Liputan6.com, Los Angeles - Berawal dari kisah suram penyelundupan manusia (human trafficking), seorang wanita Indonesia asal Desa Gondanglegi, dekat Kota Malang, Jawa Timur, diminta memberi pidato dalam Konvensi Nasional Partai Demokrat (DNC) AS.
Konvensi itu digelar di stasiun utama Wells Fargo di Kota Philadelphia pada 26 Juli 2016.
Lalu, bagaimana srikandi Indonesia bernama Ima Matul Maisaroh (33) bisa sampai diundang memberi pidato? Atau bagaimana ia bisa diangkat menjadi anggota Dewan Penasehat Gedung Putih bersama 10 anggota lainnya, Desember 2015 lalu?
Advertisement
Baca Juga
Dikutip dari Indonesian Lantern pada Senin (25/7/2016), Ima akan berbicara mengenai pengalaman pribadi bergulat melawan perdagangan dan penyelundupan manusia. Ia akan tampil bersama dengan belasan senator dan pembicara kelas kakap lainnya.Â
Dari kegigihannya, korban penyelundupan dan perdagangan manusia ini menjadi pembela dan pendamping korban-korban lainnya. Ima akhirnya mendapat kepercayaan menjadi staf di organisasi nirlaba Coalition to Abolish Slavery & Trafficking (CAST) sejak 2012.
Menurut data pihak berwenang, ada 40 hingga 45 ribu orang korban perdagangan dan penyelundupan manusia di AS.
CAST itulah yang dulunya menyelamatkan Ima dari kekerasan oleh majikannya di Los Angeles. Pada 1997, wanita jebolan kelas 1 SMA Khoirudin ini diterima sebagai seorang pramuwisma untuk seorang pengusaha interior desainer asal Indonesia yang bermukim di Los Angeles dan telah menjadi warga AS.
Kisah Pilu Paspor Ditahan Majikan
Bisa bekerja di negeri orang berbuah kesenangan tersendiri bagi Ima. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Majikan barunya menahan paspornya sejak di Bandara Internasional Los Angeles (LAX). Padahal, itu adalah dokumen yang tak boleh dipindahtangankan secara tidak sah.
Sejak saat itu, Ima mengalami kondisi kerja yang tidak manusiawi. Ia harus bekerja lebih dari 12 jam dalam sehari. Belum lagi tindak kekerasan yang dialaminya hampir setiap hari, termasuk untuk kesalahan-kesalahan kecil yang dialaminya.
Menurut hukum AS, kerja penuh waktu hanya dibatasi 40 jam setiap minggu, dengan upah minimum (minimum wage) yang tinggi menurut ukuran Indonesia. Jika lebih dari 40 jam, pemberi pekerjaan harus menghitungnya sebagai lembur.
Namun semua itu tak didapatkan oleh Ima.
Karena tidak tahan, ia menitipkan pesan kepada penjaga bayi tetangga yang kemudian membantunya melarikan diri menemui CAST, walaupun tanpa paspor.
Ima sempat ditampung di "rumah singgah" bagi kaum tunawisma, sampai akhirnya mendapat rumah layak dan bekerja untuk CAST.
Untuk mendapatkan kembali paspornya, Ima bekerja sama dengan FBI agar dipertemukan dengan majikannya di Bandara Los Angeles, sambil dirinya dipasangi penyadap. Bekas majikannya itu pun datang membawa paspor dan tiket sekali jalan, disertai janji akan mengirim gajinya setelah Ima tiba di Malang.
Karena rumitnya proses penuntutan, misalnya berkaitan dengan keberadaan saksi-saksi dan bekas luka, Ima akhirnya enggan melanjutkan dengan persoalan. Atas dasar itu, FBI pun tidak dapat menggugat bekas majikannya yang berlaku kasar itu.
Kasus tersebut pun terhenti, meski paspor Ima sudah kembali.
Namun demikian, hal ini tidak menyurutkan langkah Ima untuk terus mengembangkan sayapnya di dunia aktivis. Perjuangannya itu membawa ia bertemu para pejabat tinggi AS, termasuk Menteri Luar Negeri John Kerry dan Presiden Barrack Obama.
Satu lagi yang sangat ingin ditemuinya, yaitu Hillarry Clinton. Menurut Ima, "Dia satu-satunya pejabat tinggi AS yang punya program membantu para korban perbudakan dan perdagangan manusia, dengan menyumbang dana lewat Clinton Foundation."
Simak kisah Ima Matul Maisaroh di sini: