Liputan6.com, Malang – Maryanto alias Markuat malam itu terbangun dari tidur dengan perut keroncongan. Demi mengusir rasa lapar, ia meminta istrinya Eri Mujayanti memasak nasi goreng. Sang istri pun beranjak ke dapur untuk memenuhi keinginan suaminya.
Dua cucu Maryanto yakni Fabiano (14) dan Aurel (4) lelap tertidur di kamar bersama bapak dan ibunya. Mereka berenam menghuni rumah berukuran sekitar 8 x 12 meter di Jalan Gatot Subroto RT 12 RW 2 Desa Clumprit Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Belum rampung mengolah nasi goreng, Eri merasakan tanah yang dipijaknya berguncang cukup kuat. Genting atap dapur pun berjatuhan, beberapa di antaranya menimpa kepala Eri.
Sontak Eri berteriak, diikuti suaminya, bergerak cepat lari keluar rumah. Anak dan menantunya terbangun dari ranjang tidur dan ikut lompat lari keluar rumah.
Baca Juga
Sadar masih ada dua bocah di dalam kamar, anak dan menantu Maryanto secepat kilat kembali masuk ke dalam dan membopong buah hatinya keluar menyelamatkan diri. Beberapa detik kemudian, atap rumah runtuh persis saat seluruh penghuni sudah berada di luar.
"Alhamdulillah, semua anggota keluarga selamat, atap rumah ambruk tepat setelah kedua cucu saya dibawa keluar rumah," kata Maryanto, Kamis, 17 November 2016.
Rumah mereka nyaris luluh lantak akibat gempa bumi berkekuatan 6.2 Skala Richter yang terjadi pada Rabu, 16 November 2016, pukul 22.10 WIB.
Advertisement
Patahan Indo-Australia dan Eurasia
Gempa berlokasi di 9.32 Lintang Selatan dan 113.12 Bujur Timur atau 147 kilometer tenggara Kabupaten Malang. Titik pusat gempa berada di kedalaman 69 kilometer di bawah laut.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Malang, gempa pada malam itu mengakibatkan 44 rumah rusak. Rinciannya, enam rusak berat, 14 rusak sedang dan 24 rusak ringan. Tidak ada korban jiwa dan kerusakan fasilitas umum dalam gempa itu.
Di sepanjang 2016 ini, gempa malam lalu merupakan yang terasa paling kuat dan terbesar guncangannya. Stasiun Geofisika Karangkates Malang merilis guncangan gempa terasa dari Yogyakarta sampai Bali dengan skala intensitas III – IV Modified Mercalli Intensity (MMI).
Pada 16 Maret 2015, gempa bumi berkekuatan 5 SR mengguncang perairan dekat Kabupaten Malang. Saat itu, tidak ada kerusakan apapun yang ditimbulkan. Dalam sejarahnya, Kabupaten Malang pernah mengalami gempa yang jauh lebih kuat dengan banyak korban jiwa.
Persisnya, gempa terjadi pada 19 Februari 1967 silam. Saat itu, skala intensitas gempa sebesar VII - IX MMI. Kerusakan terparah terjadi di Kecamatan Dampit dengan 1.539 rumah rusak, 14 orang tewas, 72 orang luka-luka. Di Kecamatan Gondanglegi sembilan orang tewas, 49 orang luka-luka, 119 bangunan roboh, 402 retak dan lima masjid rusak.
Kepala Stasiun Geofisika Karangkates Malang, Musripan mengatakan, wilayah selatan Malang memiliki karakter yang serupa dengan kawasan Sumatera. Banyak titik mega trust yaitu titik pertemuan lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia yang bertumbukan.
"Patahan di antara kedua lempeng bumi itulah yang mengakibatkan gempa. Setiap hari sebenarnya ada gempa, tapi kalau kekuatannya rendah ya tidak terasa," ujar Musripan.