Liputan6.com, Pelalawan - Dianggap sebagai orang 'buangan' dari Pulau Jawa tentu saja membuat peserta transmigrasi pada medio 1990 ke Riau tidak betah. Meski diberi tanah seluas dua hektare untuk berkebun sawit dan setengah hektar untuk rumah serta bercocok tanam, sebagian besar memilih kembali ke tempat asalnya.
Banyak faktor membuat hal ini terjadi. Di antaranya, penyesuaian dengan masyarakat setempat dan kebingungan mencari nafkah karena sawit yang ditanam perlu waktu sekitar empat tahun berbuah dan menghasilkan uang.
Namun tidak semua transmigran putus asa. Kesabaran tahunan membuahkan hasil memadai. Mereka yang tetap yakin tetap merawat kebunnya hingga menuai sukses sampai sekarang.
Advertisement
Salah satunya adalah Zainal. Berangkat ke Riau pada tahun 1991 dari Garut, pedagang dodol ini ingin merubah nasib dengan ikut transmigrasi dan bertani sawit di Kabupaten Siak.
Baca Juga
Melalui Kelompok Tani Jaya Tani Makmur di Kabupaten Siak, dia menggarap lahannya dan bekerjasama skema plasma dengan PT Inti Indosawit Subur di Riau.
"Tak langsung seperti sekarang ini. Saya menunggu empat tahun dan selalu bersabar, hingga akhirnya seperti ini. Tiga anak yang saya bawa dan saat itu masih kecil, sekarang sudah sarjana semua. Ada yang jadi guru dan ada yang manager hotel di Pekanbaru," kata Zainal kepada wartawan di KUD Jaya Makmur, Siak, Selasa petang, 20 September 2016.
Dari sekian banyak orang Garut yang ikut transmigrasi, Zainal merupakan orang yang ingin bertahan di Riau. Sisanya ada yang kembali lagi dan menjual kaplingan (satu Kapling sama dengan dua hektar) ke orang lain.
"Pulang ke kampung ada yang menjadi tukang becak lagi. Melihat beberapa orang yang sukses, mereka (yang pulang) ingin balik ke sini (Riau) lagi. Bahkan ada yang menjadi pekerja di lahan yang dulunya dijual atau bekas miliknya," sebut Zainal.
Sejak kaplingan menghasilkan buah sawit, pendapatan Zainal memang tergantung harga sawit. Namun rata-rata tiap bulannya, Zainal bisa mendapatkan sekitar Rp 4 juta per bulan. Dan kalau musim baik, harga sawit tinggi, dia bahkan bisa meraup Rp 8-9 juta kotor per bulannya.
"Itu kotor pak, karena kita juga menghitung ongkos pupuk dan biaya pemanenan. Satu kapling itu kalau lagi bagus menghasilkan 7 ton perbulannya," kata Zainal.
Sejak pola plasma yang diterapkan perusahaan berhasil, Zainal memang tidak bisa menambah kaplingan sebagai anggota kelompok tani. Hanya saja, dia bisa membeli lahan lainnya untuk kemudian ditanam sawit lagi.
"Kalau kaplingan gak bisa nambah, kalau lahan lain adalah yang bisa dibeli. Dan saat ini, kaplingan sawit bisa mencapai Rp 200 juta. Kalau dulukan dikasih pemerintah. Makanya banyak yang menyesal sekarang," tegasnya.
Namun demikian, adanya petani plasma yang dulunya ikut transmigrasi sukses di Riau, tidak mampu menarik masyarakat di Jawa untuk mengadu nasib di Riau ketika sistem perpindahan masyarakat itu masih diterapkan.
"Ada juga yang tidak mau saat itu, meski ada yang sudah menuai hasilnya. Hal ini terjadi karena ketidaksabaran dan ingin memperoleh hasil cepat," sambung Nasib Wiyono, selaku Ketua KUD tersebut.
Dia juga mendapat kaplingan yang sama dengan Zainal dan bisa merubah nasibnya dari seorang pemulung menjadi petani sawit sukses.
"Saya itu dulu pemulung di Jogja. Begitu ada transmigrasi saya beranikan ikut. Memang butuh kesabaran. Ada yang ikut dan pulang kembali ke tanah asalnya dan jadi pemulung lagi, lahan kaplingannya dijual," kata Nasib.
Menjadi ketua KUD, nasih mengelola sekitar 920 hektar lahan yang dimiliki 460 kepala keluarga. Melalui KUD ini, dia juga menyalurkan bantuan kepada anggota untuk membangun usaha lainnya.
"Petani sawit di sini juga ada yang beternak sapi dan lainnya. KUD ini sendiri merupakan salah satu binaan Asian Agri dari 12 kelompok tani yang ada di sini," kata Nasib.
Jatuh Bangun Transmigran
Menurut Nasib, banyak penduduk transmigrasi yang dulu susah hidup di lahan kaplingan dan hanya punya rumah seperti gubuk, sekarang sudah punya rumah mewah dan berkendaraan motor.
Dia menyebutkan, keberhasilan ini merupakan buah dari kesabaran yang dipupuk sejak puluhan tahun lalu. Tanpa menyerah, pulang kampung dan menjual lahan, penduduk transmigran yang bertahan menjalankan kerjasama pengelolaan sawit dengan perusahaan melalui KUD.
"Ya inilah hasilnya yang diraih sekarang," katanya.
Meski keberhasilan ini juga tak bisa menarik peminat masyarakat di Jawa untuk bertransmigrasi, Nasib menyebut ada juga orang yang tertarik kala itu. Bahkan ada beberapa warga yang suka bertansmigran ke Sumatera dan Kalimantan beberapa kali.
"Begitu menyesal karena menjual lahan di Sumatera, ada peserta transmigran yang mencari ke Kalimantan. Bahkan di sini, ada satu keluarga dan bahkan sudah menjadi satu RT bertransmigrasi dan sukses," katanya.
Saat ini, rata-rata kebun plasma milik KUS sudah berusia tua. Perusahaan tengah menyiapkan rencana replanting atau penanaman kembali supaya masyarakat bisa cepat memanen.
"Kita bawa sekitar 900 orang anggota kelompok tani ke Joga untuk belajar. Kemudian, perusahaan melalui KUD juga menyalurkan bibit unggul agar sawit cepat berbuah," kata pihak perusahaan, Swester Ginting.
"Anggota KUD juga diajarkan berusaha yang lain selama replanting berlangsung supaya tidak kehilangan mata pencariannya. Kebun plasma sendiri ada sekitar 10.000 hektar. Itu diluar kebun inti perusahaan seluas 5.000 hektar," kata Swester.
Advertisement