Adonan Jawa dan Tionghoa di Wayang Potehi

Wayang potehi, salah satu kesenian asal Tiongkok, di Indonesia dimainkan oleh kelompok Fu He An yang mayoritas personelnya suku Jawa.

oleh Zainul Arifin diperbarui 23 Jan 2017, 12:01 WIB
Diterbitkan 23 Jan 2017, 12:01 WIB
Perpaduan Tionghoa dan Jawa di Wayang Potehi
Anggota Kelompok Fe Hu An persiapan bersiap mementaskan wayang potehi

Liputan6.com, Malang Sebuah panggung berdiri di pelataran Kelenteng Eng Ang Kiong, Kota Malang, Jawa Timur, sore itu. Seluruhnya bercat merah menyala. Deretan kursi tertata rapi tepat menghadap panggung. Sebagian di antaranya telah terisi penonton.

Diiringi lantunan musik, dialek Hokkian nyaring terdengar lewat pengeras suara membuka pementasan. Tak lama, sebuah boneka kecil menyembul dari balik panggung. Kali ini, giliran bahasa Indonesia jelas terdengar dari suara pria. Ini adalah pementasan wayang potehi atau wayang boneka terbuat dari kain.

Pementasan itu mengisahkan tentang Sie Kong Hwan, cucu dari Sin Ji Kui--seorang jenderal pada masa Dinasti Tong Kiaw. Sang jenderal adalah pahlawan kerajaan. Dalam cerita itu, Sie Kong Hwan mabuk di tengah pesta kerajaan, sehingga menimbulkan kegaduhan. Akhir cerita, akibat ulah Sie Kong Hwan raja menghukum mati sekitar 350 orang bermarga Sie yang masih kerabat dari sang jenderal.

Adalah kelompok Fu He An dari Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, yang memainkannya. Rencananya, pementasan wayang potehi bakal digelar tiap sore dan malam hari. Sejak sore itu sampai akhir Februari mendatang untuk perayaan Imlek di Kelenteng Eng Ang Kiong Kota Malang.

Dalang wayang potehi Kelompok Fu He An, Widodo Santoso mengatakan, untuk pembukaan di tiap pementasan harus menggunakan dialek Hokkian. Selanjutnya, bisa menggunakan bahasa Indonesia maupun Jawa untuk memudahkan penonton memahami cerita.

“Cukup di pembukaan saja menggunakan dialek Hokkian. Itu sudah pakem, tak boleh diubah,” kata Widodo usai pementasan di Malang, Minggu, 22 Januari 2017.

Dalam wayang potehi, ada 150 karakter tokoh bisa dimainkan bergantung jalur cerita. Seluruh wayang disimpan dalam satu set kotak wayang. Widodo dibantu seorang asisten dalang yang menyiapkan atau memainkan wayang jika butuh dua tokoh. Sehingga, seluruh karakter itu tak dimainkan bersama dalam sekali pementasan.

Wayang potehi merupakan salah satu kesenian asli dari Tiongkok. Di Indonesia, Kelompok Fu He An pimpinan Toni Harsono merupakan salah satu kelompok tertua yang masih melestarikannya. Kelompok ini bermarkas di Kelenteng Hong San Kiong di Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang.

Menariknya, mayoritas pemain wayang potehi dari kelompok ini adalah warga suku Jawa. Mulai dari dalang sampai pengiring musik. Saat pementasan di Kelenteng Eng An Kiong Kota Malang, ada lima personel turut serta. Tiga di antaranya bersuku Jawa, yakni dalang Widodo Santoso, Sugiono, dan Cokro. Dua lagi masih keturunan Tionghoa, yakni Andianto alias Ong Kiem Siang serta Budi Mulyono alias Tan Ping Wi.

“Selama kami bergabung dalam kelompok ini, tak pernah ada perbedaan soal kesukuan. Bahkan di tempat asal kami semua berbaur jadi satu,” ujar Widodo.

Ia mengaku belajar wayang potehi secara autodidak. Widodo seorang asisten dalang sebelum dipercaya menjadi dalang. Ia pun mengaku menjalankan ritual sam sing, menyediakan tiga makanan atau buah dari jenis yang sama sebelum membuka sebuah pementasan.

“Itu tradisi untuk membuka sebuah pementasan yang harus dilakukan oleh pemain wayang potehi,” tuturnya.

Pasang Surut Wayang Potehi

Perpaduan Tionghoa dan Jawa di Wayang Potehi
Salah satu karakter wayang potehi

Wayang potehi di Indonesia mengalami pasang surut dalam perjalanannya. Kelompok Fu He An secara resmi baru berdiri pada 2001 silam. Namun, embrio kelompok ini telah ada sejak pertengahan tahun 1970 an silam oleh sebuah paguyuban wayang potehi di Surabaya, Jawa Timur.

Salah seorang pengiring musik di Kelompok Fu He An, Andianto alias Ong Kiem Siang, mengatakan setelah pendiri paguyuban di Surabaya itu meninggal, banyak anggotanya yang mendirikan kelompok sendiri.

“Saat itu lumayan banyak kelompok. Tapi di masa itu pementasannya belum sebebas seperti sekarang ini,” ucap Andianto.

Menurut Andianto, pada masa itu wayang potehi hanya boleh dipentaskan di dalam kelenteng. Itu pun harus mengajukan izin ke pemerintah terlebih dahulu sebelum menggelar pementasan. Sebab, di masa Orde Baru, perayaan Imlek dibatasi dengan terbitnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967.

“Tidak hanya izin, seringkali juga dipungut biaya oleh petugas dalam jumlah lumayan besar,” ucap Andianto.

Wayang potehi dan kesenian asal Tiongkok lainnya akhirnya mendapat ruang gerak lebih bebas. Hal itu seiring dengan dicabutnya inpres produk Orde Baru itu oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur semasa menjadi presiden. Gus Dur mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 6 Tahun 2000 sekaligus menjadikan Imlek sebagai hari libur.

“Setelah kebijakan Gus Dur itu, wayang potehi bisa dimainkan di mana saja. Bisa di kelenteng, mal, gereja dan bahkan kami sering juga pentas di dalam pesantren di Jombang,” ujar Andianto.

Namun, era kebebasan berekspresi itu bertolak belakang dengan perkembangan wayang potehi. Banyak kelompok atau paguyuban yang justru bertumbangan. Sejauh ini, menurut Andianto hanya tersisa dua kelompok saja. Selain Kelompok Fu He An, ada Kelompok Merpati Lima di Surabaya yang masih dalam satu koordinasi.

“Dua kelompok ini ya tetap dari satu buyut guru yang sama. Kami ini sudah termasuk generasi ketiga,” ucap Andianto.

Ia mengakui regenerasi seniman wayang potehi jalan di tempat. Kesenian asal Tiongkok ini kurang mendapat perhatian dari anak muda. Di kalangan warga keturunan Tionghoa sendiri, hanya bisa dihitung dengan jari yang masih mau belajar wayang potehi. Meski sudah banyak dimainkan oleh warga jawa, peminat kesenian ini juga sedikit.

Andianto menduga secara ekonomi, memainkan wayang potehi tak menguntungkan bagi anak muda saat ini. Karena itu, mereka memilih kesenian yang dinilai lebih menghasilkan. Apalagi butuh kesabaran untuk belajar wayang potehi. Mulai dari memainkan musik, memahami karakter tokoh cerita sampai jadi dalang.

“Di kelompok kami memang sudah ada regenerasi, tapi jumlahnya sangat sedikit. Itu pun masih anak-anak kecil,” tutur Andianto.

Di tempat asal kelompok ini, di Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, menjadi salah satu pusat pelestarian wayang potehi. Di Gudo juga diproduksi boneka kain atau wayang untuk dikirim ke beberapa daerah selain digunakan untuk kepentingan properti pentas kelompok. Tempat ini menjadi pusat pengajaran wayang potehi bagi siapa saja yang berminat.

“Semua kelompok wayang potehi di Indonesia, dikoordinasi melalui paguyuban di Gudo ini. Harapan kami bisa terus berkembang,” kata Andianto.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya