Respons BI Soal GPN hingga QRIS Disoroti AS: Kami Siap Kolaborasi!

Penerapan sistem pembayaran di Indonesia seperti QRIS dan layanan pembayaran cepat lainnya selalu dilakukan dengan prinsip kerja sama yang setara dengan negara lain.

oleh Tira Santia Diperbarui 21 Apr 2025, 14:12 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2025, 12:30 WIB
Destry Damayanti
Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti saat ditemui di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta, pada Senin (21/4/2025). (Tira/Liputan6.com)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) memberikan tanggapan terkait sorotan yang disampaikan Pemerintah Amerika Serikat terhadap sistem pembayaran Quick Response Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).

Keberadaannya dianggap sebagai salah satu hambatan perdagangan, sebagaimana tercantum dalam laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti, menegaskan bahwa penerapan sistem pembayaran seperti QRIS dan layanan pembayaran cepat lainnya selalu dilakukan dengan prinsip kerja sama yang setara dengan negara lain.

Kerja sama tersebut akan dilaksanakan sepanjang negara mitra siap untuk menghubungkan sistem pembayarannya.

"Terkait dengan QRIS yang tidak spesifik menjawab yang tadi ya. Tapi intinya QRIS ataupun fast payment lainnya, kerjasama kita dengan negara lain, itu memang sangat tergantung dari kesiapan masing-masing negara. Jadi, kita tidak membeda-bedakan. Kalau Amerika siap, kita siap, kenapa enggak?," kata Destry saat ditemui di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta, pada Senin (21/4/2025).

Destry juga menambahkan bahwa sejauh ini, sistem pembayaran yang berasal dari Amerika Serikat, seperti Visa dan Mastercard, tidak menemui kendala di Indonesia. Menurutnya, kinerja kedua layanan pembayaran tersebut tetap unggul di Indonesia, meskipun Indonesia kini telah memiliki produk GPN.

"Sekarang pun sampai sekarang kartu kredit yang selalu diributin. Visa, Master kan masih juga yang dominan. Jadi itu enggak ada masalah sebenarnya," jelasnya.

 

QRIS Kena Tegur AS

Pengguna Transaksi QRIS Tembus 45 Juta Orang
Dan terkini, transaksi QRIS sudah digunakan oleh 45 juta orang di awal 2024. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Kemudian, USTR juga menyoroti mengenai penerapan QRIS yang diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Nomor 21/18/PADG/2019 berpotensi membatasi ruang gerak perusahaan asing untuk bersaing di pasar pembayaran digital Indonesia.

"Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia layanan pembayaran dan bank, menyampaikan kekhawatirannya karena selama proses penyusunan kebijakan kode QR oleh BI," tulis USTR.

 

AS soal GPN

BI Resmi Luncurkan Gerbang Pembayaran Nasional
Ketua Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) Anggoro Eko Cahyo (tengah) bersama sejumlah menteri Kabinet Kerja, menunjukkan kartu Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) saat peresmian di Gedung BI, Jakarta, Senin (4/12). (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

USTR menjelaskan berdasarkan Peraturan BI No. 19/08/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) mengharuskan semua transaksi ritel domestik menggunakan kartu debit dan kredit diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan memiliki izin dari BI.

"Peraturan ini menetapkan batas kepemilikan asing sebesar 20 persen bagi perusahaan yang ingin memperoleh lisensi switching untuk berpartisipasi dalam GPN, serta melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi ritel domestik dengan kartu debit dan kredit," tulis USTR dikutip Liputan6.com, Senin (21/4/2025).

Selain itu, melalui Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017 mewajibkan perusahaan asing untuk membentuk perjanjian kemitraan dengan lembaga switching GPN yang memiliki izin di Indonesia agar dapat memproses transaksi ritel domestik melalui GPN.

"BI harus menyetujui perjanjian tersebut, dan persetujuan diberikan dengan syarat perusahaan asing tersebut mendukung pengembangan industri domestik, termasuk melalui alih teknologi," tulis USTR.

Tak berhenti disitu saja, USTR juga menyoroti terkait Peraturan BI No. 22/23/PBI/2020, yang berlaku mulai Juli 2021. PBI ini diterbitkan untuk mengimplementasikan Cetak Biru Sistem Pembayaran 2025 dari BI. Peraturan ini menetapkan kategorisasi kegiatan sistem pembayaran berdasarkan risiko serta sistem perizinan.

 

Batas Kepemilikan Asing

Dalam Peraturan tersebut menetapkan batas kepemilikan asing sebesar 85 persen untuk operator layanan pembayaran non-bank, yang juga dikenal sebagai perusahaan pembayaran front-end, namun investor asing hanya dapat memiliki maksimal 49 persen saham dengan hak suara. Batas kepemilikan asing untuk operator infrastruktur sistem pembayaran, atau perusahaan back-end, tetap sebesar 20 persen.

"Para pemangku kepentingan menyatakan kekhawatirannya terkait kurangnya konsultasi dari BI sebelum penerbitan peraturan-peraturan tersebut," tulis USTR.

Adapun pada Mei 2023, BI mewajibkan kartu kredit pemerintah untuk diproses melalui GPN dan mewajibkan penggunaan serta penerbitan kartu kredit pemerintah lokal.

"Perusahaan pembayaran dari AS khawatir bahwa kebijakan baru ini akan membatasi akses terhadap opsi pembayaran elektronik dari AS," tulis USTR.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya