baik dan bahkan dibiayai untuk sekolah.

"Ima hanya cerita tak digaji, tak bilang kalau juga disiksa. Dia tak pernah mau cerita jelek, untung dapat tempat kerja baru dengan majikan yang lebih baik," urai Turiyo.

Ima disebut Turiyo sebagai anak yang baik dan rajin mengirim duit ke rumah. Bahkan saat kepulangannya pada 2014 itu, Ima memberi modal lebih dari Rp 11 juta ke Turiyo untuk beternak unggas. Namun, usaha itu terpaksa ditutup lantaran ratusan ayam ternaknya mati karena flu burung.

"Alhamdulillah meski ayamnya mati semua, duit modal sudah balik," tutur Turiyo.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya